Hakim, Putusan, dan ”Dewa Mabuk”
Hakim jangan berlagak seperti dewa mabuk. Tubuhnya lunglai, pikiran nge-”fly”, tetapi punya kuasa besar menegakkan pilar keagungan hukum melalui putusannya.
Putusan hakim seperti suratan takdir yang menentukan hidup matinya seseorang. Karena itu, putusan hakim harus lahir dari senyawa penalaran hukum yang kokoh, ketajaman nurani, dan kejernihan akal budi.
Sudikno Mertokusumo (2006) menyebutkan bahwa putusan hakim harus dianggap benar (Res Judicata Pro Veritate Habetur). Asas hukum tersebut menuntut putusan hakim didasarkan pada fakta dan ratio decidendi yang didukung oleh suatu alat bukti yang kuat.
Dalam hukum pidana dikenal asas in criminalibus probationes debent esse luce clarions yang meniscayakan bukti-bukti itu harus lebih terang daripada cahaya. Hal ini bertujuan agar putusan hakim tidak menjelma sebagai kejahatan yang diformalkan. Putusan meniscayakan lahir dari pribadi-pribadi hakim yang sudah selesai dengan dirinya, yang tidak teperdaya oleh silaunya kenikmatan dunia.
Baca Juga: Memaknai Putusan Hakim dari Perspektif Sosio-legal
Begitu fundamental dampak dari putusan hakim sehingga hukum secara ketat mengingatkan hakim dalam sebuah adagium: lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Adagium tersebut penting direnungkan karena dunia peradilan memiliki pengalaman traumatik ketika pedang hukum melukai orang tak bersalah.
Tepatnya pada Oktober 1977 Sengkon dan Karta divonis bersalah oleh pengadilan dengan dakwaan perampokan yang disertai pembunuhan terhadap pasangan suami isteri Sulaiman-Siti Haya. Namun, beberapa tahun kemudian terungkap fakta bahwa pelaku yang sebenarnya adalah Genul, keponakan Sengkon.
Bisa dibayangkan seandainya Sengkon dan Karta divonis mati dan kebenaran terungkap setelah dieksekusi. Ia akan menjadi tumbal peradilan sesat dan hak hidupnya tidak bisa dipulihkan. Meski Sengkon dan Karta dibebaskan melalui prosedur peninjauan kembali, tetapi peradilan sesat tersebut menjadi pengalaman sejarah penegakan hukum yang sulit dilupakan dan menjadi alarm agar hukum jangan tampil seperti dewa mabuk.
Jabatan hakim itu sunyi (silent corps). Bekerja dalam keheningan. Jauh dari kebisingan diskursus dan popularitas. Dalam kesunyian hakim berkontemplasi mencurahkan pijar pemikiran, demi melahirkan sebuah putusan yang progresif.
Pikat narkoba
Akan tetapi, dalam kesunyian itu merasuk bisikan-bisikan jahat. Salah satunya dorongan mencicipi narkoba. Sudah jamak hakim terjerat barang laknat itu, mulai pengguna hingga pengedar. Hakim yang seharusnya menjadi panglima pemberantasan narkoba justru menjadi bagian dari pelestari narkoba.
Peristiwa teranyar Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap oknum hakim pengadilan di wilayah Banten atas dugaan penyalahgunaan narkoba (20/5/2022). BNN menyita 20,634 gram sabu yang dipesan pelaku dari oknum aparat di Sumatera.
Kasus tersebut menampar citra dunia peradilan. Putusan hakim yang seharusnya lahir dari proses pergulatan laboratorium nalar, kini tercemar oleh sepak terjang oknum hakim yang bekerja di bawah pengaruh narkoba. Hukum ditegakkan oleh hakim yang kehilangan akal budi karena terperangkap dalam pengaruh pikat narkoba.
Baca Juga: Dua Hakim Pengadilan Negeri Rangkasbitung Terjerat Sabu
Kasus hakim dalam pikat narkoba menyeret ingatan kepada pilot maskapai yang menerbangkan pesawat dalam kondisi mabuk. Pesawat fly dalam keadaan pilotnya nge-fly. Tindakan ceroboh tersebut sangat membahayakan ratusan nyawa karena penumpang bisa mati konyol akibat pilotnya hilang kendali.
Muncul desakan dari masyarakat agar semua pilot dites urine. BNN juga mendesak semua maskapai menerapkan tes urine kepada pilot 10 menit sebelum pesawat diterbangkan. Jika seruan tersebut tidak digubris, BNN mengancam akan mengumumkan maskapai yang bandel biar kehilangan pelanggan.
Interupsi serupa dialamatkan kepada hakim. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang memegang peranan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim jangan seperti dewa mabuk. Betapa mengerikan ketika hakim yang berada di bawah bayang-bayang narkoba justru diberikan wewenang mengadili perkara. Apalagi perkara yang ditangani kejahatan narkotika yang dikualifikasikan sebagai kejahatan luar biasa.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang memegang peranan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim jangan seperti dewa mabuk.
Hakim akan menghadapi konflik kepentingan karena antara yang mengadili dengan yang diadili berada dalam satu komplotan. Lahirlah putusan hakim produk dewa mabuk dengan menghukum orang tak bersalah ataupun meringankan vonis para bandar. Suatu putusan yang lahir bukan dari kesunyian kontemplasi nalar dan nurani.
Sampai di sini bukan lagi ratusan manusia yang dirugikan sebagaimana penumpang maskapai penerbangan, melainkan dua ratus juta penduduk Indonesia akan kehilangan generasi emas karena anak muda dirampas masa depannya oleh para bandar narkoba.
Tes urine
Agar tidak seperti dewa mabuk hakim harus secara rutin melakukan tes urine. Mahkamah Agung (MA) perlu melakukan langkah prefentif dengan mewajibkan seluruh aparatur peradilan melakukan uji klinis agar steril dari narkoba.
Dua tahun terakhir sebagian anggaran MA dialokasikan untuk penanganan Covid-19 di lingkungan peradilan. Maka, ke depan perencanaan anggaran perlu mengusulkan anggaran tes urine ke dalam Rancangan Anggaran Belanja (RAB) atau dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Mahkamah Agung perlu melakukan langkah prefentif dengan mewajibkan seluruh aparatur peradilan melakukan uji klinis agar steril dari narkoba.
Jika ada hakim yang terbukti sebagai pecandu apalagi pengedar narkoba, apa untungnya memberikan amanah kepada mereka yang sudah nyata kehilangan akal sehatnya untuk mengadili suatu perkara. Bagaimana mungkin hakim bisa melahirkan putusan yang punya nilai sejarah bagi pemberantasan narkoba jika hakim itu sendiri akal sehatnya dipengaruhi narkoba. Kita tak ingin pedang hukum kembali melukai orang tak bersalah, bukan?
Saat ini bangsa kita sedang menghadapi darurat narkoba. Rata-rata 50 anak bangsa meninggal akibat narkoba. Sepanjang tahun 2021 BNN mengungkap 760 kasus peredaran narkotika sindikat nasional ataupun internasional dengan jumlah tersangka 1.109 orang.
Menilik kondisi memprihatinkan tersebut, hakim harus terpanggil untuk melakukan penegakan hukum yang bersifat represif kepada produsen dan pengedar, maupun persuasif melalui pendekatan rehabilitasi medis dan sosial bagi para pengguna narkoba.
Baca Juga: Mengawal Kualitas Hakim
Dalam melakukan fungsi penegakan hukum, hakim harus memastikan diri bersih dari pengaruh (komplotan) narkoba agar putusan yang menjadi mahkotanya memiliki daya cegah dan daya amputasi bagi berkembangnya labirin narkoba.
Para hakim harus berkomitmen mempertajam sensitivitas dampak yang ditimbulkan dari kejahatan narkoba bagi masa depan bangsa sehingga pisau hukum di tangannya tampil angker dan berwibawa melalui vonis-vonis yang menjerakan.
(Achmad Fauzi, Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Balikpapan; IG: suhuf_esoterika)