Boris Johnson kerap melanggar aturan dan norma politik. Sebelumnya, ia selalu selamat, tetapi tidak kali ini. Karakternya tak lagi cocok memimpin Inggris.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dalam drama politik, yang dilukiskan seperti ”pemberontakan kabinet”, setelah tiga tahun menjabat Perdana Menteri (PM) Inggris, Johnson akhirnya menyerah. Dalam pidato di kantornya, di Downing Street 10, London, Kamis (7/7/2022), ia menyatakan mundur dari jabatan Ketua Partai Konservatif, yang kini menjalankan pemerintahan di Inggris. Dengan mundur sebagai ketua partai penguasa, Johnson secara otomatis juga mundur sebagai PM. Namun, ia ingin menjabat hingga ketua baru Partai Konservatif terpilih.
Berarti Johnson (58) masih memiliki waktu beberapa bulan menjalankan pemerintahan meski, seperti yang dikatakannya, ia berjanji tidak akan mengambil kebijakan strategis. Namun, setelah sekian lama dengan skandal demi skandal, yang coba ditutupi dengan kebohongan demi kebohongan, siapa masih percaya? Dia harus pergi secepatnya dari pemerintahan, tulis majalah The Economist.
Pesan itu pula yang ditegaskan mitra terdekatnya, Menteri Keuangan Nadhim Zahawi, dalam suratnya kepada Johnson sehari sebelum pengumuman pengunduran diri itu. Kian lama Johnson bertahan, akan semakin buruk bagi semua: Johnson, Partai Konservatif, dan Inggris.
’
Semua tak tahan lagi, termasuk lebih dari 50 menteri, pejabat pemerintahan, dan anggota parlemen, yang mundur beramai-ramai dari kabinet dan lingkaran dekat Johnson. Johnson dikenang berkat perannya mengegolkan keinginan mayoritas warga Inggris keluar dari Uni Eropa tahun 2020, menyusul referendum pada 2016.
Di internal Konservatif, ia dinilai sukses lewat kemenangan bersejarah dalam pemilu, Desember 2019. Hingga memasuki 2020, dominasi Johnson di panggung politik Inggris hampir sempurna. Lalu, datanglah pandemi Covid-19 di awal tahun 2020.
Namun, bukan akibat kebijakan penanganan Covid-19 yang menyebabkan ia kehilangan dukungan orang-orang dekatnya dan publik. Di bawah kepemimpinan Johnson, Inggris tercatat sebagai negara di Eropa dengan kasus tertinggi dan kematian terbanyak akibat Covid-19. Namun, ia dinilai sukses dalam vaksinasi. Inggris tercepat dalam vaksinasi Covid-19 di kalangan negara maju.
Namun, muncul masalah di ranah politik akibat rentetan skandal. Johnson, misalnya, diselidiki atas mahalnya biaya renovasi flatnya di Downing Street. Kemudian soal pelecehan seksual oleh koleganya, Chris Pincher, hingga kasus pesta ulang tahun ke-56 di Downing Street ketika aturan melarang hal itu. Dari penuturan orang-orang yang mengenalnya, sejak kecil Johnson memiliki kecenderungan meyakini aturan hanya berlaku untuk orang lain, bukan untuk dirinya.
Karakter seperti ini yang antara lain membuat Johnson dinilai tak tepat menjadi pemimpin. Seharusnya, ia sudah lama mundur, ungkap Keir Starmer, politikus Partai Buruh. Roda pemerintahan disusun berdasarkan aturan. Bagaimana roda pemerintahan akan berjalan jika aturan itu diabaikan?