Membaca Kompas berarti memasuki gerbang pesemaian nilai kemanusiaan, toleransi, etika berbahasa, penghormatan atas perbedaan, dan apresiasi atas kekayaan etnik dan budaya. Kita belajar mengelola perbedaan.
Oleh
Steph Tupeng Witin SVD
·3 menit baca
Salah satu pendiri Kompas, Jakob Oetama, mengatakan bahwa Kompas adalah ”Indonesia Kecil” dengan keterikatan intens terhadap ”Indonesia Besar”.
Tapak intelektualisme Kompas menegaskan bahwa sejarah adalah titian Jakob Oetama, P Swantoro, dan PK Ojong merajut Indonesia Kecil bernama Kompas. Ini menjadi basis ”membaca” jejak sejarah Indonesia Besar.
Kualitas informasi jurnalisme Kompas tecermin dari aktualitas yang ditempatkan dalam perspektif kesejarahan. Narasi ini menjadi cahaya agar kita hidup dalam kesadaran rasional (Kompas, 4/7/2022).
Kita pantas mengapresiasi kerja kemanusiaan Kompas yang dalam rentang 57 tahun telah berjuang menghadirkan Indonesia Kecil. Sebagaimana Indonesia Besar yang tidak dibentuk atas dasar etnis dan agama tunggal, Kompas berandil mengingatkan kita—mengutip Ashadi Siregar—bahwa ”Indonesia sekarang dan masa depan adalah negara dengan masyarakat majemuk, terdiri atas multietnis dan multiagama, masing-masing memiliki tradisi sebagai dasar bagi nilai multikultural”.
Kompas berhasil menyadarkan kita melalui kerja kemanusiaannya bahwa integrasi negara hanya dapat dijaga dengan sikap toleransi dan penghormatan atas perbedaan etnis dan agama. Ini yang membuat Kompas sensitif kepada setiap ancaman integrasi kebangsaan.
Pada tataran mikro, nilai kemanusiaan transendental mewujud melalui pilihan diksi dalam deskripsi naratif setiap artikel yang setia menghargai kemanusiaan, tidak ”menunjuk muka”.
Membaca Kompas berarti memasuki gerbang pesemaian nilai kemanusiaan, toleransi, etika berbahasa, penghormatan atas perbedaan, dan apresiasi atas kekayaan etnik dan budaya. Kita belajar mengelola perbedaan dan mengintegrasikan dalam kultur peradaban Nusantara.
Bersama Kompas, kita diajak bekerja merawat republik yang majemuk dengan multietnis dan multiagama ini agar tetap bersatu dan menjauh dari ancaman disintegrasi. Kerja konkret manajemen Kompas mengelola berbagai perbedaan, bahkan konflik internal, kiranya menjadi contoh bagi para pemimpin bangsa ini dalam berpolitik praktis. Merawat keutuhan Indonesia adalah tanggung jawab sejarah kemanusiaan kita demi investasi masa depan generasi bangsa.
Suasana banjir rob di Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (4/6/2020).
Kekhawatiran bakal tenggelamnya beberapa daerah di pantura Jawa sudah mencuat sejak tiga tahun lalu.
Kompas (22/2/2019) menyebut laju subsidensi (amblesan tanah) di Pekalongan 20 cm per tahun, diperkirakan dalam 30-40 tahun lagi tenggelam jika tidak diantisipasi.
Ironisnya, Pemkot malah ”bunuh diri” dengan menyedot air tanah dengan sekitar 400 sumur bor, sebagian besar untuk konfeksi batik!
Kompas menindaklanjuti dengan mewawancarai Kepala Bappeda Pekalongan yang mengatakan belum ada jalan lain untuk mengatasi kebutuhan air tersebut.
Hasil penelitian lain yang menampilkan penurunan muka tanah di pantura Jawa sebagai faktor penyebab banjir rob, Kota Pekalongan menduduki tempat terparah: 2,1-11 cm. Jakarta, dengan 10 jutaan penduduk dan beragam penggunaan air tanah, hanya 0,1-8 cm (Kompas, 25/5/2022).
Sebagai warga yang baik, saya sudah minta perhatian Pemkot Pekalongan melalui Surat Pembaca Kompas (29/3/2019). Namun, ternyata baru pekan-pekan terakhir ini para kepala daerah yang terdampak dikumpulkan untuk membicarakan masalah itu. Baru awal Juni 2022 Gubernur Jateng membahasnya dengan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang kemudian meneruskan kepada Menteri PUPR dan melaporkan kepada Presiden (Kompas, 28/6/2022).
Saya bukan bermaksud mengkritik bagaimana penderitaan 8,6 juta rakyat dan 118.000 ha wilayah yang tergenang rob terkesampingkan dalam hiruk-pikuk politik di Indonesia, tapi mengharapkan solusi, aksi cepat, dan efektif.
Pemkot Pekalongan seharusnya menyadari bahwa penurunan tanah di daerahnya paling parah, melebihi metropolitan Jakarta. Penghentian eksploitasi air tanah perlu dalam rencana jangka menengah, atau malah respons yang lebih cepat apabila ternyata sumur penyedot air tanah tersebut turut berkontribusi.
Jangan lagi-lagi cuma meninggikan jalan karena hanya memindahkan lokasi banjir.