Menambah investasi bahan bakar fosil bukanlah solusi mengatasi krisis energi. Krisis energi saat ini justru bisa dijadikan momentum mempercepat transformasi energi, termasuk transfer teknologi.
Oleh
EKO SULISTYO
·5 menit baca
HERYUNANTO
Perang Rusia-Ukraina, yang telah menyebabkan lonjakan harga energi, akan memperumit jalur transisi energi menuju ekonomi nol-bersih. Ketiadaan tanda resolusi menimbulkan pertanyaan, apakah perang dan akibatnya akan menjadi jalan terbatas dari jalur transisi sebelumnya atau di persimpangan jalan. Sementara dalam jangka pendek, kenaikan harga energi mengakibatkan peningkatan produksi bahan bakar fosil dan diaktivasinya aset pembangkit yang telah dinonaktifkan.
Perang yang seharusnya memicu perubahan signifikan dalam pemikiran tentang transisi energi kenyataannya dihadapkan kepada keamanan energi dan aksi iklim. Akibatnya, rancangan kebijakan energi harus dapat mengantisipasi berbagai dampak masalah, mulai dari krisis pangan hingga upaya global untuk mengekang emisi gas rumah kaca. Kini isu keamanan energi telah mendorong para pemimpin negara maju menjadikannya kembali ke puncak agenda politik sambil mempercepat perang melawan krisis iklim.
Bagi negara-negara berkembang, keterkaitan aksi iklim dan transisi energi telah mendorong ”transisi yang adil” sebagai bagian dari pembangunan ekonomi mereka. Negara-negara ini membutuhkan akses ke energi yang andal dan murah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan membawa lebih dari 3 miliar orang keluar dari kemiskinan. Mereka perlu secara signifikan meningkatkan penggunaan listrik dan sumber-sumber lain yang tumbuh secara ekonomi.
Konsekuensi global dampak perang Rusia-Ukraina telah menyasar kepada triple global crisis, meliputi krisis energi, krisis pangan, dan krisis keuangan. Sanksi ekonomi dan embargo energi kepada Rusia oleh Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa berimplikasi bagi seluruh dunia. Sanksi telah memperketat pasar sehingga membuat harga semua bahan bakar fosil melambung tinggi, tren inflasi global, dan pelambatan pemulihan pasca-Covid-19, bahkan juga resesi.
Rusia adalah pemasok bahan bakar fosil yang signifikan di pasar global, termasuk minyak, gas alam, dan batubara. Eropa sangat bergantung pada pasokan energi Rusia. Menurut International Energy Agency (IEA, 2022), sebelum perang Rusia-Ukraina, Uni Eropa (UE) mengimpor lebih 40 persen dari total konsumsi gasnya, 27 persen minyak, dan 46 persen batubara dari Rusia pada 2021.
Salah satu tantangan yang kini dihadapi para pemimpin UE adalah memutus ketergantungan terhadap energi Rusia. Dalam hal ini, terutama gas alam yang menjadi sumber utama energi di UE, setelah mereka mulai mengurangi proporsi batubara untuk mencapai netralitas karbon pada 2050 dan mengurangi emisi sekitar 55 persen pada 2030. Meski program REPowerEU yang dikeluarkan Komisi Eropa telah membatasi impor gas Rusia sekitar dua pertiga pada akhir 2022, strategi ini sangat bergantung pada peningkatan impor gas alam dari luar negeri.
Dalam jangka pendek, selain menekankan efisiensi energi, strategi ini membutuhkan portofolio opsi untuk menggantikan gas Rusia dan menjaga keamanan energi UE. Portofolio ini termasuk meningkatkan penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara untuk memastikan listrik tetap menyala dan rumah tetap hangat di musim dingin. Setelah itu, dalam jangka menengah dan jangka panjang, UE akan menggandakan transisi energi bersih.
Kendati kembali memanfaatkan batubara, Jerman tetap menjaga ambisinya dalam transisi energi.
Contoh krisis energi paling akut di UE dialami oleh Jerman yang selama ini dikenal sebagai kampiun transisi energi. Jerman bergantung pada Rusia untuk sekitar setengah dari gas alam dan batubara, serta lebih dari sepertiga minyaknya. Tantangan langsung Jerman adalah mengurangi ketergantungan pada gas alam untuk pembangkit listrik, yang semakin diperumit dengan keluarnya negara itu dari tenaga nuklir, yang dijadwalkan tahun ini ada tiga stasiun nuklirnya akan ditutup.
Kendati kembali memanfaatkan batubara, Jerman tetap menjaga ambisinya dalam transisi energi. Jerman tetap berkomitmen menutup seluruh pembangkit batubara mereka pada 2030 sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim. Sejak era kebijakan Kanselir Angela Merkel (2005-2021), gas alam cair yang diimpor dari Rusia sejatinya adalah ”jembatan” transisi energi Jerman dari pemanfaatan energi nuklir dan batubara menuju energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Dengan langkah yang hampir sama, jalan pahit kembali ke batubara dan mengaktivasi pembangkit tenaga batubara juga ditempuh Belanda, Austria, dan Italia. Belanda telah mengumumkan bakal mencabut semua pembatasan penggunaan bahan bakar fosil untuk sumber energi pembangkit listriknya. Mereka telah kembali menggunakan sumber energi fosil, terutama batubara, untuk memitigasi kemungkinan defisit energinya.
Momentum transformasi
Dalam konteks perubahan iklim global, beralih ke energi bersih adalah solusi terbaik bagi keberlanjutan bumi. Berhentinya pasokan minyak dan gas Rusia, dunia mengalami defisit energi. Untuk itu perlu dicari jalan untuk mengatasi defisit energi dan solusi yang mengedepankan kepentingan dekarbonisasi jangka panjang guna memitigasi risiko krisis iklim.
Mengutip Direktur Energi Security and Climate Initiative Samantha Gross, di The Washington Post, 22 Juni 2022, peralihan sementara ke batubara memang kurang ideal dari perspektif iklim. Namun, para pemimpin UE tetap komitmen pada target dekarbonisasi 100 persen. Harapannya ini bersifat jangka pendek, sembari mencari pasokan gas tambahan, dan seiring waktu menggantikan penggunaan gas melalui efisiensi dan peralihan teknologi.
Perlu dicari jalan untuk mengatasi defisit energi dan solusi yang mengedepankan kepentingan dekarbonisasi jangka panjang guna memitigasi risiko krisis iklim.
Dengan demikian, menambah investasi bahan bakar fosil bukanlah solusi. Krisis energi saat ini justru bisa dijadikan momentum mempercepat transformasi energi, termasuk transfer teknologi dan pendanaan ke negara-negara berkembang. Tindakan untuk mengurangi konsumsi batubara, sebagai bahan bakar fosil yang paling banyak mengandung karbon, dengan menurunkan emisi dari fasilitas yang ada dan menghentikan pembangunan pembangkit baru.
Biaya penurunan emisi dari fasilitas yang ada sangat bergantung pada teknologi yang mahal melalui penangkapan dan penyimpanan karbon atau pembakaran bersama dengan bahan bakar emisi yang lebih rendah. Sementara untuk mengganti pembangkit batubara dengan energi terbarukan juga membutuhkan investasi besar. Peran negara maju dan pendanaan internasional sangat penting untuk mengatasi hal ini.
Sebaliknya, negara-negara berkembang dapat mewujudkannya dengan memperbaiki lingkungan domestiknya untuk investasi asing dan investasi energi bersih. Kemudian memanfaatkan kesiapan investor untuk mendukung proyek energi terbarukan. Dengan demikian, meningkatkan peran sektor swasta serta lembaga keuangan internasional dan pembangunan akan sangat membantu.
Bank Dunia seperti dikutip Financial Time, 2 Juli 2022, telah mengusulkan inisiatif global untuk mendukung transisi energi di kawasan batubara. Para pemimpin G7 yang baru bertemu di Jerman juga telah mengusulkan kemitraan pendanaan baru dengan Indonesia, India, Vietnam, dan Senegal untuk beralih dari batubara.
Sebagai Presidensi G20, Indonesia dapat menginisiasi usulan serupa tentang kemitraan transisi energi negara maju dan negara berkembang pada KTT G20 di Bali, November 2022, sebagai solusi keberlanjutan transisi energi di tengah krisis energi saat ini.