Balkanisasi Demokrasi Digital
Dalam sejarah, tak banyak capaian iptek yang memiliki deliberasi sedahsyat teknologi digital. Namun, digitalisasi dalam demokrasi berwatak paradoksal. Hal ini perlu jadi perhatian bersama, terutama menjelang Pemilu 2014.
Jika demokrasi deliberatif dimaknai sebagai sistem yang menyandarkan keputusan politik pada aspirasi yang berkembang dalam diskursus masyarakat sipil, mesti diakui bahwa digitalisasi telah memberi sumbangan besar.
Dalam sejarah peradaban manusia, tak banyak capaian ilmu pengetahuan yang memiliki efek deliberasi sedahsyat teknologi digital. Dengan telepon pintar dalam genggaman, setiap orang menjadi subyek yang mampu bersikap dan berekspresi secara politis tanpa memandang hierarki dan status sosial.
Melalui akun media sosial, kita bisa berjejaring dan berinteraksi dengan siapa saja, serta menjalankan tindakan politis hampir tanpa hambatan struktural apa pun. Dengan googling, hampir semua informasi dapat kita peroleh dengan mudah. Begitu lebar jendela dunia itu membukakan kita pada semesta ide dan wacana.
Namun, epidemi hoaks dan polarisasi politik di berbagai kawasan dewasa ini memunculkan kesadaran baru bahwa digitalisasi juga membawa sejumlah persoalan. Kita sedang berhadapan dengan suatu determinisme teknologi yang bukan hanya tidak bebas nilai, tetapi juga memperlihatkan simtom pengendalian dan penguasaan.
Kita sedang berhadapan dengan suatu determinisme teknologi yang bukan hanya tidak bebas nilai, tetapi juga memperlihatkan simtom pengendalian dan penguasaan.
Demokrasi digital berwatak paradoksal. Di dalamnya, intensi pembebasan dan belenggu berkelindan, batas antara memberdayakan dan memanipulasi begitu sumir. Di tengah-tengah euforia tentang demokrasi digital, kita bahkan perlu bertanya apakah esensi ruang publik dan demokrasi masih berdiri tegak di era supremasi media sosial dan big data dewasa ini?
Glorifikasi yang privat
Kita bisa mengujinya dengan sebuah pertanyaan sederhana. Apa yang umumnya kita bagikan di medsos? Hal-hal yang penting untuk orang lain atau sesuatu yang mendukung eksistensi diri kita sendiri? Persoalan yang layak diungkapkan dalam komunikasi publik atau perihal yang sebenarnya hanya pantas diobrolkan di ruang komunikasi pribadi?
Fakta menunjukkan, akun medsos begitu lazim digunakan untuk membagikan hal-hal yang bersifat pribadi. Facebook dan Instagram, misalnya, identik dengan tempat untuk pamer foto atau pengalaman pribadi.
Tanpa disadari, yang selalu ditunggu pengguna mereka adalah like, jempol, atau komentar positif atas hal-hal pribadi yang telah diunggah. Penyampaian pendapat di Facebook atau Twitter juga jarang bersambung dengan tukar pendapat yang dialogis, alih-alih berlanjut dengan afirmasi basa-basi atas pendapat itu tanpa respons yang berkualitas.
Akun medsos di sini redup sebagai sarana untuk berbagi dan berdiskusi secara bermakna, dan lebih operasional sebagai sarana pengejaran self-esteem yang kerap menjelma jadi proses self-branding yang sangat personal, genit, dan kenes.
Jika para penggunanya lebih berorientasi pada diri sendiri, bagaimana medsos fungsional sebagai ruang publik? Kita berhadapan dengan watak paradoksal dari demokrasi digital di sini. Digitalisasi menjanjikan pembentukan ruang publik baru yang lebih deliberatif, tetapi di ruang yang sama terjadi apropriasi, bahkan glorifikasi, terhadap hal-hal privat.
Bagaimana platform digital menata semesta informasi penggunanya juga meneguhkan gerak privatisasi itu. Kita hidup di jagat yang serba tertata secara algoritmis, begitu kata Cathy O’Neil dalam buku Weapons of Math Destruction (2017).
