Mencari Akar Duka
Akar duka manusia tidak lain karena "ia ingin menikmati hal indah yang ada di dunia ini selamanya". satu-satunya cara mengatasi “keputusasaan” dan meringankan kondisi ini adalah dengan “berserah”.
”Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan, orang yang ingin masuk surga pun tidak mau mati untuk masuk ke sana,” kata Steve Jobs suatu waktu.
Kali ini saya tidak menulis tentang kematian, tetapi suatu rasa yang terkait erat dengannya. Tentang duka. Apakah Anda ingin berduka? Tentu tidak. Namun, meninggalnya orang yang kita kasihi memang menyesakkan dan itu mengundang pilu masuk ke bilik-bilik jiwa kita yang rapuh.
Kematian dan duka melekat erat, tak terpisahkan. Anda tentu pernah berduka. Saya juga. Ya, berduka karena kehilangan adalah wajar, dan tidak ada cara yang tepat untuk berduka, kata pakar psikologi Ronald Welch. Salah satu hal paling memilukan yang dialami semua orang di lembar-lembar hidupnya adalah kehilangan orang yang dicintai.
Baca Juga: Berduka
Meski banyak orang tahu ”semua manusia akan mati”, tetapi sedikit sekali yang siap menerima kepergian orang yang dicintai selama-lamanya. Sekuat apa pun manusia menghindar dari Sang Maut, ia akan tertangkap juga olehnya. Sebuah dongeng lama mengingatkan kita tentang ini.
Alkisah, seorang pedagang di Baghdad suatu hari menyuruh pelayannya pergi ke pasar. Pelayan itu kembali dengan muka pucat ketakutan. Tuannya bertanya, ”Lho ada apa, kok mukamu seperti ketakutan gitu?”
Si pelayan menjawab, ”Tuan, saya bertemu dengan Maut. Ia melihat saya, lalu menggerak-gerakkan tangannya secara menakutkan. Tuan, saya takut sekali, mohon pinjamkan saya seekor kuda supaya saya bisa pergi dari sini.”
Tuan itu bertanya, ”Emangnya kamu mau lari ke mana?”
”Aku mau lari ke kota Samarra,” jawab si pelayan.
Meski banyak orang tahu ”semua manusia akan mati ”, tetapi sedikit sekali yang siap menerima kepergian orang yang dicintai selama-lamanya.
Tuan itu merasa kasihan, lalu meminjamkan kudanya dan pelayan itu segera pergi ke kota Samarra. Tuan itu merasa penasaran, ia bergegas pergi ke kota untuk mencari Maut. Waktu bertemu dengan Maut, tuan itu bertanya, ”Wahai Maut, mengapa engkau menakut-nakuti pelayanku?”
Maut menjawab, ”Aku tidak menakut-nakuti dia. Aku hanya heran melihat dia di pasar kota Baghdad ini, karena aku punya perjanjian untuk bertemu dengan dia malam ini di kota Samarra.”
Duka yang membuka
Dongeng itu hanya mau mengingatkan, maut tak bisa dihindari, duka tak dapat ditolak. ”Hidup setiap orang berakhir dengan cara yang sama. Hanya detail bagaimana dia hidup dan bagaimana dia mati yang membedakan satu orang dari yang lain,” ujar Ernest Hemingway.
Namun, situasi tidak berhenti pada kematian itu sendiri. Meski tidak ada yang bisa memastikan ke mana jiwa seseorang setelah ia berpulang, tetapi yang pasti keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan akan berduka jika orang yang mereka cintai meninggal.
Para pemikir telah merespons rasa duka akibat kematian dengan cara yang berbeda. Soren Kierkegaard melihatnya sebagai pintu menuju transformasi, sementara Albert Camus menganggap duka sebagai absurditas dari hidup.
Bagi Kierkegaard, perasaan duka mendalam akibat kematian orang yang dicintai adalah ”keputusasaan”. Di dalam keputusasaan yang panjang itu, setiap orang punya kesempatan memulai perjalanan menuju kesadaran tentang diri manusia yang sebenarnya. Ketika seseorang menemukan bahwa hidup di dunia ini tidak abadi, ia jadi sadar betapa manusia sangat merindukan hal-hal yang indah itu menjadi abadi.
Hidup setiap orang berakhir dengan cara yang sama. Hanya detail bagaimana dia hidup dan bagaimana dia mati yang membedakan satu orang dari yang lain.
Dengan kata lain, akar duka manusia tidak lain karena ”ia ingin menikmati hal indah yang ada di dunia ini selamanya”. Bagi filsuf Denmark itu, satu-satunya cara mengatasi ”keputusasaan” dan meringankan kondisi ini adalah dengan ”berserah”.
Berbeda dengan ”menyerah”, makna ”berserah” di sini adalah sikap memercayakan sepenuhnya realitas yang ada kepada kedaulatan Ilahi. ”Berserah” juga berarti kerelaan untuk belajar tidak melekat kepada hal-hal fana di dunia. Meski tidak mudah, tetapi tafsir atas usulan Kierkegaard ini layak dijajaki.
Duka tentu masih ada, tetapi ia akan dibarengi kekuatan baru yang memampukan orang berduka menapaki langkah baru tanpa orang yang ia kasihi, yang baru saja berpulang. Merespons duka dengan sikap seperti ini meniscayakan seseorang menerima momen transformatif dalam hidupnya. Duka membuka momen yang baru.
Namun, bagi Camus kematian dan kedukaan tampak lebih suram. Menurut dia kedukaan adalah ”keadaan yang diliputi oleh kesia-siaan”. Hidup menjadi absurd, tidak masuk akal. Mengapa ada cinta, jika cinta berakhir dengan rasa sakit seperti kematian? Mengapa membangun proyek-proyek besar, jika semua akan menjadi debu?
Baca Juga: Hidup dan Mati
Rasa duka mencelikkan seseorang akan akhir yang pahit dari segala sesuatu. Melihat kenyataan ini, seseorang bisa saja meronta, ”Ngapain aku ada di dunia ini?” Meski karya-karya Camus adalah buah pikir yang diakui dunia, tetapi pandangannya terhadap rasa duka mungkin tidak dinilai sebagai obat yang manjur bagi orang-orang yang mengalaminya. Karena baginya, hidup tidak lebih dari sekadar menikmati perjalanan rollercoaster yang tidak berarti.
Di satu sisi, Camus memang realistis, duka bisa membuat orang merasa absurd dan menyadarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak abadi. Namun, tawaran Kierkegaard tentang melihat duka sebagai pintu menuju transformasi bisa menerangi pemikiran Camus yang buram tentang duka.
Peristiwa duka membuka kesempatan baru. Kedukaan ibarat musim kemarau panjang bagi jiwa, tetapi ia selalu berganti dengan musim hujan. Demikian Kierkegaard melihat duka bisa membuka dunia yang baru bagi orang-orang yang mengalaminya.
Dua pesan dari duka
Dari Camus dan Kierkegaard setidaknya ada dua pesan yang menyeruak. Pertama, semua orang akan berpulang. Kedua, semua orang perlu membebaskan diri dari kemelekatan mutlak terhadap hal yang fana.
Ya, semua orang punya ”janji temu” dengan maut, seperti dongeng tentang pelayan tadi. Maka, setiap orang diajak berlatih mempersiapkan kematian sepanjang hidupnya. ”Perlu seumur hidup untuk belajar bagaimana berjumpa maut,” ujar filsuf Seneca.
Kemelekatan pada hal fana bisa mengakibatkan perasaan gelisah yang membuat seseorang kehilangan ketenangan pikiran dan kendali diri.
Sejak masa pra-Masehi para biksu di India sering pergi ke tempat pemakaman untuk mengamati jenazah yang ditinggalkan di sana agar dimakan hewan liar dan serangga. Bagi mereka, ini adalah cara yang sangat berharga dan menghemat waktu untuk memahami dekatnya kehidupan dengan kematian. Sebab, banyak orang harus menunggu puluhan tahun, sampai orangtua atau pasangan meninggal baru bisa menyadari bahwa kematian begitu lekat dengan kehidupan.
Di sisi lain, jika dikatakan orang perlu membebaskan diri dari kemelekatan mutlak terhadap hal-hal yang fana, maka melekat pada harta, manusia, maupun jabatan akan berakibat fatal bagi orang itu sendiri karena suatu saat ia kehilangan semuanya.
Baca Juga: Dan Kematian (Pun) Makin Akrab
Kemelekatan pada hal fana bisa mengakibatkan perasaan gelisah yang membuat seseorang kehilangan ketenangan pikiran dan kendali diri. Memang, tidak selalu mudah melepaskan kemelekatan mutlak, tetapi kita diundang berikhtiar melatih diri melepaskannya.
Berduka itu wajar. Siapa pun boleh meratap karena kepergian orang yang dicintai. Saya pun mengalaminya. Namun, di saat yang sama kita diingatkan untuk tidak tinggal tetap dalam duka yang berlarut-larut. Di kala duka, kita diundang melihat ke depan dengan kepala tegak dan menyambut kesempatan menapaki hidup dengan semangat baru, meski yang kita cintai tidak lagi di sisi.
(Dhimas Anugrah, Ketua Komunitas Circles Indonesia)