Sisi Intelektualitas, Spiritualitas, dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif
Buya Syafii adalah tokoh pemikir, aktivis, dan pejuang Islam. Sebagai tokoh agama, Buya dikenal memiliki konsistensi “membumikan Islam”. Bagi Buya, Islam adalah agama yang sarat nilai-nilai kemanusiaan.
Ahmad Syafii Maarif yang berpulang sekitar 40 hari lalu merupakan salah satu intelektual Muslim terkemuka di Indonesia. Popularitas Buya Syafii, begitu sapaan akrab Ahmad Syafii Maarif, sudah melampaui beberapa dekade. Dalam kolom yang dimuat majalah Tempo (1993), misalnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sudah menyebut Buya sebagai salah satu dari ”tiga pendekar” yang merupakan intelektual Muslim generasi awal lulusan Chicago, Amerika Serikat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti ”intelektual” adalah orang yang cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Sebutan intelektual biasanya dibedakan dari sarjana dan orang pintar. Sarjana adalah sebutan bagi siapa saja yang telah lulus dari perguruan tinggi, sedangkan orang pintar adalah sebutan bagi siapa saja yang memiliki ilmu pengetahuan melalui proses belajar.
Tidak semua sarjana itu pintar, begitu juga sebaliknya, tidak semua orang pintar itu sarjana. Intelektual bisa jadi merupakan gabungan dari kesarjanaan dan kepintaran, meskipun banyak juga intelektual yang bukan sarjana.
Baca Juga: Cermin Kejernihan, Mengenang Buya Syafii Maarif
Selain sebagai intelektual, bersama Gus Dur dan Nurcholish Madjid (Cak Nur), Buya kerap disebut sebagai Guru Bangsa. Saya tidak tahu persis siapa yang pertama kali menyebutnya seperti itu, yang jelas sebutan ini tidak main-main. Buya sendiri merasa kurang nyaman dengan sebutan yang dinilainya punya konsekuensi yang amat berat. Bahkan, untuk sebutan Buya pun beliau kurang berkenan.
Akan tetapi, sebutan apa pun itu, semua datang begitu saja tanpa diundang, apalagi beliau harapkan. Dan, penghormatan itu memang sangat layak diberikan kepada mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Banyak intelektual yang mumpuni dan masih aktif di Muhammadiyah, serta ada juga beberapa mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, tetapi, sejauh ini, hanya Buya yang mendapat sebutan sebagai Guru Bangsa.
Intelektual organik
Antonio Gramsci membagi dua jenis intelektual: tradisional dan organik. Intelektual tradisional adalah yang berkutat dengan ilmu pengetahuan, terasing dari realitas, berada di menara gading. Sementara intelektual organik adalah yang tidak hanya berkutat dengan masalah-masalah saintifik, tetapi juga selalu berupaya memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya untuk membangun masyarakat. Intelektual organik tidak putus hubungan dengan realitas.
Dalam bahasa Persia, intelektual organik disebut sebagai rausyanfikr atau ilmuwan yang tercerahkan (enlightened thinker), yakni para ilmuwan yang berpikiran maju, bekerja secara profesional, tetapi juga terpanggil untuk melakukan perubahan-perubahan sosial politik dan kultural. Dalam Al Quran, ada istilah serupa, yakni ulul albab yang oleh Ali Syari’ati disebut sebagai orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan pada eranya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya yang memberinya rasa tanggung jawab sosial.
Buya Syafii adalah satu dari sekian banyak intelektual organik yang dimiliki Indonesia. Beliau intelektual sekaligus aktivis. Dari aktivis Himpunan Mahasiswa Islam hingga menjadi Ketua Umum Muhammadiyah—organisasi Islam dengan amal usaha terbesar di dunia. Dalam bahasa Emil Salim (2005), Buya Syafii adalah tokoh pemikir, aktivis, dan pejuang Islam yang berkaca kepada pemahaman sejarah yang ditekuninya, dan memimpin organisasi Muihammadiyah memberi derma baktinya pada bangsa Indonesia dan masyarakat dunia.
Buya Syafii adalah satu dari sekian banyak intelektual organik yang dimiliki Indonesia. Beliau intelektual sekaligus aktivis.
Peran-peran sosial Buya Syafii pasca-Muhammadiyah, selain berkiprah pada ranah supra struktur politik dengan berperan sebagai ”dewan etik” dan ”dewan pengarah” di lembaga negara, Buya juga banyak mencurahkan pikirannya dalam tulisan-tulisan yang tajam dan bernas, berisi tentang panduan hidup bagi siapa pun dalam posisi apa pun. Tulisan-tulisan Buya memiliki spektrum yang mencandra semua kelompok masyarakat. Dari marbot masjid hingga pemimpin dunia tidak lepas dari perhatian Buya.
Tulisan-tulisan Buya yang sarat dengan pesan-pesan moral inilah yang membuatnya disebut sebagai Guru Bangsa, atau dalam bahasa Alois A Nugroho, Guru Besar Etika Komunikasi Politik Unika Atmajaya, sebagai ”muazin moralitas bangsa”. Dalam amal sosial Islam, muazin adalah ”tukang azan” atau orang yang bertugas untuk memanggil, menyeru kepada kebaikan.
Secara denotatif, seruan dimaksud untuk menunaikan ibadah shalat, tetapi secara konotatif bisa dimaknai sebagai seruan untuk hal-hal yang baik dan konstruktif. Pada saat Amien Rais menyerukan untuk dilakukan suksesi politik nasional pada awal tahun 1990-an, oleh Hajriyanto Y Thohari (kini Dubes RI di Lebanon), Amien juga disebut sebagai muazin.
Baca Juga: Politik Moral Buya Syafii Maarif
Dalam prosesi shalat berjemaah, muazin biasanya tidak akan merangkap imam, kecuali pada kondisi darurat di mana tidak ada orang yang mau menjadi imam, muazin ”terpaksa” merangkap jadi imam. Tetapi ini tidak lazim.
Sebagai muazin, Buya merupakan tokoh yang konsisten dan tidak pernah tertarik menjadi ”imam” walaupun ada yang menginginkannya menjadi calon presiden. Amien Rais bahkan pernah memintanya untuk memimpin partai politik. Buya tidak bersedia.
Akan tetapi, perlu dicatat, penolakan Buya bukan dengan cara jumawa dan membusungkan dada bahwa dirinya tidak berkeinginan menjadi penguasa. Buya kerap berseloroh bahwa ia mungkin saja akan tergoda jika permintaan itu diajukan pada saat dirinya masih muda.
Spiritualitas membumi
Sebagai tokoh agama, Buya dikenal memiliki konsistensi untuk ”membumikan Islam” atau dalam bahasa Quraish Shihab, ”membumikan Al Quran”. Setiap Muslim, terutama yang taat dengan agamanya, pasti akan menjadikan Al Quran sebagai rujukan utama (selain sabda Rasulullah/hadits dan hasil ijtihad serta ijtimak ulama) dalam setiap ucapan dan tindakannya. Akan tetapi, tidak semua tokoh agama mau dan mampu mengamalkan secara maksimal setiap pesan yang ada dalam ayat-ayat kitab suci itu.
Yang kita saksikan saat ini, banyak kalangan menjadikan pesan-pesan Al Quran sebagai komoditas politik, menjadikan Islam sebagai alat untuk melegitimasi atau untuk membungkus hasrat politiknya. Maka, kampanye politik untuk kepentingan elektoral pun sarat dengan bungkus ayat-ayat kitab suci.
Buya Syafii adalah salah satu tokoh yang mengkritik keras tindakan semacam itu. Terhadap mereka yang menjadikan Islam sebagai alat meraih kekuasaan, Buya mengistilahkannya dengan ”politik bendera” atau ”politik gincu”. Begitu pun pada mereka yang memperjuangkan Islam dengan peraturan-peraturan yang berbungkus agama seperti Perda Syariah atau yang sejenisnya.
Menurut Buya, Islam harus seperti garam, pesan-pesannya terimplemantasi dalam kehidupan, dampak positifnya bisa dirasakan semua orang.
Kebalikan dari ”politik gincu” adalah ”politik garam”. Gincu tampak merah merona tapi tidak ada rasanya kecuali sekadar untuk membangkitkan hasrat atau syahwat libidinal kekuasaan. Sementara sifat garam larut dan tak tampak dalam air, tetapi bisa dirasakan. Menurut Buya, Islam harus seperti garam, pesan-pesannya terimplemantasi dalam kehidupan, dampak positifnya bisa dirasakan semua orang walaupun tidak ada bendera yang dikibarkan, atau kalimat-kalimat tauhid yang diteriakkan.
Bagi Buya, spiritualitas harus membumi dan inklusif. Kerasulan Muhammad yang menjadi ”rahmatan lil-‘alamin” adalah legitimasi tak terbantahkan bahwa agama yang dibawa Rasulullah ini harus menjadi rahmat, memberikan kenyamanan, bagi semua kalangan, bukan secara eksklusif bagi Muslim saja. Bendera dan perda hanya menunjukkan eksklusivitas yang menegasikan perbedaan keyakinan.
Pandangan spiritualitas yang membumi dan inklusif yang dikembangkan Buya Syafii tidak lepas dari pengaruh gurunya, Fazrul Rahman, yang dikenal karena konseptualisasinya terhadap Al Quran sebagai wahyu ilahi yang harus bisa mendorong umat Islam untuk memiliki pemikiran, wawasan, dan perilaku yang bersumber dari pandangan dunia dan etika Qurani.
Kemanusiaan universal
Bagi Buya Syafii, Islam adalah agama yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sumber utama doktrin Islam yang utama, Al Quran, pada dasarnya merupakan refleksi dari hasil dialog konstruktif antara pesan langit dan realitas obyektif yang ada di bumi. Pesan-pesan utama demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM), meskipun secara literal tidak ada dalam Al Quran, tetapi jelas terkandung dalam kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW ini.
Pesan-pesan partikular seperti cara hidup sehari-hari yang diajarkan Al Quran adalah ditujukan kepada semua umat manusia secara universal, bukan terbatas kepada Muslim saja. Larangan tidak boleh membunuh, mencuri, berzina, bersumpah palsu, menuduh (tanpa bukti), berprasangka buruk, memfitnah, dan menyakiti orang lain, adalah pesan-pesan yang berlaku bagi siapa pun dan di mana pun, tanpa memandang agama, suku, golongan, dan strata sosial.
Baca Juga: Humanisme Islam Buya Syafii
Menurut kesaksian banyak kalangan, seperti yang tersaji dalam buku Cermin untuk Semua yang menjadi kado ulang tahun beliau yang ke-70, Buya Syafii adalah sosok yang konsisten menjalankan pesan-pesan moral agamanya. Buya, menurut Sudhamek AWS adalah sosok walk the talk yang mampu menyatukan kata dan perbuatan.
Moral kemanusiaan universal Buya Syafii jelas terlihat, misalnya, dalam tulisan-tulisannya yang, antara lain, secara rutin dimuat di harian Republika. Pembelaan Buya terhadap orang-orang yang terpinggirkan, dan nasihat-nasihatnya kepada para politisi, termasuk kolega-koleganya sendiri, merupakan refleksi dari ”dialog” yang selama ini ia lakukan dengan Al Quran. Nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci ini ia yakini sebagai kebenaran universal. Wallahu’alam!
(Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute)