Istilah ”survivor” dapat digunakan karena bisa bermakna ’yang bertahan hidup’ dan ’yang (sedang) berusaha bertahan hidup’. Istilah itu menjadi tidak relevan lagi jika target ditemukan dalam keadaan meninggal.
Oleh
Tendy K Somantri
·3 menit baca
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Warga memasang catatan bertuliskan belasungkawa di salah satu ruangan Gedung Pakuan, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (5/6/2022). Kertas-kertas yang menempel ini ditujukan kepada almarhum Emmeril Kahn Mumtadz, putra Gubernur Jabar Ridwan Kamil, yang meninggal di Sungai Aare, Swiss, akhir Mei 2022.
Kisah putra sulung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtadz, yang wafat di Sungai Aare, Swiss, di media sosial telah pudar. Portal berita pun sudah tak lagi mengorek-ngorek cerita pribadi Eril untuk dijadikan ”konten” peraup keuntungan. Tren pemberitaan beralih ke peristiwa lain yang menghangat di media sosial.
Namun, dari sekian banyak berita dan komentar tentang Eril di jagat maya, ada sesuatu yang menggelitik benak saya. Sesuatu itu adalah pemakaian istilah survivor pada ulasan Effendi Soen di media sosial Facebook.
Effendi Soen adalah jurnalis senior—anggota Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri—yang sudah mengenal kegiatan search and rescue (SAR) sejak 1978. Informasi dan analisisnya dalam ulasan itu dapat membuka cakrawala pengetahuan masyarakat tentang upaya pencarian dan penyelamatan, khususnya di matra sungai.
Penggunaan istilah survivor merupakan usaha tim tidak menyakiti perasaan pihak keluarga. Mereka butuh dukungan moril untuk tetap berharap dan berdoa.
Penggunaan istilah survivor pada tulisan itu membuka kembali rasa penasaran yang telah lama saya pendam. Istilah survivor mengingatkan saya pada laporan-laporan tim dalam operasi SAR di lapangan.
Para sukarelawan selalu menyebut target pencarian sebagai survivor, baik yang masih dicari ataupun yang sudah ditemukan. Mereka tak memasalahkan kondisi target, apakah masih hidup atau sudah meninggal.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Tim SAR dan warga di posko pencarian orang hilang di Pos Pendakian Gunung Arjuno-Welirang di Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (5/7/2022) malam.
Penggunaan istilah survivor memang sangat lazim di kalangan aktivis SAR di lapangan. Konon, hal itu penting dilakukan untuk menjaga anggapan dan harapan bahwa target masih hidup sehingga semangat pencarian pun terjaga.
Selain itu, menurut Kang Soen, penggunaan istilah survivor merupakan usaha tim tidak menyakiti perasaan pihak keluarga. Mereka butuh dukungan moril untuk tetap berharap dan berdoa. Bahkan, mereka juga menghindari penggunaan kata korban karena dipandang berkonotasi negatif, padahal BNPP (Basarnas) menggunakan kata tersebut dalam pelaporannya.
Penjelasan lain dari Darmanto—aktivis SAR dan anggota Wanadri—menyebutkan bahwa tim operasi sering menyembunyikan informasi awal dengan kata-kata sandi. Artinya, penggunaan kata pada masa operasi SAR benar-benar diperhatikan untuk menghormati dan menjaga emosi keluarga ”target”. Pertimbangan penggunaan kata asing dan kata-kata sandi seperti itu menjadi situasi kebahasaan khusus pada operasi pencarian dan penyelamatan.
Situasi kebahasaan itulah yang dapat ”melahirkan” gaya selingkung, seperti gaya selingkung kepolisian, militer, atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Gaya selingkung itu menjadi masalah ketika digunakan media dan menimbulkan kebingungan pada masyarakat.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Garis polisi dipasang di depan tujuh mobil curian yang telah diamankan di Polda Sulut, Manado, Sulawesi Utara, Kamis (9/7/2020). Tim Khusus Maleo Polda Sulut di Manado, Tomohon, Bitung, dan Kotamobagu menangkap tiga pelaku pencurian kendaraan bermotor (curanmor) bermotif penggelapan dan pengambilan paksa.
Sebagai contoh, kata curas, curat, sajam, senpi, ranmor, dan lain-lain yang merupakan gaya selingkung kepolisian telah kaprah di media (sebagian di antaranya sudah masuk KBBI). Kebingungan muncul karena masyarakat lebih akrab dengan kata begal, rampok, pisau, golok, pistol, dan (sepeda) motor.
Penggunaan kata-kata asing sebagai gaya selingkung dalam operasi SAR, seperti survivor dan tim rescue, juga menimbulkan kekhawatiran saat dikutip media. Masyarakat bisa bingung karena ada kesalahan makna yang mungkin muncul.
Misal, masyarakat yang tidak memahami situasi kebahasaan dalam operasi SAR bisa saja menyangka bahwa target masih hidup saat ditemukan karena disebutkan sebagai survivor. Padahal, pada kenyataannya, tim hanya menemukan jasad target.
Istilah survivor atau penyintas pada masa operasi SAR memang dapat digunakan karena bisa bermakna ’yang bertahan hidup’ dan ’yang (sedang) berusaha bertahan hidup’. Istilah itu menjadi tidak relevan lagi apabila target ditemukan dalam keadaan meninggal (gagal menyintas/survive).
Oleh karena itu, para aktivis SAR sebaiknya menerapkan istilah yang tepat, seperti target (pencarian) untuk yang dicari, penyintas untuk target yang masih dicari dan ditemukan dalam keadaan hidup, serta jasad untuk target meninggal. Dengan demikian, masyarakat tidak akan kebingungan ketika media mengutip istilah tersebut dalam pemberitaan.
ARSIP PRIBADI
Tendy K Somantri, Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas Bandung
Tendy K Somantri, Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas Bandung