Hukum alam tidak hanya terkait pada fakta deterministik kehidupan manusia. Hukum alam juga yang menghubungkan manusia dengan segara kosmik yang tengah berderu.
Oleh
Saras Dewi
·4 menit baca
Semesta terbentang dipenuhi kelap-kelip cahaya. Di antara kegelapan yang menganga, hamburan galaksi dengan bintang-bintang akan memukau setiap insan yang menyaksikannya. Antariksa menghipnotis manusia dengan segala misteri yang mengendap di dalam benda-benda selestial.
Teleskop luar angkasa James Webb mengungkap gambar-gambar alam raya yang selama ini tersembunyi. Teleskop ini mampu menembus secara mendalam dan menangkap cahaya inframerah sehingga menghasilkan gambar yang tajam. Kita dapat menyusuri perangai galaksi, mencermati pancaran kaleidoskop warna untuk mengetahui proses tranformasi dari setiap galaksi.
Jagat raya adalah ruang megah bagi galaksi-galaksi untuk berdansa. Ini tampak di salah satu gambar yang menampilkan Kwintet Stephan, yakni lima galaksi di konstelasi Pegasus yang beradu dalam tarian. Selain itu, gambar Cincin Nebula Selatan menampilkan warna spektakuler pendaran gas dan debu, menandai bintang yang sedang berada di ujung usianya.
Kosmos mengajarkan keseimbangan, bersamaan dengan kematian bintang, berlangsung pula kelahiran bintang-bintang baru dengan energi yang meletup-letup. Itulah yang dapat kita resapi di salah satu gambar yang menyibak proses kelahiran dan pembentukan bintang di Carina Nebula. Gambar yang menyerupai ”ngarai kosmik” dengan ceruk, sejatinya adalah pahatan yang terjadi karena radiasi ultraviolet dan angin ekstrem dari bintang-bintang belia.
Kata-kata Carl Sagan, seorang astrofisikawan, bergaung di pikiran saya sembari saya berkelana ke sudut-sudut alam semesta melalui gambar-gambar dari teleskop luar angkasa James Webb. Dalam karyanya yang berjudul Kosmos, pada bagian Harmoni Dunia-Dunia ia mengatakan bahwa, jika kita hidup di dalam planet yang tidak ada perubahan, amat statis, maka sedikit sekali hal yang perlu atau menarik untuk dilakukan menggunakan sains. Sementara itu, jika dunia kita terlampau acak dan sama sekali tidak ada dasar apa pun, akan sulit untuk melakukan penelusuran ilmiah. Akan tetapi, menurut Sagan kita hidup dalam semesta di antara (in between), bahwa perubahan itu terjadi meski demikian perubahan tersebut mengikuti suatu pola, aturan, yang disebut sebagai hukum alam.
Hukum alam, menurut saya, tidak hanya terkait pada fakta deterministik kehidupan manusia. Saya memandang hukum alam juga yang menghubungkan diri saya dengan segara kosmik yang tengah berderu. Dalam karya Sagan yang berjudul Titik Biru Pucat, ia menguraikan pandangannya tentang pentingnya penjelajahan planet lainnya, tetapi dengan kepekaan untuk melindungi planet Bumi sebagai rumah bagi umat manusia dan beragam makhluk hidup.
Carl Sagan merupakan ilmuwan yang lantang menyerukan kewaspadaan terhadap pemanasan global. Ia menggunakan pengetahuan antarplanet untuk memberikan ilustrasi betapa unik dan istimewanya Bumi di tata surya. Ia memberikan kesaksian di Kongres Amerika Serikat pada 1985 untuk mengingatkan kegentingan terkait bahaya dari efek rumah kaca. Ia memberikan contoh dengan permukaan Venus yang amat panas dan ganas, kondisi tersebut tidak saja karena kedekatan jarak Venus dengan Matahari, tetapi karena karbon dioksida yang tertahan di permukaan planet itu. Komparasi ini memberikan kilasan muram kebencanaan di masa depan jika suhu terus meningkat dan permukaan Bumi terus memanas.
Vaisesika, suatu aliran filsafat kuno di India, menyatakan bahwa alam semesta terdiri atas atom-atom yang tak berhingga. Saya membayangkan elemen dasar yang membentuk kosmos juga bersemayam dalam tubuh saya. Carl Sagan menyampaikan dengan indah, kita semua terbentuk dari debu bintang. Saya terhanyut merasakan kehidupan yang erat terjalin satu dengan yang lainnya bahkan hingga zat primordial yang terbentuk selepas dentuman besar.
Keterhubungan ini yang mengingatkan saya terhadap karya seorang koreografer bernama Sardono W Kusumo yang berjudul Meta Ekologi (1975). Karya tari yang sarat eksperimentasi itu menampilkan tubuh-tubuh yang terbenam, bergelimang menjadi satu dengan Bumi. Kala itu sang seniman tari merasa cemas dengan deforestasi yang terjadi di Indonesia akibat modernisasi dan industrialisasi.
Meta ekologi berarti melampaui bagaimana ilmu membingkai Bumi, saya menginterpretasikannya, Bumi bukan saja obyek yang diukur, ditentukan bahkan digunakan mengikuti kepentingan manusia saja. Meta ekologi dengan demikian menempatkan manusia tidak saja sebagai pengamat interaksi antarkeanekaragaman hayati, melebihi itu manusia adalah bagian dari alam yang mustahil terpilah.
Krisis iklim mengharuskan kita mengevaluasi nilai-nilai serta wawasan dunia kita. Termasuk bagaimana sistem pengetahuan serta pendekatan saintifik diterapkan demi keberlanjutan lingkungan hidup.
Laporan teranyar IPBES (Platform Sains-Kebijakan Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem) menguraikan mengenai tipologi nilai terkait dengan relasi manusia dengan lingkungan hidupnya. Penelitian itu menggunakan contoh hubungan manusia dengan sungai, hubungan itu dapat dibedakan menjadi beberapa tipologi; hidup dari sungai, hidup di area sungai, hidup bersama sungai, hidup sebagai sungai, yang menekankan manusia sebagai bagian dari sungai itu. Hidup sebagai sungai, laut, tanah, hutan, disebutkan dalam laporan itu sebagai wawasan hidup dengan nilai kosmosentrik.
Kembali pada kelana alam semesta, saya terngiang tulisan Carl Sagan yang mengatakan bahwa untuk makhluk semungil manusia, luasnya alam semesta ini hanya dapat diarungi dengan cinta kasih. Menurut saya, cinta ini terwujud di Bumi, di bawah naungan tudung atmosfer yang mengasuh kehidupan.