Abe yang menjadikan hidupnya sebagai penyokong utama kemanusiaan itu kini direnggut dengan kekerasan yang mengingkari kemanusiaan. Sikap anti-kemanusiaan itu harus dihentikan.
Oleh
Redaksi Kompas
·3 menit baca
Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meninggal setelah menjalani perawatan. Ia ditembak saat berkampanye di wilayah Nara, Jumat (8/7/2022). Nara terletak di barat daya Tokyo, Jepang.
Abe menjadi PM Jepang terlama. Politisi berusia 67 tahun itu wafat di rumah sakit di Kashihara, Nara Region, tempatnya mendapatkan perawatan medis. Abe di Nara untuk berkampanye bagi Partai Demokratik Liberal (LDP), yang pernah dipimpinnya, menjelang pemilu Majelis Tinggi Parlemen yang dijadwalkan berlangsung pada Minggu (10/7/2022). (Kompas.id, 8/7/2022)
Pelaku penembakan, seorang pria, diidentifikasi bernama Tetsuya Yamagami, warga Nara dan bekas anggota Pasukan Bela Diri Maritim Jepang. Yamagami mengaku kepada polisi, ia tidak suka dengan Abe dan berniat membunuhnya. Abe ditembak dari belakang. Yamagami kini ditahan. PM Jepang Fumio Kishida mengatakan, penembakan itu adalah tindakan barbar dan ia mengecamnya. Tindakan itu juga tak termaafkan dan mencederai demokrasi.
Kekerasan bermotif politik jarang terjadi di Jepang. Negeri itu mengatur ketat kepemilikan dan pemakaian senjata. Namun, ada sejumlah kasus kekerasan yang menimpa pejabat, termasuk PM Jepang. Abe adalah PM Jepang ketujuh yang menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan politik atau kudeta sejak tahun 1909. Kasus terakhir menimpa PM Takahashi Korekiyo yang diserang oleh sekelompok tentara muda di rumahnya pada tahun 1936.
Selain terlama, Abe juga tercatat menjadi PM Jepang dalam dua periode, yaitu tahun 2006-2007 dan 2012-2020. Dia menjadi PM termuda sejak Perang Dunia II. Abe mengundurkan diri sebagai PM tahun 2020 karena alasan kesehatan. Meski tak menjabat lagi, ia tetaplah sosok berpengaruh di LDP.
Abe adalah PM Jepang ketujuh yang menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan politik atau kudeta sejak tahun 1909. Kasus terakhir menimpa PM Takahashi Korekiyo, yang diserang oleh sekelompok tentara muda di rumahnya, tahun 1936.
Selama memimpin Jepang, Abe dikenal sangat memedulikan kemanusiaan dan perdamaian. Ia menjalankan diplomasi Jepang sebagai pendamai, misalnya ketika terjadi ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran. Pada 2019, dia mengunjungi Iran dengan misi agar bersedia berdialog kembali dengan AS. Abe juga membuka dialog dengan Korea Utara, China, dan Rusia yang memiliki persoalan perbatasan dengan Jepang, serta merangkul negara-negara lain di Asia untuk bekerja sama.
Kesepakatan Presiden AS Donald J Trump dan Presiden China Xi Jinping untuk mengurangi tensi perdagangan pada pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang, tahun 2019, juga tak lepas dari peran Abe.
Di dalam negeri, selain mereformasi perekonomian Jepang dengan pendekatan Abenomics, Abe juga dikenal memperhatikan sisi kemanusiaan warga Jepang. Pada 2018, misalnya, ia mendorong agar suami mengambil cuti mendampingi istrinya saat melahirkan. Perempuan pun diberi kesempatan lebih luas lagi berkarya di negeri itu.
Kaum muda Jepang didorong membantu kaum lanjut usia agar lebih produktif. Jepang menghadapi masalah populasi yang menua.
Abe pada ajang Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss pada 2019 juga mengenalkan visi Society 5.0 (Masyarakat 5.0), yang bertumpu pada hubungan antarmanusia yang ditopang teknologi, termasuk telemedicine, menggantikan era Industri 4.0, yang lebih mengutamakan digitalisasi. Gagasan Masyarakat 5.0 pertama kali disampaikan Abe pada konferensi internasional dalam pameran teknologi Centrum der Büroautomation und Informationstechnologie und Telekommunikation (CeBIT) di Hannover, Jerman, Maret 2017. Kaum muda Jepang didorong membantu kaum lanjut usia agar lebih produktif. Jepang menghadapi masalah populasi yang menua.
Namun, Abe, yang menjadikan hidupnya sebagai penyokong utama kemanusiaan, kini direnggut dengan kekerasan, yang mengingkari kemanusiaan. Sikap anti-kemanusiaan itu harus dihentikan.