Kemenangan Bongbong menunjukkan pentingnya menumbuhkan budaya yang mengenal sejarah bangsa ataupun pendidikan moral dan tata nilai sejak dini. Kurangnya literasi membuat pemilih tidak tepat memahami rekam jejak.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·2 menit baca
Terpilihnya Ferdinand Marcos Jr (Bongbong) sebagai Presiden Filipina menunjukkan bahwa generasi muda bisa ”pendek ingatan”. Mereka memilih tanpa menyadari sejarah kelam Ferdinand Marcos Sr—ayah Bongbong—sebagai seorang diktator serta koruptor.
Belum lagi pembunuhan terhadap senator Benigno Aquino, 21 Agustus 1983, saat ia pulang dari pengasingan di Amerika Serikat. Pembunuhan ini memunculkan sosok Corazon Aquino, istri Benigno.
Dalam pemilu presiden 1986, Marcos Sr mencurangi hasil pemilu dan mengklaim kemenangan melawan Corazon. Hal ini memunculkan People Power Revolution. Gerakan rakyat itu memaksa Marcos pergi ke Amerika Serikat dan menjadikan Corazon Aquino sebagai presiden. Babak baru dimulai dan Corazon membangun aura demokrasi serta pemerintahan yang bersih.
Kemenangan Bongbong menunjukkan betapa pentingnya menumbuhkan suatu budaya yang mengenal sejarah bangsa ataupun pendidikan moral dan tata nilai sejak dini. Kurangnya literasi membuat pemilih tidak mengetahui dengan tepat latar belakang serta rekam jejak Bongbong. Misalnya, bagaimana dia memalsukan latar belakang pendidikannya, menghindari pajak, dan menggunakan uang haram.
Demikian pula KKN, represi, serta kemerosotan ekonomi rakyat yang dialami orang tua generasi pemilih di Filipina 2022 itu, ternyata tidak ada jejaknya. Padahal, dengan membaca berbagai sumber, kita dapat memahami watak seseorang dari rekam jejaknya dan menggunakan akal sehat kita untuk menarik kesimpulan.
Pada zaman komunikasi modern dan post-truth, informasi mudah sekali menyebar luas. Celakanya, berita menyesatkan lebih dipercaya khalayak. Cuitan di media sosial umumnya pendek, tidak memiliki dasar kuat, dan tidak sahih. Dampaknya dapat berupa beragam kerusuhan serta benturan antar-anggota masyarakat.
Pendengung/buzzer dan berbagai bentuk penceramah mudah sekali membangun persepsi yang keliru. Integritas seseorang dalam petuah Jawa, ”Watuk isa ditambani nanging nek watek ya angel”, seharusnya dapat menjadi arah membangun masyarakat lewat literasi agar menghasilkan persepsi yang lebih mendekati kebenaran.
Proses ini perlu dilalui untuk menghasilkan manusia Indonesia yang tangguh, berakhlak mulia, dan unggul. Dari Reformasi 1998 ke Pemilu 2024 berjarak 26 tahun. Filipina memilih penerus diktator 38 tahun sesudah keruntuhannya. Tentu kita tidak ingin mengulangnya.
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS-STM PPM, Menteng Raya, Jakarta