Fenomena teknologi rantai blok ini seolah mengonfirmasi kekuatan simulakra dalam memengaruhi secara nyata roda ekonomi di mana muncul kembali kesadaran dalam menghargai otentisitas konten dan data.
Oleh
Sudjud Dartanto
·4 menit baca
Fenomena crypto crash, sebagaimana diuraikan oleh Hizkia Subiyantoro (Kompas Minggu, 26/6/2022) akhir-akhir ini memang membikin banyak pihak ”kenak mental”, istilah generasi sekarang. Jatuhnya nilai tukar mata uang kripto mother of alt.coin (bitcoin) sebagaimana terpantau di sejumlah exchange (pasar jual beli koin kripto) sontak membuat kreator, kolektor, pengembang (developer) proyek NFT (non-fungible token) mengalami tekanan dan adaptasi baru atas situasi yang oleh pandangan siklus tren teknologi hype cycle–Gartner.
Itu seperti dikutip Dr Indrawan Nugroho dalam sebuah tayangan di kanal Youtube disebut tengah mengalami fase tren turun (through of disilusionment) yang nantinya akan menuju fase yang lebih rasional (slope of enlightment).
Kita tahu, masa puncak penjualan NFT pada Februari 2022 yang disebut sabagai bagian fase euforia teknologi (inovation trigger) hingga menuju puncak tren (peak of inflated expectation). Fase perubahan hype cycle itu kiranya dapat menjadi perspektif lain di luar faktor pengalihan investasi mata uang kripto yang tentu saja ikut memengaruhi secara fundamental terjadinya crypto crash.
Walau demikian, rantai blok (blockchain) internet tetaplah sebuah sistem registrasi pencatatan riwayat data yang kehadirannya telah nyata memengaruhi budaya produksi, distribusi, dan konsumsi saat ini. Menurut saya, itu akan semakin menentukan di masa mendatang, terutama dengan makin canggihnya pengembangan metaverse, sebuah realitas pascavirtual, ia bukan saja sebagai model realitas nyata, melainkan akan dialami sebagai realitas baru.
Teknologi rantai blok akhirnya masuk ke dalam ranah seni. Perjumpaan teknologi rantai blok dan seni ini ditandai dengan munculnya lokapasar seni yang berbasis rantai blok yang melahirkan NFT. Antara pengertian NFT dan karya seni dapat dikatakan nyaris memiliki kesamaan karakter dasar sebagai sebuah entitas yang memiliki nilai intrinsiknya yang unik dan otentik manakala ia dipahami sebagai aset.
Teknologi kriptografi (proses enkripsi data) dalam rantai blok memungkinkan aspek kelangkaan, keunikan, dan keotentikan suatu karya. Nah, peristiwa seni menemukan momentum artikulasi dan ekonomisnya dengan kemudahan dalam melakukan peng-input-an, praktik distribusi dan konsumsi aset NFT. Peluang itu kemudian direspons oleh para pengembang (developer) wahana (platform) NFT yang sebagian besar bertujuan ekonomis. Sejumlah lokapasar NFT telah hadir, dari yang bersifat pasar raya, semisal opensea, hingga yang memiliki kurasi ketat, seperti superrare hingga foundation. Lokapasar tersebut dan wahana berkurasi ketat sejenisnya telah menjadi titik temu antara kreator dan konsumer secara langsung (peer to peer). Sampai hari ini masih terjadi perdebatan tentang ada dan tidaknya orang/lembaga perantara (intermediaries) yang diklaim telah hilang oleh teknologi rantai blok.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, inovasi perkembangan lokapasar NFT, bentuk kreasi NFT, hingga berbagai proyek seni NFT mengalami perkembangan pesat. Perkembangan itu baik dari pertama, aspek pengembangan proyek NFT yang berbasis rantai blok, kedua, adaptasi para kreator dalam mengubah bentuk komunikasi, presentasi dan interaksi karya seni, ketiga, para konsumer, dalam hal ini adalah para pemirsa karya seni hingga kolektor seninya.
Bagi saya, ketiga hal itu telah membentuk diskursus tersendiri yang menarik, terutama jika kita kaitkan dengan apa yang dipostulatkan filsuf postmodern, Jean Baudrillard, tentang simulakra, sebagai sebuah realitas baru yang ditentukan oleh ”mesin simulasi” canggih. Apa yang telah, tengah, dan akan berlangsung dan berubah oleh teknologi rantai blok ini seolah mengonfirmasi kekuatan simulakra dalam memengaruhi secara nyata roda ekonomi dimana muncul kembali kesadaran dalam menghargai otentisitas konten dan data. Pendek kata, rantai blok memberi solusi baru dalam ”mengeksklusifkan” data yang semula hampir tak bernilai oleh spirit inklusif (openness) pada babak awal revolusi dijital.
Revolusi rantai blok lahir dan hadir untuk melindungi aset digital yang semula nyaris tak bernilai, karena begitu mudahnya siapa pun memiliki suatu data, bukan karena gratis, melainkan kerap menjadi liar dalam praktik penggunannya. Rantai blok dengan teknologi kriptografinya menjadikan suatu data kembali memiliki nilai dengan berbagai fitur canggihnya, misalnya dalam menyelesaikan persoalan riskannya pelacakan riwayat asal-asul aset (provenance) secara konvensional.
Oleh pengembang lokapasar, keunggulan sistem rantai blok kemudian terus dikembangkan menjadi kontrak pintar (smart contract) untuk mendukung kreator mendapatkan autoroyalty, di mana Anda sebagai kreator mendapatkan jaminan royalti seumur hidup dan dapat diwariskan dan prosesnya bersifat transparan.
Sebagai antitesis dari spirit keterbukaan digital, rantai blok sesungguhnya adalah sistem yang tertutup.Dalam arti positif, kehadirannya untuk menyelesaikan persoalan ironi kebebasan dalam mengakses aset dan data dalam industri digital. Dalam kalimat Ketua Warner Music Group Edgar Bronfman: ”Musik ada di mana-mana sampai tingkat yang menurut saya juga mungkin tidak membantu industri” (Resnikoff, 2007).
Menyalin data terlalu mudah dan ada di mana-mana. Di tengah keunggulan rantai blok, kita dapat kritis melihat fenomena kualitas yang jauh dari kurasi estetis, tetapi dapat menjadi hype oleh karena logika konteks suplai terbatas ini. Teknologi dan pengembang rantai blok terus mengevaluasi dirinya dan terjadi transformasi baru. Dengan keunggulan fitur timestamp pada rantai blok yang secara sistem diklaim aman dari kemungkinan perubahan data, maka apakah ini akan mengubah masa depan sejarah seni?
Sudjud Dartanto, Kurator, Dosen di FSR ISI Yogyakarta, saat ini tengah meneliti seni dan teknologi rantai blok (blockchain) di program Doktoral PSPSR UGM