Nasionalisasi menjadi gambaran langkah Rusia untuk merapatkan relasi ekonomi dengan China dan negara lain yang bersahabat.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Rusia menasionalisasi Sakhalin-2 milik Sakhalin Energy Investment Company Ltd. Langkah ini simbol niat Rusia menggusur mitra asing yang dianggap musuh.
Dekrit nasionalisasi proyek migas itu diteken oleh Presiden Rusia Vladimir Putin pada 30 Juni lalu. Korbannya adalah Shell, perusahaan Inggris-Belanda, yang memiliki 27,5 persen saham di perusahaan yang tercatat di Bermuda itu.
Korban lain adalah Mitsui dan Mitsubishi yang masing-masing memiliki saham 12,5 persen dan 10 persen. Sisanya dimiliki Gazprom. Dekrit itu tak memberikan kesempatan bagi mitra asing bernegosiasi. Pemerintah Rusia berniat menjual saham asing itu ke pembeli Rusia (Journal of Petroleum Technology, 2 Juli 2022).
Ada ancaman terhadap kepentingan nasional dan keamanan ekonomi, demikian alasan nasionalisasi. Pada awal Mei lalu, ExxonMobil mundur dari proyek migas Sakhalin-1 dengan alasan Rusia menginvasi Ukraina.
Tidak ada dampak signifikan di pasar. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, Jumat (1/7/2022), mengatakan, pasokan gas ke Jepang, China, Korea Selatan, dan Taiwan tetap berjalan.
Namun, nasionalisasi menjadi gambaran langkah Rusia merapatkan relasi ekonomi dengan China dan negara lain yang bersahabat. Shell sedang bernegosiasi dengan investor China untuk divestasi sahamnya.
Nasionalisasi juga merefleksikan pernyataan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov saat menemui Menlu China Wang Yi pada 31 Maret lalu. Menurut Lavrov, China adalah negara dengan misi penegakan tatanan global yang adil. Rusia dan China memiliki kepentingan bersama dalam urusan internasional, termasuk kerja sama saling menguntungkan.
Kesediaan Rusia mendekati China didukung kemampuan dalam pengembangan teknologi. Hal itu juga mengukuhkan orientasi Rusia yang ingin mengurangi ketergantungan ekonomi pada Barat. ”Ini kesempatan kami merealisasikan potensi di bidang teknologi tingkat tinggi, termasuk energi, dan area lainnya,” kata Lavrov.
Nasionalisasi terhadap aset penting milik Barat di Rusia juga merupakan misi jangka panjang. Ini merespons pernyataan Kanselir Jerman Olaf Scholz yang mengatakan, Jerman telah terlalu bergantung pada gas Rusia.
Dekrit nasionalisasi muncul setelah deklarasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam pertemuan di Madrid, 29 Juni lalu. NATO menegaskan, Rusia dan China adalah ancaman bagi kawasan Eropa dan perdamaian dunia. Namun, NATO membuat kekuatan geopolitik kedua musuhnya makin solid. Strategi NATO di masa lalu telah merapatkan dan melahirkan aliansi Sino-Rusia, sebagaimana diingatkan Joseph Nye, profesor dari Harvard, 12 Januari 2015, dalam tulisannya di situs The Project Syndicate.
Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pernah pula mengingatkan, ada strategi oleh sebagian kalangan di AS untuk menekan pihak lain yang berbeda ideologi dan meluputkan negosiasi. Strategi ini belum berubah. Dunia memasuki tahun panas geopolitik.