Pasal 4 Butir E Keputusan Gubernur Nomor 28 Tahun 1999 menyatakan, ”Tidak mengubah atau mengganti nama yang sudah tertanam di hati masyarakat dan mempunyai nilai sejarah bagi tempat tersebut”.
Oleh
Triesti Prabawati
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Warga Jalan Tanah Tinggi I Gang 5, Johar Baru, Senen, Jakarta Pusat, memasang spanduk penolakan penggantian nama jalan di wilayah pemukiman mereka, Rabu (29/6/2022). Warga setempat menolak penggantian nama Jalan Tanah Tinggi I Gang 5 menjadi Jalan A Hamid Arief. Mereka juga mengaku jika pemasangan papan nama jalan ini tanpa ada sosialisasi dan juga musyawarah dengan warga sebelum dilakukan perubahan nama jalan. Selain historis wilayah, warga menolak penggantian nama jalan ini akan berdampak pada administrasi sejumlah dokumen penting mereka. Pemasangan papan penggantian nama jalan yang dilakukan pada Minggu (19/6/2022) malam oleh pihak Pemerintah Kota Jakarta Pusat pun tanpa ada komunikasi dengan warga sehingga mereka baru mengetahui telah terpasang papan nama jalan baru pada Senin (20/6/2022) pagi. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 29-6-2022
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengubah 23 nama jalan di Jakarta, yang hampir semua sudah ada lebih dari 30 tahun. Hingga akhir Juni, penghuni di enam jalan menolak perubahan itu dan lebih dari 3.200 orang menandatangani dua petisi penolakan.
Kebijakan ini terkesan sepihak tanpa sosialisasi sehingga akhirnya malah menimbulkan banyak masalah yang mungkin tidak terpikir sebelumnya.
Apresiasi kepada pahlawan bisa dilakukan dengan menamakan taman dan ruang publik terpadu ramah anak di Jakarta. Terlebih mengingat Pasal 4 Butir E Keputusan Gubernur Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pedoman Penetapan Nama Jalan, Taman, dan Bangunan Umum di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, yang menyatakan, ”Tidak mengubah atau mengganti nama yang sudah tertanam di hati masyarakat dan mempunyai nilai sejarah bagi tempat tersebut”.
Perubahan nama jalan kali ini berdampak pada puluhan ribu jiwa, dan entah berapa ribu perusahaan, yang sepertinya masih akan ada gelombang keduanya.
Narasi rakyat tidak mengeluarkan uang tentu tidak sepenuhnya benar. Entah berapa jam akan terbuang untuk mengurus dokumen yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan yang lebih produktif dan bisa menghasilkan uang. Alih-alih menghasilkan uang, rakyat justru harus mengeluarkan biaya untuk transportasi, misalnya. Selain itu, para pemilik usaha yang akta dan segala dokumennya harus disesuaikan tentu juga harus mengeluarkan biaya yang tidak murah.
Sampai surat ini dibuat, belum ada payung hukum bahwa dokumen terkait perubahan nama jalan ini bisa diganti saat kedaluwarsa; pun perubahan pada BPKP dan STNK yang katanya gratis. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada kemudian hari karena pasti ada yang masa berlakunya masih panjang—misalnya bisa lima tahun pada paspor—yang apabila diganti sekarang pasti perlu biaya.
Selain itu, perbedaan data dapat menimbulkan masalah menjelang Pemilu 2024. Oleh karena itu, dengan hormat, kami mohon agar perubahan nama jalan ini dibatalkan.
Triesti PrabawatiJakarta Timur
Jalan Bang Ali
Pejabat Gubernur DKI Ali Sadikin meninggalkan telapak (kedua) kakinya dibawah prasasti, pada peresmian plaza dan sistim baru perparkiran di Pusat Perdagangan Blok M, Kebayoran Baru, Jumat sore yang lalu. Peristiwa ini sekaligus menandai awal perbaikan lingkungan di sana. Bersamaan dengan itu dimulai pula pembangunan pusat perdagangan Aldiron Plaza di areal bekas toko serba ada Sarinah, Kebayoran. Plaza yang diresmikan sore itu dihiasi selain dengan pertamanan, juga sejumlah kios yang seluruhnya memakan biaya Rp 372 juta. Pusat perdagangan Aldiron ini nantinya terdiri dari 6 lantai berdiri di tanah seluas 4.000 meter2 dengan biaya yang ditaksir mencapai Rp 3,6 milyar. Belum diketahui kapan rencananya bangunan ini selesai.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengubah sejumlah nama jalan dan tempat, dengan nama orang-orang Betawi. Upaya ini tentu untuk mengenang jasa mereka, khususnya warga Jakarta.
Namun, memilih nama-nama dari hanya satu etnik tampaknya kurang mencerminkan Jakarta sebagai kota toleransi seperti yang digembar-gemborkan selama ini. Ini tentunya mengundang tanya, atas dasar kajian apa sehingga hanya nama-nama tokoh Betawi yang diabadikan.
Menurut sejarah, Jakarta berasal dari bandar Sunda Kelapa yang menjadi persinggahan banyak suku dan etnik. Jadi, menurut pandangan saya, hakikatnya Jakarta terbentuk dan dihuni oleh banyak suku dan etnik Nusantara.
Sebagai warga Pondokgede, saya senang juga Jalan Raya Pondokgede, Jakarta Timur, berubah menjadi Jalan H Bokir. Namun, apakah tokoh seniman Betawi itu lebih berjasa daripada Bang Ali, sebutan akrab Gubernur Ali Sadikin, yang telah mengubah Jakarta menjadi kota metropolitan?
Tidak ada nama Bang Ali dalam perubahan nama ini, padahal jasanya luar biasa.
A RistantoJatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi
Nama Jalan
infografik Nama Jalan Diganti Tokoh Betawi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengubah 23 nama jalan dengan nama tokoh-tokoh Betawi. Konon upaya ini akan berlanjut dengan nama-nama jalan lain.
Substansi penggantian nama jalan ini adalah penghormatan terhadap peran para tokoh Betawi dalam mewarnai perjalanan kota Jakarta.
Namun, banyak kalangan berkeberatan atas perubahan ini lantaran ribetnya pengurusan administrasi jika nama jalan harus diganti.
Kota Jakarta sebentar lagi bukan ibu kota negara. Apakah perubahan ini dilakukan untuk menyiapkan Jakarta sebagai kota biasa?
Mudah-mudahan keputusan ini tidak diikuti kota-kota lain karena penggantian nama jalan harus berdasarkan pada kriteria dan pertimbangan yang jelas serta terukur.
Yang pasti, nama tokoh dan pahlawan nasional tidak boleh diganti sewenang-wenang, ada nilai-nilai kesejarahan bangsa.
Budi Sartono SoetiardjoCilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung