Tafsir atas Pidato Megawati
Pidato Megawati baru-baru ini tidak lepas dari peta dinamika politik nasional. Keseimbangan baru kekuatan politik di dalam maupun di luar PDI-P mendorong Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P melakukan evaluasi dua sisi.
Gemuruh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan hari-hari ini seperti ”menenggelamkan” pacuan politik (political racing) partai-partai lain. Bahkan, juga menenggelamkan masalah inflasi dan bayangan ancaman krisis pangan.
Semua ini, dalam dugaan saya, karena terkumpulnya empat hal strategis di dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yaitu di samping PDI-P adalah pemegang ambang batas suara pencalonan presiden-wakil presiden, partai ini juga memiliki Megawati Soekarnoputri, Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan popularitas Ganjar Pranowo.
Harus diakui, menjelang Pemilu 2024, hanya PDI-P yang memiliki kombinasi kekayaan politik sestrategis ini. Inilah yang menyebabkan ”gejolak” internal, selembut apa pun, partai ini menimbulkan riak politik nasional.
Dinamika internal
Berbeda dengan pra-2014, kini PDI-P punya dua tokoh politik paling ampuh dan, hingga kini, tak bisa disaingi partai mana pun: Megawati dan Jokowi.
Di satu pihak, kombinasi pengaruh Soekarno dan akumulasi pengalaman berpolitik selama lebih dari dua dasawarsa telah menyebabkan Megawati menjadi tokoh utama pada tingkat nasional, terlebih di dalam PDI-P sendiri. Dalam arti kata lain, kombinasi pengaruh Soekarno dan kekuatan pribadi Megawati adalah kontributor utama kelanggengan dan ”kebesaran” PDI-P.
Kekayaan politik internal ini dilengkapi oleh kehadiran Jokowi sebagai Presiden RI.
Kekayaan politik internal ini dilengkapi oleh kehadiran Jokowi sebagai Presiden RI. Dengan demikian, jika ingin diringkas, PDI-P merangkum dua kekuatan besar sekaligus, yaitu kombinasi popular power (diwakili Megawati) dan executive power (diwakili Jokowi).
Masalahnya, berbeda dengan pra-2014, siapa kini yang memegang kontribusi terbesar di antara Megawati dan Jokowi terhadap ”kebesaran” dan kelanggengan PDI-P?
Pertanyaan ini akan terasa lebih, menggunakan istilah Betawi, kereng, jika melihat situasi internal PDI-P sebelumnya. Di dalam periode ini, bahkan mungkin hingga 2019, tokoh utama internal PDI-P adalah Megawati. Namun, posisi dominan ini sedikit mendapatkan perimbangan dengan kehadiran Jokowi.
Dalam konteks ini, ketokohan pribadi Jokowi tidak hanya dibuktikan dari kemampuannya merebut kursi presiden selama dua periode (2014-2019 dan 2019-2024), tetapi pada saat yang sama, Jokowi memiliki popularitas tak tepermanai di tengah-tengah masyarakat.
Khusus untuk hal terakhir ini, pengaruh Jokowi bahkan melintasi tapal batas PDI-P sendiri. Sebab, bukankah pemilih Jokowi dalam dua pemilihan presiden melebar hingga keluar pendukung PDI-P? Maka, dalam spekulasi saya, sebagian besar dinamika internal PDI-P berasal dari ”perimbangan” baru ini.
Hubungan eksternal
Dinamika hubungan eksternal PDI-P terutama berasal dari posisi Jokowi sebagai Presiden RI. Untuk menjaga stabilitas kontrolnya sebagai pemegang kendali eksekutif, Jokowi secara struktural harus beraliansi dengan kekuatan-kekuatan di luar PDI-P.
Di sini, berbeda dengan Megawati, posisi Jokowi lebih luwes. Wewenang kepresidenannya memfasilitasi pengaruh Jokowi ke dalam partai-partai koalisi pemerintahannya. Ini membuat—seperti terlihat dari lancarnya proses pembuatan undang-undang—Jokowi pada dasarnya adalah pengendali parlemen.
Di atas itu, penunjukan ketua-ketua umum partai koalisi (kecuali Nasdem) menjadi menterinya memberi jalan masuk pengaruh Jokowi ke dalam tiap-tiap partai itu. Maka, secara karikatural, di dalam konteks ini bisalah disebut Jokowi pada esensinya adalah ”ketua umum” dari ketua-ketua umum partai anggota koalisi pemerintahannya.
Baca juga Relasi Jokowi-Megawati dan Kisah Tumpeng di Rakernas PDI-P
Dalam posisi terakhir ini, Jokowi bukan saja mempunyai otonomi dari pengaruh Megawati, melainkan mempunyai kendali atas sumber-sumber politik yang lebih beragam. Ringkasnya, kendati menempati posisi ”kedua” di dalam PDI-P, sebagai Presiden RI, Jokowi memiliki sumber daya politik alternatif di luar PDI-P.
Maka, melalui kendali sumber-sumber daya politik anggota koalisi pemerintahannya, tanpa disadari, Jokowi telah tampil sebagai tokoh tersendiri pada tingkat nasional yang, dalam beberapa hal, mempunyai pengaruh sejajar dengan Megawati Soekarnoputri.
Dalam posisi istimewa inilah kita bisa memahami bahwa Jokowi memiliki baik kepercayaan diri maupun kalkulasi politik tersendiri tentang masa depan pemimpin Indonesia yang tak harus sejalan dengan Megawati.
Walau tak langsung, Jokowi memberi isyarat siapa yang mendapat simpatinya.
Faktor Ganjar Pranowo
Inilah tampaknya yang menjadi latar belakang tercetusnya kalimat ”ojo kesusu, walaupun orangnya ada di sini” dari Jokowi. Kita tahu, kalimat itu tercetus dalam pertemuan kelompok sukarelawan Projo (Pro-Jokowi) di Borobudur, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo turut serta dalam pertemuan itu.
Dan karena popularitasnya yang terus menanjak, semua peserta, juga khalayak umum, menduga yang dimaksudkan ”orangnya ada di sini” di dalam kalimat Jokowi itu adalah Ganjar. Walau tak langsung, Jokowi memberi isyarat siapa yang mendapat simpatinya.
Tentang hal ini, ada dua catatan yang bisa kita berikan. Pertama, mengulang atas apa yang terjadi pada Jokowi, popularitas Ganjar lebih memancar dari kekuatan pribadinya daripada sumbangan partai. Dalam pengertian lain, walaupun benar PDI-P telah memberikan panggung, popularitas Ganjar berada di luar kontrol partai. Kedua, popularitas Ganjar yang bersifat otonom inilah yang memberi inspirasi kepada berbagai pihak melakukan manuver politik di luar PDI-P.
Hal inilah, antara lain, yang mendorong dilangsungkannya Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem dalam usahanya menjaring calon-calon presiden, di mana Ganjar termasuk di dalamnya. Secara lebih khusus, popularitas Ganjar ini bisa kita kaitkan dengan lahirnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dianggotai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kaitan ini dengan mudah kita lihat pada fakta bahwa diukur dari segi popularitas, tak satu pun elite partai anggota koalisi tersebut mempunyai potensi sebagai calon presiden. Karena itu, tanpa tujuan menampung Ganjar, kita sama sekali tak melihat ada alasan masuk akal membangun koalisi ini.
Ucapan Ganjar bahwa dirinya tak bersedia dicalonkan partai lain adalah hasil maksimal dari proses tarik-menarik ini.
Peta politik ”tandingan”
Peta dinamika politik nasional inilah yang memberi fasilitas kepada kita menafsirkan pidato Megawati baru-baru ini, yang sangat ekspresif itu, yaitu bahwa keseimbangan baru kekuatan politik di dalam maupun di luar PDI-P mendorong Megawati melakukan evaluasi dua sisi.
Pertama, bersifat teknikal-yuridis internal. Ucapan Megawati bahwa ia, sebagai Ketua Umum PDI-P, secara resmi diserahi mandat dari kongres untuk menentukan calon presiden dari partainya, adalah peneguhan teknikal-yuridis internal ini.
Kedua, memberikan respons bersifat strategis-etis. Ini terjadi karena dasar pergumulan dan dinamika politik nasional dewasa ini bertengger pada terlalu tingginya ambang batas suara di parlemen dalam memberikan keabsahan calon presiden-wakil presiden (presidential threshold). Walau PDI-P adalah partisipan dalam menciptakan presidential treshold tersebut, keseimbangan peta politik baru di luar PDI-P tampaknya telah memaksa Megawati melihat keadaan dengan lebih kritis.
Baca juga Capres PDI-P untuk 2024 Harus Senapas dengan Visi-Misi Presiden Jokowi
Alasan utamanya adalah bahwa presidential threshold yang terlalu tinggi tersebut berpotensi membuka peluang intervensi modal dari kalangan nonpartai. Ini artinya sama dengan melanggengkan unsur oligarki di dalam politik nasional Indonesia.
Maka, di dalam konteks kedua ini, Megawati, melalui pernyataan hak prerogatifnya mengajukan kandidat presiden dari PDI-P, membangun peta politik ”tandingan”, yaitu menghilangkan sisi uncontrollable pergerakan politik luar partai dengan memasukkan Ganjar kembali ke dalam kontrolnya.
Ucapan Ganjar bahwa dirinya tak bersedia dicalonkan partai lain adalah hasil maksimal dari proses tarik-menarik ini. Peta politik ”tandingan” ini, dengan demikian, sangat krusial bagi Megawati. Mengingat bahwa popularitas Gubernur Jawa Tengah itu telah menjadi sumber pergerakan dan manuver politik luar yang berpengaruh ke dalam, maka ”mem-PDI Perjuangan-kan” kembali Ganjar adalah sebuah langkah strategis mengurangi unsur uncontrollable tersebut. Bukankah dengan itu, Koalisi Indonesia Baru menjadi idle?
Secara etis, langkah ini juga krusial. Walau belum diketahui hasil akhirnya, usaha intervensi modal dari aktor-aktor luar politik ke dalam proses pencalonan presiden-wakil presiden relatif terhambat. Walau sudah pasti tak sepenuhnya, unsur oligarki dalam politik nasional berpotensi dikurangi.
Fachry Ali, Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)