Dengan siapa kita akan berteman, pekerjaan apa yang kita pilih, barang apa yang mau dibeli, pilihan politik atau orientasi spiritual mana yang kita peluk, semakin ditentukan oleh mesin-mesin yang secara laten dioperasikan platform digital berdasarkan rumus algoritma tertentu. Titik tolaknya adalah model matematis (mathematical models) jati diri pengguna internet sebagai hasil dari akumulasi dan rekayasa big data.
Model matematis inilah yang menata jagat informasi warganet yang kemudian melahirkan fenomena Daily Me. Dalam buku #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (2017), Cass Sunstein menjelaskan Daily Me sebagai jagat informasi yang hanya merefleksikan minat, selera, dan kebutuhan pribadi setiap warganet.
Baca Juga: Kuasa Bahasa di Media Sosial
Pada newsfeed medsos atau daftar pencarian search engine, yang kita temukan notabene adalah kumpulan konten terpersonalisasi yang dikurasi berdasarkan prediksi tentang minat atau kecenderungan kita.
Maka, jagat informasi kita sesungguhnya tidak menggambarkan pluralitas informasi, opini, pemikiran yang berkembang di masyarakat, tetapi berisi pilihan terbatas berdasarkan jejak digital kita sebelumnya. Orang yang secara digital pro-pemerintah akan terus disuguhi informasi pro-pemerintah seakan-akan dia tak butuh yang sebaliknya.
Orang yang secara digital meminati Syiah akan terus dijejali dengan wacana kesyiahan seakan-akan dia tidak memerlukan informasi tentang aliran lain. Warganet yang pro-capres tertentu akan senantiasa disuguhi konten-konten yang pro-capres itu selayaknya dia tak butuh informasi sebaliknya.
Kebebasan informasi di sini terwujud pada batas-batas yang ditentukan secara algoritmis oleh platform digital. Dalam konteks ini, seperti diulas Micol Burighel dalam Polarization and the Role of Digital Media (2019), Daily Me mengintensifkan polarisasi sosial.
Proses kurasi algoritmis menghindarkan warganet dari informasi dan perspektif yang tak sejalan dengan keyakinannya.
Secara psikologis, setidaknya ada tiga bias yang beroperasi di sini. Pertama, confirmation bias, yakni kecenderungan warganet untuk secara selektif menyerap fakta-fakta yang mendukung pandangannya dan mengabaikan fakta-fakta yang tidak mendukung pandangan tersebut.
Kedua, blind spot, yakni ketidakmampuan warganet mendeteksi kelemahan dalam pandangannya sendiri karena notabene tak mengalami perdebatan berbobot yang dapat menguji pandangan itu. Tak adanya perjumpaan dengan pandangan dan kelompok lain membuat mereka merasa tak perlu meninjau ulang apa yang diyakini.
Ketiga, bandwagon effect, yakni kecenderungan warganet untuk mengadopsi pendapat dominan begitu saja tanpa sikap kritis. Ketika warganet telah berada dalam gelembung isolatif (filter bubble) atau ruang gema digital (digital echo chamber), mereka mudah kehilangan kemampuan berpikir mandiri dan cenderung mengekor pada pendapat dominan di sana.
Baca Juga: Peranan Jurnalisme Berkualitas di Era Banjir Informasi
Antinomi kawan-lawan
Bias konfirmasi, blind spot, dan bandwagon effect menjadi persoalan serius pada aras konsumsi medsos belakangan, khususnya terkait percakapan tentang politik dan identitas.
Dalam arus informasi yang terkurasi secara algoritmis, serta dalam kelompok percakapan yang semakin eksklusif, warganet terdorong untuk terus membenarkan pandangan sendiri dengan sedikit kesempatan untuk mengujinya secara kritis. Sebagian dari mereka tak mampu membangun argumentasi mandiri dan larut oleh suara dominan dalam kelompok.
Keadaan ini berjalan sedemikian rupa sehingga kian hari kian sulit menegakkan komponen esensial dalam demokrasi, yaitu landasan untuk bertindak secara bersama-sama tanpa mengesampingkan perbedaan antarkelompok.
Sunstein menyebutnya sebagai pudarnya the architecture of serendipity. Dalam alam demokrasi, setiap orang didorong untuk mengalami pengalaman yang berbeda atau proses diskusi yang tidak diharapkan.
