Berpuluh-puluh tahun sistem PPDB di sekolah negeri dirasa tidak berkeadilan. Membeludaknya para pendaftar di sekolah negeri, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di sekolah swasta.
Oleh
KURNIAWAN ADI SANTOSO
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Setiap penerimaan peserta didik baru (PPDB) seperti saat ini kita akan melihat kesenjangan pendidikan yang masih menganga. PPDB zonasi belum bisa menyembuhkan ketidakadilan soal akses pendidikan. Antara akses ke sekolah negeri dan swasta masih belum imbang. Inilah yang harus kita tagih kepada pemerintah, PPDB yang berkeadilan!
Kita tahu pendidikan adalah hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi, dan pemerintah wajib memberikan pelayanan pendidikan yang merata bagi tiap warganya. Realitanya, pemerintah belum mampu menyediakan semua layanan pendidikan tersebut untuk rakyat.
Karena itu, bermunculanlah sekolah swasta yang diselenggarakan masyarakat untuk memberi layanan pendidikan kepada masyarakat dengan biaya yang dibebankan juga kepada masyarakat. Jadi, sesungguhnya sekolah swasta membantu pemerintah dalam memenuhi hak dasar rakyat, yaitu hak mendapatkan pendidikan.
Jika anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri dengan biaya murah karena didanai dari pajak rakyat, anak-anak yang bersekolah di sekolah swasta pun berhak mendapatkan fasilitas bantuan dari negara selayaknya anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri. Pemerintah harus memberikan perhatian, baik pada aspek pendanaan maupun aspek kebijakan-kebijakan, terutama sekolah swasta pinggiran yang telah berjuang untuk anak-anak yang terpinggirkan.
Namun, lagi-lagi kebijakan pemerintah masih terkesan diskriminatif terhadap sekolah swasta. Seperti terlihat pada kebijakan PPDB sekolah negeri ternyata membawa implikasi yang luar biasa bagi sekolah swasta. Membeludaknya para pendaftar di sekolah negeri, ternyata berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di sekolah swasta. Sekolah swasta hanya menunggu muntahan peserta didik dari sekolah negeri.
Di sisi lain, anak-anak dari keluarga kekurangan dengan fasilitas seadanya akan terseok-seok untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Apa yang terjadi berikutnya? Sekolah negeri yang murah diisi masyarakat mampu dan berkecukupan dengan nilai akademik yang baik. Sekolah swasta diisi mereka yang tersingkirkan karena nilainya kalah bersaing. Ia harus mendanai sendiri biaya pendidikan yang kadang tidak sedikit.
Kondisi menyedihkan terjadi di sekolah swasta kategori biasa. Setiap tahun ajaran baru dimulai, seakan-akan mereka mulai mengukur umur mereka. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin tahun, semakin sedikit peserta didik yang dapat mereka jaring. Pada akhirnya mereka akan mati pelan-pelan.
Sekolah negeri yang murah diisi masyarakat mampu dan berkecukupan dengan nilai akademik yang baik. Sekolah swasta diisi mereka yang tersingkirkan karena nilainya kalah bersaing.
Zonasi tak mengobati
Penerapan sistem zonasi dalam PPDB tidak lantas mengobati sekolah swasta yang kekurangan murid. Seperti yang telah diketahui bersama, dalam lima tahun terakhir pemerintah menerapkan sistim zonasi sebagai dasar seleksi bagi para calon peserta didik. Alasan pemerataan kesempatan menikmati pendidikan, membuat ukuran seorang calon siswa diterima di suatu sekolah hanya didasarkan kepada jarak tempat tinggal dengan sekolah yang terdekat.
Secara logika hal ini sangat membantu bagi orangtua untuk mendapatkan sekolah bagi anak-anaknya. Mereka tidak harus dipusingkan dengan seberapa besar nilai akademik yang dimiliki oleh anak-anak mereka. Mereka tinggal memilih sekolah mana yang paling dekat dengan tempat tinggalnya.
Dengan kondisi seperti itu seharusnya sekolah swasta mendapatkan murid sesuai pagunya. Tetapi di beberapa daerah, malah terjadi penurunan jumlah pendaftar ke sekolah swasta. Ini lantaran diam-diam ada penambahan jumlah rombongan belajar di sekolah negeri. Penambahan beberapa ruang kelas dan pendirian sekolah baru, mendorong sekolah negeri melakukan penerimaan peserta didik lebih banyak. Sehingga kuota yang begitu besar, membuat para calon siswa lebih leluasa untuk memasuki sekolah negeri.
Akan tetapi, bagi sekolah swasta ”elite”, mereka tidak mengalami kondisi yang serupa dengan sekolah swasta biasa. Maka, tidak mengherankan jika hanya sekolah-sekolah swasta ”elite” yang mampu bertahan, bahkan mampu menyaingi sekolah-sekolah negeri.
Sekolah-sekolah swasta ”elite” tersebut melakukan PPDB jauh hari sebelum sekolah negeri bergerak. Nama besar yang ditunjukkan dengan keunggulan pelayanan dan mutu lulusannya, menjadi magnet tersendiri. Keunggulan dalam prestasi dan layanan itulah yang membuat mereka mampu bertahan.
Lantas, adakah solusi berkaitan dengan ketidakmerataan siswa di sekolah swasta yang biasa itu? Tentu saja ada. Semua berpulang kepada niat baik pemerintah dalam menata PPDB yang dilakukan. Pertama, pembatasan jumlah rombongan belajar yang diterima di sekolah-sekolah negeri. Langkah ini dapat dipastikan mampu membuat sekolah-sekolah swasta dapat menarik napas lega.
Kedua, meyakinkan masyarakat bahwa sekolah swasta biayanya murah. Sebab, selama ini para orangtua tidak mau mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta karena masalah biaya. Jadi, pemerintah perlu memberikan bantuan kepada sekolah swasta agar sekolah swasta tidak lagi mahal. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dilakukan pemerintah akan sangat membantu. Sebab, jumlah siswa yang lebih banyak, berarti pula akan lebih banyak pula bantuan yang mereka terima.
Kemudian, perlu ada kebijakan khusus dari pemerintah daerah yang berpihak kepada anak-anak yang bersekolah di sekolah swasta. Pemerintah daerah bisa mengajak lembaga filantropi, seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk ikut membantu anak-anak yang tidak dapat membayar SPP. Atau ada semacam beasiswa dari perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah BUMN. Tentu ini akan sangat membantu mereka yang dari keluarga ekonomi menengah ke bawah.
Jika langkah tersebut diambil, saya pikir bisa menjadi penyelesaian yang adil karena pemerintah benar-benar menempatkan sekolah-sekolah swasta sebagai mitra dalam membangun anak-anak bangsa. Lagi pula sejatinya PPDB zonasi adalah untuk memastikan keadilan bagi semua calon siswa baru dan memberikan kesempatan yang sama dalam mengakses layanan pendidikan yang berkualitas.
(Kurniawan Adi Santoso, Guru SDN Sidorejo Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur)