Koperasi saat ini cenderung berorientasi ke dalam, yakni pada kekuatan anggota. Ke depan, kita perlu mengaksentuasi koperasi sebagai perusahaan yang dikelola secara profesional.
Oleh
FIRDAUS PUTRA
·5 menit baca
Sebaran koperasi Indonesia berdasarkan lapangan usaha didominasi sektor jasa. Data menyebutkan, sebanyak 43,42 persen dari 127.846 koperasi aktif bergerak di jasa keuangan dan asuransi (Kemenkop UKM, 2021). Kemudian jasa lainnya sebesar 34,47 persen. Total kedua sektor itu mencapai 77,89 persen.
Sektor usaha lain yang menjadi primadona koperasi adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan di angka 9,16 persen. Disusul penyediaan akomodasi dan makan-minum 8,32 persen. Terakhir sektor perdagangan besar dan eceran hanya mencapai 1,92 persen. Ada juga 12 sektor lainnya, sesuai klasifikasi lapangan usaha nasional, tetapi semua di bawah 1 persen.
Kesimpulannya sederhana, 7 dari 10 koperasi di Indonesia berusaha di bidang jasa. Pertanyaannya, mengapa hal itu terjadi, apa implikasinya, dan sektor usaha mana yang menjadi unggulan?
Sejak dipimpin Teten Masduki, Kementerian Koperasi dan UKM melakukan reorientasi pengembangan koperasi ke arah sektor riil. Strategi itu tepat sebab koperasi di Indonesia telah lama meninggalkan hal tersebut. Alhasil kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) rendah, hanya di kisaran 5 persen.
Sebagai pembanding, kontribusi PDB nasional berdasarkan sektor usaha didominasi oleh lima sektor berikut. Industri pengolahan menyumbang 19,25 persen (BPS, 2021). Sektor pertanian bertengger di peringkat kedua dengan kontribusi mencapai 13,28 persen. Lalu perdagangan besar dan eceran di angka 12,97 persen. Konstruksi dan pertambangan masing-masing menyumbang 10,44 persen dan 8,98 persen.
Dari lima sektor utama yang diselenggarakan koperasi, hanya sektor pertanian dan perdagangan yang masuk lima sektor unggulan nasional. Adapun sektor jasa keuangan serta jasa lainnya tak masuk lima besar. Artinya, dari sisi pilihan sektor usaha, boleh jadi koperasi telah keliru sejak awal sehingga nilai tambah yang dihasilkannya cenderung rendah.
Aksentuasi perusahaan
Mengapa sektor jasa menjadi favorit koperasi karena dianggap mudah. Sebut misalnya jasa keuangan, seperti koperasi simpan-pinjam, dapat diusahakan secara sirkuler melalui anggota yang ada. Bahkan layanan bisa dimulai dari rumah dan tak perlu sewa kantor.
Sektor jasa lainnya juga demikian. Anggaplah koperasi jenis pemasaran atau jasa yang mendayagunakan tenaga anggota. Kedua sektor itu tak butuh modal besar. Bisa dimulai seketika setelah koperasi berdiri.
Hal itu juga menggambarkan bagaimana koperasi saat ini cenderung berorientasi ke dalam, yakni pada kekuatan anggota. Kurang berorientasi ke luar, menangkap peluang yang ada di pasar. Saya menduga ada persoalan pemahaman koperasi yang bias people-based. Diktumnya, koperasi dimulai dari orang sehingga hanya menyelenggarakan yang anggota mampu atau butuhkan saja.
Beberapa dekade mendatang kita perlu mengaksentuasi koperasi sebagai perusahaan.
Koperasi ibarat dua sisi mata uang, kumpulan orang (people-based) dan perusahaan (enterprise). Hemat saya, beberapa dekade mendatang kita perlu mengaksentuasi koperasi sebagai perusahaan, yakni perusahaan yang dikelola profesional, menciptakan laba dan mengoptimalkan peluang yang ada. Tujuannya untuk mewujudkan, apa yang lama-lama telah menjadi klise, koperasi soko guru ekonomi.
Pilar pengungkit
Bapak Koperasi Moh Hatta sudah memberikan arahan yang tegas, kerjakan sektor primer dan sekunder terlebih dulu, maka koperasi akan berjaya. Tampaknya orientasi itu masih relevan hingga kini. Dua sektor itu terbukti memiliki koefisien tumbuh yang tinggi.
Rumusan itu telah dibuktikan oleh Zennoh di Jepang (pertanian), IFFCO di India (pengolahan susu), iCOOP di Korea Selatan (pertanian dan pengolahan), Eroski di Spanyol (perdagangan ritel), NTUC Fairprice di Singapura (perdagangan ritel), Mondragon di Spanyol (manufaktur) dan koperasi-koperasi kelas dunia lainnya. Mereka merajai dengan kontribusi PDB sangat signifikan.
Selaras dengan itu, pekerjaan rumah kita sekarang adalah memperbesar koperasi sektor riil, khususnya di pertanian dan perdagangan. Dua sektor ini sudah biasa dikerjakan koperasi, tinggal diperbesar volumenya. Apabila dua sektor itu naik menjadi 30 persen saja, akan mengungkit PDB koperasi.
Khusus sektor pertanian, afirmasi regulasi sudah cukup. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 telah mengatur tentang Korporasi Petani dan Nelayan (KPN) berbasis koperasi. Idealnya, regulasi itu dapat mendobrak berbagai hambatan struktural yang ada di tengah ancaman krisis pangan dunia. Berbagai sumber daya dapat dikerahkan, seperti penyediaan saprotan, alat dan mesin pertanian, factory sharing, serta dukungan pembiayaan yang relevan baik di hulu maupun hilir.
Pada sektor unggulan lain, seperti industri pengolahan, konstruksi, dan pertambangan, ada beberapa barrier nyata bagi koperasi. Hambatan itu terletak pada kapasitas modal, keahlian, dan teknologi. Dua yang terakhir dapat diintervensi melalui kerja sama operasional dengan perusahaan yang mumpuni.
Satu variabel lagi, modal, yang tampaknya menjadi masalah klasik di koperasi. Saat ini kita punya momentum bagus, yakni revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Sekarang waktu yang tepat untuk mengelaborasi instrumen modal koperasi agar lebih akseleratif.
Data mencatat total modal sendiri koperasi sebesar Rp 91,6 triliun (2021). Apabila dibagi rata dengan jumlah anggota sebanyak 27 juta, rata-rata kontribusi modal hanya Rp 3 juta per tahun di koperasi masing-masing. Ironisnya, angka itu lebih rendah dari jajan harian anak, minimal Rp 5 juta rupiah per tahun. Itu terjadi bukan karena anggota tak punya uang, melainkan instrumennya tak tepat.
Hemat saya, instrumen seperti Sertifikat Modal Koperasi (SMK) yang pernah diatur pada UU No 17 Tahun 2012 perlu diadopsi kembali. Instrumen ini bisa melengkapi Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib yang kurang memotivasi dan bahkan membatasi. Sebaliknya, dengan model SMK, anggota bakal terdorong berpartisipasi lebih.
Satu variabel lagi, modal, yang tampaknya menjadi masalah klasik di koperasi.
Multipihak
Pengungkit lain yang bisa dielaborasi adalah model multipihak, yang sudah diatur melalui Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2021. Barrier di atas dapat disolusikan dengan mengolaborasi berbagai sumber daya dari pihak-pihak yang relevan.
Keberadaan orang-orang dengan keahlian tertentu, seperti pengusaha dan investor, dapat menjadi pengungkit bisnis koperasi. Dalam skema multipihak, mereka dapat diberikan hak dan kewajiban berbeda. Dengan cara ini, koperasi menjadi lebih menarik dan dapat menyerap orang-orang kunci.
Bahkan di Amerika dan Eropa, anggota pada koperasi multipihak tak dibatasi hanya individu, tetapi juga terbuka pada entitas/badan hukum. Bayangkan begitu besar sumber daya yang dapat diserap dan dikelola koperasi dengan pola seperti itu. Tentu kita perlu mengelaborasi kembali definisi keanggotaan pada UU Perkoperasian mendatang.
Mengejar target PDB koperasi saya kira bukan semata pekerjaan rumah Menteri Koperasi, tetapi juga seluruh gerakan koperasi Tanah Air. Sebab, koperasi yang tumbuh bisnisnya akan memberi manfaat besar bagi anggota.
Belum lagi ditambah dengan multiplier effect seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, terbukanya usaha pendukung, dan lain sebagainya. Itu semua akan membuat manfaat koperasi menjadi kian masif. Dirgahayu Koperasi Ke-75, 12 Juli 2022, jaya!
Firdaus Putra HC, Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI); Direktur Kopkun Institute - Institut Ekonomi Sosial dan Koperasi