Masa Depan Uang Bukanlah Kripto
Uang kripto tidak dapat menjadi fondasi bagi uang masa depan. Masa depan uang perlu didasarkan pada instrumen yang diterbitkan otoritas karena membutuhkan jaminan keamanan dan peran regulator dalam implementasinya.

Laporan yang dikeluarkan Bank for International Settlement (BIS) pada Juni 2022 cukup menarik perhatian. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa uang kripto tidak dapat menjadi fondasi bagi uang masa depan.
Tentu hal ini menimbulkan perdebatan, khususnya di tengah bertumbuhnya berbagai inovasi digital saat ini, mulai dari aset kripto, non-fungible token (NFT), hingga terbaru, decentralized finance (DeFI).
Kita tentu tak bisa mengabaikan terjadinya prahara pada aset kripto dalam beberapa waktu terakhir. Sebelumnya, popularitas aset kripto meroket di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Seolah tidak mau ketinggalan tren, anak-anak muda mengalami ”demam kripto”. Sebagian besar pembeli terbawa dalam perilaku ikut-ikutan (herd behaviour), dan sangat sedikit yang memahami apa yang mereka beli.
Sejak Februari 2021 hingga Februari 2022 terjadi pertumbuhan aset kripto yang luar biasa, dari 1,47 triliun dollar AS menjadi 1,98 triliun dollar AS (Coinmarketcap, 2022).
Rata-rata transaksi bulanan aset kripto mencapai Rp 71,6 triliun, dan ada sekitar 11,8 juta pengguna di Indonesia. Namun, kita menyaksikan sendiri bagaimana nilai tersebut kemudian anjlok dalam sekejap, menjadi ”hanya” sekitar 0,9 triliun dollar AS pada Juni 2022.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa uang kripto tidak dapat menjadi fondasi bagi uang masa depan.
Anjloknya nilai kripto ini dipicu oleh amblasnya nilai Stablecoin, yaitu TerraUSD dan Luna, dari nilai kapitalisasinya sekitar 18 miliar dollar AS menjadi hampir tidak bernilai. Keruntuhan tersebut memicu reaksi berantai dan berdampak pada nilai pasar aset kripto yang menguap lebih dari 800 miliar dollar AS dalam waktu singkat.
Sistem kripto dan permasalahannya
Setiap hari, transaksi pembayaran digital yang dilakukan manusia di seluruh dunia bernilai lebih dari 2 miliar dollar AS (BIS Redbook Statistic, 2022). Di balik transaksi kita sehari-hari tersebut, ada satu sistem yang mengatur dan memungkinkan hal itu dapat berjalan dengan lancar. Sistem itu diatur dan dikendalikan oleh bank sentral.
Dalam tugas dan fungsinya, bank sentral juga menerbitkan uang yang berlaku sah di wilayah negaranya. Dalam praksisnya, bank sentral tidak bekerja sendiri, tetapi didukung oleh bank dan para penyelenggara jasa pembayaran.
Mereka menyediakan berbagai platform yang mempermudah pembayaran agar dapat terlaksana dengan baik. Inovasi teknologi dan digital juga dilakukan bank sentral bersama industri untuk memperkuat pelayanan kepada masyarakat.
Saat krisis global 2008 terjadi, kepercayaan masyarakat terhadap otoritas, terutama di negara-negara maju, tergerus drastis. Berbagai gerakan radikal mencoba membebaskan diri dari hambatan perantara, termasuk pengaruh otoritas.

Contoh inovasi radikal yang terjadi adalah lahirnya semesta kripto, yang diawali oleh Bitcoin. Semesta kripto ini dibangun dengan premis mendasar, yaitu desentralisasi. Alih-alih mengandalkan pada uang yang diterbitkan bank sentral atau otoritas, mereka membangun sistem berbasis rantai blok (blockchain) yang menghapus fungsi intermediasi.
Kini berkembang lagi decentralized finance atau DeFi yang bertujuan untuk mereplikasi jasa finansial konvensional ke dalam semesta kripto. Berbagai jasa dan transaksi finansial yang terjadi di dunia konvensional, mulai dari pinjam-meminjam hingga asuransi, direplikasi dalam sebuah rantai blok yang terdesentralisasi.
Namun, prahara yang terjadi beberapa waktu lalu menguak permasalahan sekaligus kelemahan mendasar yang dimiliki sistem kripto. Satu masalah yang diungkap laporan BIS adalah bahwa sistem kripto didasari oleh jual beli berlandaskan pada spekulasi.
Selain itu, kripto memiliki keterbatasan struktural yang disebabkan oleh sistem akunting rantai blok yang terbatas. Akibatnya, ketika semakin banyak penggunaan, prosesnya menjadi semakin mahal dan lambat.
Baca juga Ratu Kripto Menipu hingga Rp 60 Triliun
Meningkatnya antrean ini menyebabkan munculnya rantai-rantai paralel, selain Ethereum ada Avalanche, Binance, atau Solana, misalnya, yang melahirkan fragmentasi. Hal ini menyebabkan biaya jadi semakin mahal dan lemahnya keamanan (Boissay et al, 2022).
Selain itu, agar sebuah sistem moneter dan pembayaran dapat berjalan dengan optimal dibutuhkan adanya jaminan keamanan dan stabilitas, yang masih belum terpenuhi dalam semesta kripto yang ada saat ini.
Refleksi kritis
Orang yang belajar ekonomi dalam konteks filsafat dan sejarah tentu memahami teka-teki besar yang terbentang selama ratusan tahun, antara kebebasan pasar dan cengkeraman lembaga otoritas.
Hal ini bermula saat Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan (1651) menulis kalimatnya yang terkenal, homo homini lupus, atau manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Dalam konteks sejarah, Hobbes melihat suasana saat itu, ketika kebebasan manusia berlangsung tanpa kendali, mengarah pada sebuah kondisi yang menakutkan. Dari konsep ini lahirlah peran negara yang hadir memberikan perlindungan bagi masyarakat.
Sejarah kemudian menunjukkan bahwa peran negara ternyata tak selamanya membawa kesejahteraan. Ketika pemerintah tidak kompeten atau mengatur terlalu ketat, yang terjadi adalah pengekangan inovasi dan turunnya kesejahteraan.

Supriyanto
Lahirnya uang digital sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Friedrich Hayek, peraih Nobel Ekonomi, yang merekomendasikan agar pemerintah tidak boleh memonopoli penerbitan uang (Hayek, 1990).
Dari sejarah di atas kita belajar bahwa dalam konteks pembayaran digital yang berkembang saat ini, sebuah sistem yang dikendalikan sepenuhnya oleh pasar, tanpa adanya campur tangan otoritas, tidak akan berkesinambungan dan dapat berujung pada kekacauan, seperti yang diramalkan Thomas Hobbes.
Sebaliknya, peran negara yang berlebihan atau tidak kompeten juga dapat menimbulkan kerugian.
Dalam kaitan uang digital, masa depan uang perlu didasarkan pada instrumen yang diterbitkan otoritas, yaitu Central Bank Digital Currency (CBDC) atau Uang Digital Bank Sentral. Mengapa demikian?
Kehadiran mata uang digital yang diterbitkan oleh lembaga berwenang merupakan perwujudan dari tugas lembaga untuk menyediakan alat pembayaran yang sah dan tepercaya bagi publik. Keberadaan uang digital bank sentral akan memberikan kepastian pada inovasi sektor swasta dan industri karena secara aman berakar pada kepercayaan publik kepada bank sentral.
Baca juga Valuasi Kripto Terjun Bebas, G7 Mau Atur Pasar Mata Uang Digital
Saat ini lebih dari 100 bank sentral di dunia, termasuk Bank Indonesia, sudah menyampaikan rencananya untuk mengkaji dan merancang CBDC sebagai alat pembayaran masa depan. Dengan CBDC, instrumen pembayaran digital dapat tetap berkembang dan berjalan seiring dengan berbagai inovasi yang ada, tetapi di sisi lain lebih bersifat bebas risiko (risk-free).
Bank Indonesia secara serius dan berhati-hati merancang pengembangan digital rupiah. Langkah yang dilakukan juga melibatkan berbagai pihak dan dilakukan secara bertahap, dari perancangan white paper, paper konsultasi, hingga berbagai proses eksperimentasi teknologi.
Sistem pembayaran masa depan membutuhkan jaminan keamanan dan peran regulator dalam implementasinya. Itu pun belum sepenuhnya sempurna dan masih menyimpan kelemahan.
Oleh karena itu, permasalahannya bukan apakah kita memerlukan peran regulator yang besar atau kecil, melainkan kita membutuhkan kehadiran regulator yang baik (good regulator) yang dalam bekerja mengutamakan stabilitas, keamanan, dan perlindungan masyarakat.
Junanto Herdiawan, Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Doktor Filsafat Lulusan STF Driyarkara

Junanto Herdiawan