Perjumpaan tak terduga atau tak terencana dengan kelompok yang berseberangan pandangan sangat penting untuk membangun kultur demokrasi. Perjumpaan itu memang membuat kita tak nyaman karena apa yang telanjur kita yakini diper- tanyakan. Namun, perjumpaan itu penting karena keyakinan kita belum tentu benar dan masyarakat yang majemuk membutuhkan individu-individu yang toleran dan tak fanatik.
Perjumpaan itu sangat esensial untuk menghindarkan kita dari fragmentasi, polarisasi, dan ekstremisme yang memecah belah. Keadaan yang niscaya terjadi jika kita membiarkan diri larut dalam kelompok yang eksklusif di mana kita hanya bertemu orang-orang yang sealiran (like-minded people).
Dalam konteks inilah, digitalisasi justru memunculkan persoalan serius bagi kultur demokrasi. Sunstein dengan jitu memunculkan istilah yang menggambarkan apa yang terjadi di sini: ”balkanisasi ruang berpendapat dan berekspresi”. Ruang kebebasan yang terpolarisasi berdasarkan kecenderungan politik atau religius.
Semesta informasi dan percakapan sosial yang terfragmentasi berdasarkan keseragaman pandangan dan orientasi ideologis para pengguna media sosial. Merasa nyaman dengan keseragaman itu dan tidak merasa perlu melakukan perjumpaan dialektis dengan perbedaan pendapat, banyak warganet mudah teperdaya oleh informasi palsu dan provokasi untuk membenci kelompok lain.
Dalam konteks balkanisasi ruang berpendapat dan berekspresi itu, demokrasi digital justru menghadapkan kita pada apa yang pernah didedahkan filsuf pendukung rezim Nazi, Carl Schmitt, yakni politik adalah keniscayaan antinomi kawan-lawan. Politik sebagai tindakan penegasan siapa kita dan siapa mereka. Fenomena filter bubble dan digital echo chamber meneguhkan negativitas politik dalam pengertian ini.
Prinsip kebebasan disalahgunakan, kebohongan dibenarkan, dan tipu daya diperagakan secara masif.
Bertolak dari pengalaman pemilu di sejumlah negara belakangan, medsos memperlihatkan politik dalam versi purbawinya sebagai persoalan pertarungan antarpihak untuk memperebutkan kekuasaan atau tafsir kebenaran. Prinsip kebebasan disalahgunakan, kebohongan dibenarkan, dan tipu daya diperagakan secara masif.
Yang kian sulit didapatkan dalam konteks ini justru politik dalam arti ideal sebagai sarana untuk bertindak bersama-sama demi kemaslahatan bersama. Di mata filsuf seperti Hannah Arendt atau Jurgen Habermas, politik diandaikan sebagai proses diskursif untuk merumuskan konsensus menuju kehidupan publik yang lebih baik.
Politik sebagai ruang publik deliberatif di sini mensyaratkan individu-individu yang punya kecerdasan dan kebijaksanaan, pluralitas opini dan perspektif yang diekspresikan secara deliberatif, dan pemahaman timbal balik antar-orang-orang yang diasumsikan setara.
Watak paradoksal dari demokrasi digital ini tentu perlu jadi perhatian bersama, khususnya menjelang Pemilu 2024.
Perbedaan pandangan di sini tak diberangus, alih-alih direservasi sebagai sarana untuk koreksi diri pada setiap pihak. Esensi perbincangan politik di sini bukan sebagai ajang untuk menundukkan atau mempermalukan orang lain, tetapi sebagai sarana untuk menemukan solusi bagi persoalan bersama melalui perdebatan yang argumentatif dan aksi saling mengkritik secara resiprokal.
Pada awalnya, digitalisasi menunjukkan potensi besar untuk mewujudkan demokrasi deliberatif itu. Digitalisasi sempat mengembuskan optimisme tentang demokratisasi dalam bentuk baru ke seluruh dunia. Hingga kemudian praktik propaganda komputasional yang bermaterikan manipulasi kesadaran publik, ujaran kebencian dan kebohongan mewarnai pemilu dan melahirkan tren balkanisasi ruang berpendapat dan berekspresi di sejumlah negara. Watak paradoksal dari demokrasi digital ini tentu perlu jadi perhatian bersama, khususnya menjelang Pemilu 2024.
(Agus Sudibyo, Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta)