Mengatasi Guncangan Harga
Bagaimana pemerintah dapat merancang kebijakan yang paling efektif untuk meredam guncangan ekonomi global? Ada tiga prinsip utama yang penting diperhatikan untuk memberikan landasan kebijakan bantuan sosial yg efektif.
Dua tahun lalu, Pemerintah Indonesia secara dramatis memperluas rangkaian program jaring pengaman sosial untuk membantu masyarakat miskin dan kelas menengah akibat pukulan ekonomi karena krisis Covid-19.
Program-program yang baru—dan yang diperluas ini—seperti Kartu Sembako, Bantuan Langsung Tunai Desa, Kartu Prakerja, dan subsidi listrik, memberikan bantuan yang memang dibutuhkan kepada mereka yang kehilangan pekerjaan atau kehilangan pendapatan pada masa-masa sulit di luar yang pernah terjadi sebelumnya.
Namun, seperti diungkapkan Profesor Studi Asia Tenggara dari Harvard Kennedy School, Rema Hanna (Kompas, 7/3/2022), kenaikan harga kebutuhan dasar—sebagian besar karena efek riak dari perang Rusia-Ukraina—menciptakan tantangan ekonomi baru bagi masyarakat Indonesia. Perang menyebabkan pasokan gandum dan bahan energi dari Rusia dan Ukraina terganggu sehingga menciptakan tekanan pada harga pangan dan energi dunia.
Di dalam negeri Indonesia, harga bensin, elpiji, dan listrik memang ditetapkan oleh pemerintah, tetapi bukan berarti Indonesia kebal dari dampak kenaikan harga global. Harga yang tetap tersebut menjadi beban luar biasa bagi anggaran negara yang mencakup beban biaya subsidi yang jauh lebih tinggi.
Baca juga Ekonomi Covid-19 dan Perang Ukraina
Tiga prinsip utama
Bagaimana pemerintah dapat merancang kebijakan yang paling efektif untuk meredam guncangan ini? Termasuk, tidak hanya untuk menghadapi krisis yang ada saat ini, tetapi juga krisis-krisis yang mungkin terjadi di masa depan.
Berikut tiga prinsip utama yang penting untuk diperhatikan. Pertama, fokus pada yang miskin dan paling rentan. Bantuan harus ditujukan kepada rumah tangga yang paling membutuhkan.
Untuk rumah tangga yang hidup di bawah atau dekat garis kemiskinan— saat ini sekitar Rp 2.000.000 per bulan untuk keluarga beranggotakan empat orang, tergantung provinsi—kenaikan harga minyak goreng, bahan pokok, atau bensin dapat menjadi beban yang sangat besar serta menimbulkan perbedaan antara ”cukup makan” atau ”kelaparan”.
Untuk rumah tangga kelas menengah, kenaikan harga juga akan memaksa mereka melakukan pengurangan belanjanya, tetapi tidak separah untuk masyarakat yang betul-betul miskin.
Ini berarti bahwa jika pemerintah menyubsidi barang tersebut, sebagian besar subsidi itu akan masuk ke kelas menengah, bukan orang miskin.
Pendekatan tradisional untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menyubsidi barang-barang tertentu, seperti yang dilakukan pemerintah saat ini dengan menyubsidi bahan bakar. Persoalannya: rumah tangga kelas menengah mengonsumsi lebih banyak jenis barang tersebut daripada rumah tangga miskin. Ini berarti bahwa jika pemerintah menyubsidi barang tersebut, sebagian besar subsidi itu akan masuk ke kelas menengah, bukan orang miskin.
Sebaliknya, pemerintah dapat memberikan bantuan kepada mereka yang diidentifikasi membutuhkan. Pemerintah bisa mulai dengan daftar rumah tangga paling miskin dan rentan di negara ini yang telah dibuat oleh lembaga pemerintah, dengan berbasis aset-aset yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga.
Masukan dari masyarakat sekitar juga dapat digunakan untuk melengkapi daftar-daftar itu sehingga mereka yang belum masuk—mungkin karena mereka baru saja pindah atau karena kehilangan pekerjaan baru-baru ini, atau akibat gejolak lain yang menyebabkan mereka jatuh miskin—juga dapat dimasukkan.
Supriyanto
Jenis bantuan yang tepat sasaran ini sudah menjadi dasar dalam pelaksanaan beberapa program bantuan yang sudah dijalankan oleh pemerintah saat ini, seperti Kartu Sembako, Program Keluarga Harapan, dan subsidi listrik. Ini bisa diperluas lebih lanjut untuk perlindungan pangan yang ditingkatkan dari sebelum- nya dan juga bantuan untuk mengurangi dampak kenaikan harga energi.
Kedua, bantuan harus fleksibel. Rumah tangga harus diberi kebebasan untuk menggunakan bantuan yang mereka terima dengan cara yang paling masuk akal, sesuai dengan kondisi mereka sendiri. Cara termudah untuk melakukannya adalah dengan menggunakan voucer elektronik yang fleksibel, seperti dengan Program Sembako, atau dengan bantuan tunai.
Misalnya, jika harga mi yang juga banyak dikonsumsi masyarakat naik. Program bantuan fleksibel yang bisa diterapkan adalah rumah tangga diberikan kupon makanan atau uang tunai, yang memungkinkan mereka memutuskan sendiri bagaimana mereka akan mengalokasikan anggaran mereka dengan paling efektif. Mereka dapat memilih untuk makan lebih banyak nasi dan telur, tetapi lebih sedikit mi, menghemat uang tetapi tetap mendapatkan nutrisi yang mereka butuhkan.
Sebaliknya, subsidi khusus untuk mi akan memaksa rumah tangga untuk terus membeli mi jika mereka ingin menerima subsidi.
Penelitian yang penulis dan kolega penulis lakukan di enam negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa bantuan tunai tidak membuat orang malas bekerja.
Saat ini sudah ada bukti yang sangat kuat di sejumlah negara bahwa rumah tangga menggunakan uang tunai secara efektif. Penelitian yang penulis dan kolega penulis lakukan di enam negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa bantuan tunai tidak membuat orang malas bekerja.
Pada umumnya mereka tidak menggunakan uang tunai atau voucer fleksibel untuk membeli rokok atau barang yang dianggap tak berguna lainnya. Sebaliknya, mereka menggunakan bantuan tersebut untuk membeli barang yang paling mereka butuhkan, dengan cara yang paling hemat biaya.
Ketiga, lakukan indeksasi jumlah bantuan ke keranjang kebutuhan pokok. Bantuan harus secara otomatis diindeksasi ke harga barang kebutuhan mereka. Saat ini mungkin ada gejolak harga minyak goreng, gandum, dan harga bahan bakar global. Besok, mungkin gejolaknya adalah harga beras atau beberapa kebutuhan pokok lainnya.
Bagaimana suatu kebijakan dapat adaptif, tidak hanya pada guncangan hari ini, tetapi juga terhadap kemungkinan guncangan lain di masa depan? Jawabannya adalah pemerintah dapat menentukan sekeranjang komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin atau hampir miskin.
Pemerintah dapat menetapkan kebijakan agar ketika ”keranjang” komoditas ini menjadi lebih mahal, jumlah bantuan yang diberikan pemerintah secara otomatis meningkat. Jika barang tertentu menjadi lebih mahal—katakanlah, minyak goreng—ini akan meningkatkan jumlah bantuan, sebanding dengan berapa banyak pengeluaran rumah tangga biasa untuk barang itu.
Didie SW
Gagasan indeksasi bantuan otomatis sudah dilakukan di negara lain. Di Amerika Serikat, misalnya, untuk program kupon makanan pemerintah, yang disebut SNAP—setara dengan Kartu Sembako—mereka mendefinisikan apa yang mereka sebut ”Rencana Pangan Hemat”. Ketika harga ”Rencana Pangan Hemat” meningkat, jumlah bantuan pangan untuk rumah tangga miskin dan hampir miskin meningkat dalam proporsi yang sama. Indonesia dapat mengadopsi strategi yang sama untuk Kartu Sembako dan program bantuan lainnya.
Baca juga Melambat untuk Menjawab Krisis
Bantuan yang lebih efektif
Apa yang dapat digantikan oleh usulan kebijakan ini? Program-program ini dapat menggantikan bentuk bantuan lain yang kurang efisien. Misalnya, selama bertahun-tahun, Pemerintah Indonesia telah mengatur harga bahan bakar.
Ketika harga minyak mentah dunia naik, harga domestik tetap ditetapkan oleh pemerintah sehingga konsumen tampak terlindungi. Akan tetapi, meskipun konsumen ”seperti terlindungi”, ada orang lain yang harus membayar harga minyak yang tinggi. Pemerintah—yang berarti warga negara Indonesia—membayar, dalam bentuk subsidi tinggi, yang sebagian besar ditujukan untuk kelas menengah ketimbang kelompok miskin dan rentan.
Pendekatan yang lebih baik adalah membiarkan harga domestik mengikuti harga pasar global, tetapi memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran ketika harga bahan bakar tinggi sehingga rumah tangga yang rentan terlindungi.
Larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) awal tahun ini adalah contoh jenis lain dari solusi kebijakan yang tidak efisien meski di sini solusinya sedikit lebih kompleks.
Larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) awal tahun ini adalah contoh jenis lain dari solusi kebijakan yang tidak efisien meski di sini solusinya sedikit lebih kompleks. Memang pelarangan ekspor CPO mungkin bisa mengurangi tekanan harga domestik, tetapi negara ini kehilangan sejumlah besar potensi pendapatan ekspor dan juga mengurangi pendapatan petani sawit.
Dalam hal ini, tarif ekspor, dikombinasikan dengan program bantuan yang ditargetkan, dapat mencapai tujuan serupa secara lebih efektif—mempertahankan kemampuan ekspor, menurunkan harga domestik, tetapi pada saat yang sama menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk mengompensasi rumah tangga.
Pada kolom Rabu (6/7), Chatib Basri akan membahas bagaimana mengurangi atau menghilangkan subsidi harga total atau mengganti pembatasan kuantitas dengan tarif ekspor, dapat memberikan ruang fiskal yang cukup besar untuk program bantuan yang lebih efektif.
Tiga prinsip ini—menargetkan bantuan kepada yang paling membutuhkan, fleksibilitas bagi penerima manfaat, dan indeksasi otomatis—memberikan landasan kebijakan bantuan sosial yang efektif. Mereka dapat digunakan untuk mengatasi krisis pangan dan energi saat ini serta guncangan lain yang pasti akan datang di masa depan.
Benjamin A Olken Profesor Mikroekonomi Jane Berkowitz Carlton dan Dennis William Carlton di MIT, Direktur Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) MIT