Menakar "Omnibus Law" Sektor Keuangan
Omnibus Law Sektor Keuangan bertujuan memperkuat perekonomian melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia. Namun, ada sejumlah catatan agar Omnibus Law Keuangan mampu menjadi payung hukum yang kokoh.
DPR kembali membahas RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau Omnibus Law Sektor Keuangan.
Omnibus law ini akan merevisi beberapa aturan, seperti Undang-Undang Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), Perbankan, Perasuransian, dan Perkoperasian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Omnibus Law Sektor Keuangan itu bertujuan memperkuat perekonomian melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Apalagi saat ini dunia sedang menghadapi risiko resesi dengan munculnya stagflasi.
Beberapa catatan
Ada beberapa catatan terkait Omnibus Law Sektor Keuangan ini. Pertama, belajar dari pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan DPR menjadi UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan bermasalah, pemerintah dan DPR perlu lebih cermat dalam pembahasan Omnibus Law Sektor Keuangan kali ini.
UU Cipta Kerja telah mengalami pengujian formil di Mahkamah Konstitusi (MK), dan pada 25 November 2021 MK menjatuhkan putusan perkara Pengujian Formil UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/ 2020.
Baca juga RUU Sektor Keuangan Dorong Pendalaman Pasar
Dalam amar putusan dinyatakan, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
MK juga memerintahkan kepada pembentuk UU (pemerintah dan DPR) untuk melakukan perbaikan dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan itu diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Salah satu yang dipersoalkan adalah UU ini tidak memegang asas keterbukaan pada publik karena tidak melibatkan masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam penyusunannya.
Dengan bahasa lebih bening, pemerintah dan DPR hendaknya mengundang dan mempertimbangkan pandangan publik, asosiasi industri, pakar akademis, dan pengamat serta praktisi keuangan, seperti perbankan, perasuransian, dan perkoperasian dalam pembahasannya. Pandangan itu akan memperkaya pasal demi pasal dalam Omnibus Law Sektor Keuangan.
Kedua, UU apa yang mendesak untuk direvisi? Kementerian Keuangan mengajukan perubahan UU No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU itu hanya mengatur pencegahan dan penanganan krisis dari masalah sistemik di perbankan. Selama ini belum ada pencegahan dan penanganan krisis di industri keuangan non-bank (IKNB).
Ketiga, penulis juga berpendapat koordinasi antaranggota KSSK perlu lebih ditingkatkan. KSSK merupakan institusi koordinatif yang menyelenggarakan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk kepentingan dan ketahanan negara.
KSSK meliputi Menteri Keuangan sebagai koordinator merangkap anggota, serta Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS masing-masing sebagai anggota. Peningkatan koordinasi itu bertujuan supaya setiap anggota lebih cepat tanggap dalam menghadapi aneka tekanan global yang bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Bahkan kini ada wacana bahwa anggota KSSK, pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK, dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, berkaitan dengan keputusan.
Selama ini belum ada pencegahan dan penanganan krisis di industri keuangan non-bank (IKNB).
Keempat, untuk membendung potensi kasus asuransi seperti kasus PT Asuransi Jiwasraya, diperlukan Lembaga Penjamin Asuransi (LPA) seperti halnya LPS pada perbankan. Namun, kini, ada rencana untuk memperluas tugas dan wewenang LPS dengan menjamin polis nasabah asuransi. Hal itu sejalan dengan rencana OJK untuk melakukan reformasi IKNB yang meliputi perbaikan penerapan manajemen risiko, tata kelola yang lebih baik, dan pelaporan kinerja investasi kepada otoritas.
Sektor perbankan
Kelima, Omnibus Law Sektor Keuangan pun akan mengubah UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Mengapa? Lantaran tugas BI dalam mengatur dan mengawasi bank sudah beralih ke OJK sejak 1 Januari 2014. Kini BI dan OJK masing-masing memiliki kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Sementara itu, BI tetap bertugas melaksanakan kebijakan moneter, seperti mengendalikan inflasi dan stabilitas nilai tukar, mengatur suku bunga acuan dan giro wajib minimum (GWM). BI juga bertugas untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Keenam, Omnibus Law Sektor Keuangan akan memperluas tugas dan wewenang BI dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki LPS, dalam rangka antisipasi dan pemenuhan kebutuhan likuiditas dalam penanganan masalah bank. Juga ada wacana bank umum wajib melakukan penyesuaian ambang batas suku bunga kredit sesuai dengan suku bunga acuan BI paling lama tujuh hari sejak ditetapkan penyesuaian suku bunga.
Rancangan aturan itu terlalu jauh mencampuri wilayah OJK yang melakukan kebijakan mikroprudensial. Sebaliknya, BI melakukan kebijakan makroprudensial. Adalah benar bahwa transmisi perubahan suku bunga acuan BI tidak segera tampak pada suku bunga kredit perbankan. Mengapa? Karena bank pasti akan menghitung kembali biaya dana terlebih dahulu sebelum menurunkan suku bunga kredit, misalnya ketika suku bunga acuan BI menipis.
Alhasil, perluasan tugas dan wewenang BI itu bagai intervensi langsung pada perbankan. Ingat bahwa BI pernah intervensi pada 20 Agustus 2009. Ketika itu, BI mengadakan kesepakatan dengan 14 bank papan atas untuk menurunkan suku bunga kredit 150 basis poin (1,5 persen) di atas BI Rate 6,5 persen untuk tiga bulan ke depan.
Rancangan aturan itu terlalu jauh mencampuri wilayah OJK yang melakukan kebijakan mikroprudensial.
Buahnya, efektif 20 November 2009, BI mematok bunga deposito maksimal 7 persen untuk memacu penurunan suku bunga kredit rata-rata 14,04 persen per November 2009. Kesepakatan ini memperoleh sambutan baik dari perbankan sehingga bunga kredit rata-rata turun menjadi 13,02 persen per Maret 2010.
OJK pun pernah melakukan intervensi dengan menetapkan batas atas suku bunga deposito efektif 1 Oktober 2014. Suku bunga deposito maksimal 200 basis poin (2 persen) dan 225 basis poin (2,25 persen) di atas BI Rate atau 9,5 persen dan 9,75 persen masing-masing untuk bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV (dengan modal inti di atas Rp 30 triliun) dan BUKU III (Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun) untuk deposito di atas Rp 2 miliar.
Sesungguhnya, regulator tak perlu melakukan intervensi. Serahkan saja pada mekanisme pasar melalui suku bunga dasar kredit (SBDK) atau prime lending rates. Manakala ada intervensi, hal itu justru menegaskan bahwa SBDK belum efektif menjadi alat ampuh dalam menurunkan suku bunga kredit. SBDK adalah bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank.
Ketujuh, Omnibus Law Sektor Keuangan juga perlu merevisi UU No 10 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Hal ini karena perkembangan perbankan sendiri kian berwarna-warni. Saat ini telah muncul perusahaan teknologi keuangan (tekfin), terutama model pinjam-meminjam (peer to peer lending), yang sedang menggempur bank. Data OJK mencatat ada 102 tekfin per Mei 2022 dengan outstanding pinjaman naik 3,85 persen dari Rp 38,68 triliun per April 2022 menjadi Rp 40,17 triliun per Mei 2022. Pembiayaan bermasalah (non performing finance/NPF) turun dari 2,31 persen ke 2,28 persen pada periode yang sama.
Untuk melindungi kepentingan nasabah, investor, dan tekfin, tekfin layak masuk dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. SLIK merupakan pengganti Sistem Informasi Debitor (SID) yang dikenal sebagai BI Checking karena dikelola BI secara efektif sejak 1 Januari 2018. SLIK memuat data nasabah bank dan IKNB.
Dengan demikian, tekfin akan mengetahui riwayat kredit nasabah untuk menekan NPF. Selama ini, tekfin memperoleh nasabah bagai kucing dalam karung. Tanpa SLIK, nasabah bisa mengajukan pinjaman di banyak tekfin walaupun telah memiliki segunung pinjaman macet di tempat lain. Akibatnya, banyak nasabah bisa terjerat pinjaman berbunga tinggi!
Untuk melindungi kepentingan nasabah, investor, dan tekfin, tekfin layak masuk dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK.
Koperasi
Kedelapan, UU Cipta Kerja telah memberi koperasi tiga kemudahan: (1) pembentukan koperasi primer minimal 9 orang, dari semula 20 orang; (2) koperasi sekunder dibentuk paling sedikit 3 koperasi; dan (3) rapat anggota dapat dilakukan secara daring atau luring.
Mestinya lebih dari itu. Untunglah tugas dan wewenang OJK juga akan diperluas dengan mengatur dan mengawasi, khusus koperasi simpan pinjam (KSP). Mengapa? Karena KSP diizinkan untuk menghimpun dana masyarakat. Apalagi banyak kasus KSP mencuat di permukaan, seperti kasus investasi di KSP Pandawa Group di Depok dan Indosurya Cipta di Jakarta. Dengan asumsi jumlah KSP 30 persen dari total 127.846 unit koperasi per akhir 2021, jumlah KSP 38.354 unit. Sungguh, ini pekerjaan rumah yang tak ringan bagi Dewan Komisioner OJK yang baru!
Sebelumnya sudah ada UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, tetapi kemudian dianulir MK menjadi kembali ke UU No 25 Tahun 1992. Karena itu, UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian perlu direvisi agar bisa mengikuti perkembangan koperasi.
Dengan berbagai langkah strategis di atas, Omnibus Law Sektor Keuangan diharapkan mampu menjadi payung hukum perkasa bagi sektor keuangan Indonesia.
Paul SutaryonoPengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI