Ancaman Kegagalan Pemekaran Papua
Jika tidak dipersiapkan secara matang dan mempertimbangkan kemampuan pemerintahan daerah, daerah otonomi baru berpotensi gagal. Ada tiga alasan mengapa Provinsi Papua belum sepenuhnya siap untuk dimekarkan.
Pemekaran daerah secara positif ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan publik, mempercepat pembangunan, pelayanan publik, dan daya saing.
Namun, jika tidak dipersiapkan secara matang dengan mempertimbangkan kesiapan dan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan daerah, daerah otonomi baru (DOB) tersebut akan berpotensi gagal.
Secara teknis dan substantif, tiga DOB tersebut sepertinya belum terlalu siap untuk dimekarkan menjadi tiga provinsi baru: Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan. Selain itu, kondisi politik menjelang Pemilu 2024 akan membuat tugas pemerintah pusat untuk menangani masa transisi di daerah pemekaran akan sangat kompleks.
Apalagi, pada saat yang sama, harus dilakukan persiapan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pembentukan dan pengisian perangkat daerah, serta fasilitasi pembentukan Majelis Rakyat Papua. Belum lagi harus memfasilitasi tahapan pemilihan kepala daerah.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa pemekaran Provinsi Papua belum sepenuhnya siap untuk dimekarkan dan bisa berpotensi gagal.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa Provinsi Papua belum sepenuhnya siap untuk dimekarkan dan bisa berpotensi gagal. Pertama, kemampuan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang masih terbatas dibandingkan daerah lain di Indonesia, terutama pada aspek pencegahan korupsi.
Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK 2021 menunjukkan sangat rentannya risiko korupsi di wilayah Papua dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Dari skala 0-100, indeks penilaian integritas di Papua sebesar 58,04 atau di bawah rata-rata nasional 72,4.
Selain itu, kemampuan daerah dalam mencegah terjadinya korupsi pada delapan aspek tata kelola pemerintahan juga masih rendah. Dari rata-rata nasional 78,76 (skala 0-100), nilai Monitoring Corruption Prevention (MCP) pada 2020 di Papua berdasar data KPK hanya 68. Delapan aspek yang diukur antara lain perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, pelayanan terpadu satu pintu, Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), manajemen aparatur sipil negara (ASN), optimalisasi pajak daerah, manajemen aset daerah, dan tata kelola dana desa.
Baca juga: Papua dan Pembangunan
Baca juga: Paradigma Pembangunan Papua
Kemampuan pemerintahan daerah mencegah dan mengimplementasikan aksi pencegahan korupsi menjadi penting mengingat besarnya pengelolaan Dana Otonomi Khusus di Papua yang tahun 2021 mengalami peningkatan menjadi 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum Nasional berdasarkan UU No 2/2021. Data Kementerian Keuangan (2021) menunjukkan, dalam 20 tahun terakhir (2002-2021), total alokasi Dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) untuk Provinsi Papua mencapai Rp 99,58 triliun, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 9,6 persen.
Kedua, potensi pemekaran menjadi provinsi ”gagal” karena tak mendapatkan dukungan dari aktor politik lokal seperti Majelis Rakyat Papua (MRP). Memang dalam konteks pembentukan DOB di Papua seperti di UU No 2/2021 dapat dilakukan secara top-down, tetapi lemahnya dukungan elite politik lokal bisa memicu terjadinya instabilitas politik lokal. Padahal, apabila mengacu pada UU Pemerintah Daerah No 23/2014, diperlukan persetujuan DPRD dan gubernur provinsi untuk melakukan pemekaran.
Supriyanto
Selain itu, juga terjadi pembelahan di masyarakat soal pro-kontra dukungan terhadap pembentukan DOB baru. Di level kabupaten/kota juga terjadi perebutan lokasi ibu kota Provinsi Papua Tengah antarkepala daerah, terutama antara Nabire dan Timika. Meski akhirnya pemerintah dan DPR memutuskan Nabire sebagai lokasi ibu kota, implikasinya di tingkat lokal akan terjadi perebutan legitimasi di mana Nabire akan diposisikan sebagai pusat pemerintahan dan Timika pusat ekonomi.
Ketiga, tidak adanya mekanisme pembentukan daerah persiapan selama tiga tahun yang diatur dalam UU No 23/2014 tentang Pemda. Pembentukan daerah persiapan menjadi penting untuk mengukur kesiapan dan potensi daerah sebelum menjadi provinsi baru. Evaluasi itu, misalnya, terkait potensi ekonomi dan keuangan daerah, kemampuan penyelenggaraan daerah, potensi pendapatan DOB, serta kemampuan SDM terutama birokrasi dan ASN. Dengan kondisi yang terjadi di Papua, pembentukan daerah persiapan menjadi penting sekali dilakukan dan sayangnya hal ini tak diatur dalam revisi UU Otsus Papua.
Keempat, secara administratif, pembentukan Papua Selatan tidak memenuhi persyaratan dasar dan administratif penetapan DOB minimal lima kabupaten/kota.
Kekhawatiran terhadap ancaman kegagalan daerah pemekaran dapat menjadi diskursus bersama agar pembuatan kebijakan publik ke depan dapat dipersiapkan secara matang.
Apalagi, studi Bappenas dan UNDP (2008) menunjukkan, setelah lima tahun pelaksanaan otonomi daerah (2000-2005), kondisi daerah-daerah pemekaran yang menjadi lokasi penelitian tak menunjukkan perbaikan signifikan dalam aspek perekonomian, keuangan daerah, pelayanan publik dan aparatur pemerintah daerah. Dan, secara umum tetap berada di bawah daerah induk dan daerah kontrol. Studi ini juga menyimpulkan dari sisi ekonomi penyebab ketertinggalan adalah faktor keterbatasan SDM dan sumber daya alam (SDA).
Pembentukan DOB baru akan berimplikasi secara ekonomi, politik, pemerintahan, dan elektoral.
Implikasi
Pembentukan DOB baru akan berimplikasi secara ekonomi, politik, pemerintahan, dan elektoral. Bagian ini fokus melihat implikasi pada aspek elektoral. Pertama, implikasi pada pengorganisasian ulang daerah pemilihan (dapil), baik di tingkat DPR RI maupun provinsi serta jumlah anggota DPR.
Pemekaran Provinsi Papua akan berimplikasi pada bertambahnya jumlah anggota DPR dan DPR Papua serta alokasi kursi untuk DPR dan DPR Papua. Ada dua opsi yang bisa ditempuh, revisi terbatas UU Pemilu No 7/2017 atau penerbitan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) yang mengatur soal jumlah kursi DPR dan daerah pemilihan DPR. Penerbitan perppu terkait implikasi elektoral pasca-pembentukan DOB perlu dilakukan secara cepat, mengingat tahapan pemilu sudah dimulai.
Dalam UU Pemilu, jumlah anggota DPR berjumlah 575 kursi dan alokasi kursi per dapil diatur paling sedikit tiga kursi dan paling banyak 10 kursi. Apabila mengacu pada jumlah anggota DPR dapil Papua saat ini, terdapat 10 kursi. Setelah pemekaran menjadi empat provinsi, dan jika diasumsikan setiap provinsi dapat alokasi minimal tiga kursi, artinya akan terdapat 12 kursi untuk wilayah Papua. Dengan menggunakan asumsi tersebut, terjadi penambahan dari 10 menjadi 12 kursi.
Sementara di tingkat DPR Provinsi Papua, saat ini tersedia 69 kursi, dengan rincian 55 alokasi kursi berdasarkan UU Pemilu dan 14 kursi alokasi otonomi khusus. Pasca-pemekaran daerah, akan terjadi penghitungan ulang jumlah alokasi kursi pada empat provinsi di Papua. Apabila dilakukan simulasi berdasarkan jumlah penduduk menggunakan data Sensus BPS (2021), Provinsi Papua akan mendapatkan alokasi kursi DPR Papua sebesar 45 kursi, Papua Selatan 35 kursi, Papua Tengah 45 kursi, dan Papua Pegunungan 45 kursi.
Simulasi ini belum mempertimbangkan alokasi kursi otonomi khusus. Menggunakan data ini, jumlah alokasi kursi di Papua naik dari 55 saat masih jadi satu provinsi menjadi 170 kursi.
Kedua, implikasi terkait penyelenggaraan pemilu, yaitu penambahan anggaran pemilu dari 34 jadi 37 provinsi, serta penyiapan organisasi dan rekrutmen penyelenggara pemilu tingkat lokal, baik KPUD maupun Bawaslu provinsi.
Ketiga, implikasi pendaftaran parpol. Dalam UU Pemilu disebutkan, parpol harus memiliki kepengurusan di semua provinsi. Pemekaran provinsi mewajibkan parpol memiliki kepengurusan di seluruh provinsi untuk dapat ditetapkan sebagai partai peserta pemilu.
Keempat, penambahan jumlah anggota DPD dari empat menjadi 12 orang.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah mempersiapkan dengan betul pemilihan kepala daerah (pilkada). Faktor kepemimpinan kepala daerah menjadi penting untuk memitigasi rentannya pemekaran daerah menjadi daerah gagal.
Studi CSIS (2021) menunjukkan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah pada sejumlah daerah di Indonesia menunjukkan peran dan inovasi kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerah.
Agar pemekaran daerah tidak berakhir dengan kegagalan, komitmen dan political will semua pihak menjadi keharusan.
Mitigasi
Di tengah kompleksitas pemekaran daerah, penyiapan dan pengisian perangkat daerah perlu diperhatikan secara saksama. Meskipun UU mensyaratkan adanya akomodasi terhadap orang asli Papua (OAP) paling banyak 80 persen dari jumlah pegawai negeri, pada beberapa daerah di Papua terjadi perubahan demografi.
Konflik dan perebutan akses menjadi pegawai negeri antara OAP dan non-OAP berpotensi terjadi, terutama pada daerah-daerah di mana karakteristik populasi sudah beragam, misalnya pada dua kabupaten di Papua Selatan, yaitu Merauke dan Boven Digoel.
Data Naskah Akademik Pembentukan Papua Selatan yang diterbitkan oleh UGM (2021) menunjukkan perubahan demografi di dua tempat tersebut. Di Merauke, misalnya, jumlah populasi OAP hanya 30,05 persen, sisanya non-OAP. Di Boven Digoel hanya 48,79 persen populasi OAP. Sementara di Asmat dan Mappi, jumlah populasi OAP masih di atas 80 persen.
Aspek strategis lainnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimana melakukan koordinasi penanganan Papua di tengah banyaknya unit di kementerian dan lembaga yang mengurusi Papua. Apalagi, sampai saat ini belum terbentuk Badan Khusus Papua seperti amanat UU Otsus jilid dua.
Meski pemerintah pusat sudah berkomitmen untuk bertanggung jawab dalam masa transisi DOB sampai adanya kepala daerah yang definitif, belum terintegrasinya kementerian dan lembaga negara yang khusus menangani Papua membuat sangat rentan terjadi tumpang tindih kebijakan. Agar pemekaran daerah tidak berakhir dengan kegagalan, komitmen dan political will semua pihak menjadi keharusan.
Arya Fernandes Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS