Perlindungan atas hak keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi pekerja di Indonesia hanya bergantung kepada komitmen atau “niatan baik” pemberi kerja. K3 belum menjadi hak dasar yang didapatkan setiap pekerja.
Oleh
FAJRUL FALAKH
·3 menit baca
Sejarah mencatat, isu terkait keselamatan dan kesehatan kerja (K3) telah ada sejak pergolakan gerakan buruh pada Revolusi Industri di Eropa. Ketika buruh membentuk serikat pekerja dan mulai menuntut kondisi kerja yang lebih baik, K3 menjadi salah satu yang terangkat pada isu-isu ketenagakerjaan.
Pada abad ke-18, seorang tokoh di bidang kedokteran industrial, Bernardino Ramazzini, memublikasikan buku bertajuk Penyakit-penyakit pada Pekerja. Buku yang kemudian semakin menimbulkan kesadaran kolektif bersama, bahwa Era Industrialisasi (Modern Industrialization) turut serta menghadirkan risiko yang dapat berpotensi menyebabkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, bahkan hingga hilangnya nyawa manusia di tempat kerja.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat, terdapat 234.270 kasus kecelakaan kerja di Indonesia pada tahun 2021. Jumlah tersebut naik 5,65 persen dari tahun sebelumnya yang ada pada angka 221.740 kasus.
Angka yang barangkali lebih besar jika berpijak kepada teori gunung es (iceberg theory), bahwa angka kecelakaan yang ada tidak lebih besar dari kondisi yang sebenarnya. Teori tersebut tentu dapat dipahami, bahwa jumlah kasus kecelakaan yang ada belum termasuk kasus pada pekerja di sektor informal.
Peraturan
International Labor Organization (ILO), organisasi internasional yang membidangi masalah ketenagakerjaan, mendefinisikan K3 sebagai upaya dalam menanggulangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja. Sementara itu, Universal Declaration on Human Rights juga menegaskan, semua orang mempunyai hak untuk hidup, bekerja, mendapatkan keadilan, dan kondisi kerja yang baik.
Pemerintah Indonesia sudah sejak lama merespons isu K3 dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Secara normatif, lewat Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970, para pelaku usaha diwajibkan memberikan perlindungan K3 bagi para pekerja. Lewat undang-undang tersebut pula, terdapat ancaman pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000 bilamana perusahaan tidak memberikan perlindungan K3 bagi para pekerjanya.
Lewat Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970, para pelaku usaha diwajibkan memberikan perlindungan K3 bagi para pekerja.
Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan pedoman penerapan Sistem Manajemen K3 dalam bentuk Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Juga Pasal khusus mengenai kewajiban pelaksanaan dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun, kondisi peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan di atas menjadi permasalahan sendiri saat Undang-Undang Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada tahun 2020. Tidak terdapat pasal khusus yang membahas sanksi bagi perusahaan bilamana tidak menerapkan K3 pada UU Cipta Kerja. Pun hingga hari ini belum ada produk turunan regulasi yang mengatur ancaman dan sanksi yang tegas mengenai kewajiban K3 bagi perusahaan atau pemberi kerja yang abai kepada hak dasar bagi tenaga kerja ini.
Hingga kini, acuan yang digunakan masih UU No 1 Tahun 1970 dengan ancaman pidana 3 bulan penjara dan denda Rp 100.000 bagi perusahaan yang ”nakal”. Kondisi ini tentu tidak ideal dan tidak mengakomodasi perlindungan tenaga kerja. Perkembangan industri hari ini telah banyak mengalami perubahan zaman, hingga banyaknya kasus dan kenaikan angka kecelakaan sebagaimana dijelaskan di atas.
Dengan kondisi tersebut, rasa-rasanya perlindungan atas hak K3 bagi pekerja di Indonesia saat ini hanya bergantung kepada komitmen atau ”niatan baik” para pemberi kerja. K3 belum menjadi hak dasar yang didapatkan setiap pekerja, tetapi seolah menjadi hak ”eksklusif” yang dinikmati sebagian para pekerja saja.
Harapan besar pada perubahan untuk meminimalisasi problematika terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja harus ada pada rel yang sama dengan peningkatan iklim investasi dan perkembangan industri di Indonesia. Perlindungan kerja yang sejalan dengan perubahan zaman, dengan regulasi yang terbarukan, komitmen dari pemberi kerja, hingga peran serta para pekerja menjadi garis besar pada persoalan K3 ini. Tentu kita tidak harus dan jangan sampai kehilangan sumber daya manusia yang unggul hanya karena lemahnya tanggung jawab bersama mengenai persoalan hak dasar bagi tenaga kerja kita.
Fajrul Falakh, Dosen K3L Teknik Lingkungan UIN Walisongo Semarang; Asosiasi Ahli K3 Kota Semarang