Bukankah AS terkenal sebagai bangsa yang menentang budaya kekerasan, mengutamakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi?
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Aksi penembakan terkesan makin sering dan mudah sekali terjadi di Amerika Serikat, seperti pekan ini. AS terguncang oleh penembakan di Chicago dan Philadelphia.
Kedua serangan itu dilaporkan menewaskan tujuh orang. Guncangan terasa semakin keras karena tragedi berlangsung pada 4 Juli di tengah suasana kegembiraan perayaan Hari Kemerdekaan AS.
Segera terbayang, kegembiraan yang sedang memuncak di seluruh negeri tiba-tiba meredup dan padam seketika, begitu mendengar tragedi penembakan ke arah massa, yang sedang menunggu parade kemerdekaan.
Tragedi pada hari besar AS itu menggambarkan penembakan bisa berlangsung kapan dan di mana saja, tanpa memilih sasaran. Efek demonstratif rangkaian penembakan selama ini tergolong tinggi sebab tidak jarang berlangsung di lingkungan sekolah, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Lebih sering tentu saja aksi penembakan dilakukan di tempat umum. Korban terus berjatuhan tanpa ada yang tahu kapan mata rantai tragedi penembakan itu dapat diputuskan. Bahkan, sudah muncul kekhawatiran tentang kemungkinan aksi penembakan lama-lama dianggap sebagai hal biasa saja.
Apalagi, frekuensi serangan semakin tinggi, sementara tidak ada langkah terobosan dari aparat untuk menghentikannya. Sampai sekarang, misalnya, belum ada agenda konkret untuk menghentikan produksi, penjualan, dan peredaran senjata api secara bebas.
Upaya menghentikan penjualan senjata secara bebas rupanya sulit dilakukan. Tampaknya, begitu banyak pihak yang berkepentingan dalam industri senjata, sebagai bisnis yang sangat menggiurkan.
Sudah dapat dibayangkan, senjata yang berbahaya akan menjadi semakin berbahaya dan menjadi sumber petaka jika berada di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, atau berjiwa labil.
Maka, tidaklah terlalu mengherankan jika banyak remaja yang sedang labil kejiwaan menjadi pelaku penembakan. Sungguh menarik pula pandangan pengamat yang menyatakan, fenomena aksi penembakan di AS hanyalah reproduksi dari budaya kekerasan.
Pandangan ini tentu terdengar paradoks. Bukankah AS terkenal sebagai bangsa yang menentang budaya kekerasan, mengutamakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi? Namun, tidak dapat dikesampingkan pula AS sering memamerkan penggunaan senjata dalam misi militer ke sejumlah negara, seperti Vietnam, Afghanistan, dan Irak.
Bukan tak mungkin, penggunaan senjata itu menjadi sumber inspirasi, bahkan ditiru oleh warga AS. Apalagi, penggunaan senjata yang mematikan dianggap sebagai bagian tindakan heroik, seperti digambarkan pada film-film AS yang beredar cepat di era digital.
Perlu dikemukakan pula, negara semaju AS saja kerepotan dalam menghadapi budaya kekerasan, apalagi negara-negara berkembang. Siapa pun tidak boleh lengah.