Kebahagiaan dan makna identik dengan keterhubungan yang sungguh baik, atau diperjuangkan supaya menjadi baik. Ketersekat-sekatan adalah penderitaan dan kehampaan, karena itu perlu sungguh dicegah.
Oleh
LIMAS SUTANTO
·3 menit baca
Jangan terulang menjelang 2024 dan kapan pun. Efeknya jauh, mendalam, mengenai khazanah mental, menjelma sebagai ”representasi mental” tentang diri, liyan, alam, dan tentang relasi di antara mereka, yang tersimpan rapat dan melekat kuat dalam diri, menjadi rujukan menjalankan kehidupan selanjutnya.
Saling curiga, digambarkan oleh Melanie Klein sebagai ”posisi paranoid skizoid”, menjadi cetak birunya. Hidup tersekat-sekat lebih identikkah dengan bahagia, atau dengan derita?
Mengimajinasikan Martin Heidegger berkata-kata di tengahnya, mungkin begini. Manusia itu ”Dasein”, ”being there”, ”ada di sana”, kehidupan yang menyatu dengan seluruh keberadaan ”di sana”, di sebuah lingkungan atau dunia yang menjadi tempat keterlemparannya.
Filsuf Jerman ini tidak setuju dengan filsafat Cartesian yang melihat manusia sebagai subyek yang terpisah dari obyeknya, Heidegger meyakini bahwa Dasein adalah ”being-in-the-world”, ”in-der-Welt-Sein”, ia terintegrasi dengan dunianya. Pemikiran ini menjadi sumber inspirasi bagi psikoanalisis, psikoterapi, dan seluruh ways of being and relating yang mengajarkan bahwa baiknya keterhubungan sungguh melampaui segala strategi dan mengatasi penderitaan.
”Being-in-the-world” adalah mengarungi waktu bersama sesama manusia dan dunia, dalam ”ekstasis” yang mempernyatakan futural possibilities, senantiasa dengan kematian sebagai horizonnya. Kematian bukan ”yang belum”, bukan ”the not-yet”.
”Sejak awal keterlemparannya ke dalam dunia itu Dasein sudah terlalu tua untuk mati”. Dasein adalah ”being-towards-death”, ”Sein-zum-Tode”. Maka mengarungi waktu, kendatipun melangsungkan sebuah tumbuh-kembang yang membeberkan kemungkinan dan potensialitas, dialami dengan ketakutan akan kematian, ”Angst”.
Relasi, keterhubungan, relasionalitas, yang timbal balik, bahkan dengan kematian, sesungguhnya senantiasa menandai manusia hidup.
Mengalami ansietas adalah kelaziman bagi Dasein yang menjalani temporalitas dalam ”Sorge”, perasaan yang peka, yang mengandung care dan concern. Namun, menerima dan mengalami Angst membukakan Dasein pada panggilan nurani (conscience), dan autentisitas, diri sendiri yang diterima dengan penuh bersama seluruh kemungkinan kematiannya yang dekat.
Relasi, keterhubungan, relasionalitas, yang timbal balik, bahkan dengan kematian, sesungguhnya senantiasa menandai manusia hidup. Walaupun tidak jarang orang memilih tidak mengenali penanda hakiki itu.
Kebahagiaan dan makna identik dengan keterhubungan yang sungguh baik, atau diperjuangkan supaya menjadi baik. Ketersekat-sekatan adalah penderitaan dan kehampaan, karena itu perlu sungguh dicegah, atau jika terjadi, diupayakan pengurangannya dengan baik.
Pada sudut biologi, Ludwig von Bertalanffy menggambarkannya dalam general systems theory: organisme hidup adalah sebuah continuum, kebersambung-menyambungan, di antara subsistem-subsistem yang tersusun hierarkis, ke atas kian kompleks, dari sel dan organ ke individu, keluarga, dan masyarakat. Ciri penting keberadaan ini, subsistem-subsistem itu saling meregulasi, timbal balik, satu sama lain, menjalin sebuah sistem sibernetik.
Setiap sistem hidup, mengemban regulasi resiprokal, tidak hanya diregulasi oleh subsistem-subsistemnya, tetapi secara simultan meregulasi mereka, dan sekaligus meregulasi serta diregulasi oleh sistem-sistem di lingkungan luarnya. Otak meregulasi organ-organ dalam tubuh, tetapi kebalikannya juga terjadi, bahkan ia berbaku regulasi dengan individu lain dan lingkungan di luarnya. Interrelasi ini sebuah realitas yang memanggil setiap orang untuk mengindahkannya.
Merawat dan mengindahkan relasionalitas secara hakiki adalah mengisinya dengan kebaikan-kebaikan yang sungguh-sungguh. Mereka itu: mengerti, menerima, mendengarkan, mengakui, menjadi tepercaya, mendukung, menemani, mendampingi.
Berbuat jahat adalah bagaimana ”pihak berpengaruh” (pemimpin, orangtua, tokoh, penguasa, dan sebagainya) menjalin keterhubungan dengan ”pihak terpengaruh” (rakyat, bawahan, masyarakat, anak-anak, dan sebagainya) dengan memaksanya berbuat jahat terhadap sesama manusia, alam, lingkungan, dan dunia.
Artinya, untuk bertindak menyerang, menaklukkan, menguasai, mengucilkan, mengeksploitasi, mengekstraksi, memanipulasi, mengabaikan, meninggalkan, menelantarkan. Dengan demikian siapa pun menderita. Mengatasi berbuat jahat bukan semata menghukum, tetapi mengisi relasi dengan kebaikan yang sungguh, sejak masa yang dini.