Politik ”Meja Bundar” Jokowi
Kunjungan Jokowi ke Rusia-Ukraina adalah jawaban yang tepat. Indonesia menjawab bahwa dirinya konsisten berdiri pada prinsip politik ”tidak memihak”. Indonesia berkomitmen menjadi penyedia ”meja bundar dialogis”.
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Rusia dan Ukraina secara implisit menegaskan dua sikap sekaligus strategi politik dalam menghadapi dua tekanan besar.
Pertama, sikap politik nasional menghadapi tekanan AS-NATO terkait krisis Rusia-Ukraina. Kedua, sikap politik regional menghadapi tekanan AS-Barat terkait gelombang China Effect di kawasan ASEAN dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.
Bisakah Indonesia menjadi pengatur bandul?
Tekanan ganda
Dua tekanan itu terus menguat. Pemboikotan G20 oleh AS-NATO adalah tekanan jangka pendek terhadap Indonesia.
Kunjungan Jokowi ke Rusia-Ukraina adalah jawaban yang tepat. Indonesia menjawab bahwa dirinya konsisten berdiri pada prinsip politik ”tidak memihak ”. Indonesia bahkan berkomitmen menjadi penyedia ”meja bundar dialogis ” pada KTT G20 Bali mendatang bagi pihak-pihak berselisih: Rusia-Ukraina dan Rusia-NATO. Ini pilihan tepat.
Selain itu, kunjungan ini semacam memperkuat sikap penolakan beberapa negara ASEAN terhadap ajakan Barat memboikot Rusia. Kunjungan ini juga memperkuat posisi tiga negara ASEAN pemegang posisi penting tuan rumah tiga KTT tahun ini yang terancam diboikot oleh AS-NATO, yakni Thailand (KTT APEC), Kamboja (KTT ASEAN), dan Indonesia (KTT G20).
AS dan Rusia adalah mitra dialog ketiganya. Namun, perhatian utama kunjungan Jokowi ini mesti berpusat pada dua tekanan besar tersebut.
Kunjungan Jokowi ke Rusia-Ukraina adalah jawaban yang tepat.
Pertama, tekanan terhadap ASEAN terkait Rusia. Sikap politik nonblok Indonesia bisa sekaligus mewakili sikap politik mayoritas negara Asia Tenggara, kecuali Singapura yang mengikuti Barat-NATO. Singapura telah menjatuhkan sanksi keras terhadap Rusia.
Sebagai pemegang presidensi G-20, ini saat tepat bagi Indonesia menunjukkan kemampuan zig-zag politik. Indonesia harus mantap berselancar di antara dua arus: arus Rusia vs Ukraina dan arus Rusia vs NATO-Barat. Alasannya, krisis Rusia-Ukraina memberi efek serius pada hubungan ASEAN dan AS/NATO.
Untuk tujuan jangka pendek, kunjungan Jokowi ini memiliki sebuah poin penting. Intinya, Indonesia dan ASEAN tak perlu ikut terseret arus (tekanan) Barat. Ajakan Barat untuk memberikan sanksi terhadap Rusia via KTT AS-ASEAN di Washington, Mei 2022, tampaknya telah gugur. Artinya, secara politis ASEAN independen.
Kedua, tekanan terhadap ASEAN terkait China. Terkait ketegangan China-AS, kunjungan Jokowi ke Rusia-Ukraina bertujuan jangka panjang. Ini terkait politik kawasan di tengah bentrokan China-AS di Asia Tenggara yang makin ke sini makin memanas. Sikap diam-netral China menanggapi krisis Rusia-Ukraina, misalnya, secara implisit menempatkannya sebagai oposisi AS-NATO.
Perbedaan ini salah satunya dipicu oleh perselisihan keduanya dalam berebut pengaruh (ekonomi-politik-militer) di kawasan ASEAN. Gesekan keduanya terkait proyek Resort Dara Sakor (RDS) China di Provinsi Koh Kong dan Ream Naval Base (RNB) di Kamboja adalah salah satu contoh penting guna menimbang efek politis kunjungan Jokowi tersebut.
AS menduga proyek itu bermuatan ekspansi pangkalan militer China di Asia Tenggara. Sementara China dan Kamboja menepis tuduhan itu. Poin sesungguhnya adalah perbedaan strategi dari keduanya dalam membangun hubungan dengan ASEAN.
Dari sisi strategi, China tampaknya masuk dengan pola strategi militer Konfusian, yakni intent-based strategy, sebuah strategi halus untuk menguasai berdasarkan kecenderungan/ hasrat lawan. Hasrat ASEAN adalah ekonomi, dan China masuk ke sana dengan tekanan pada geoekonomi.
Sebaliknya, AS masuk dengan strategi force-based strategy Clausewitzian: menguasai lawan dengan kekuataan penuh via kebijakan geopolitiknya yang memang dikenal hegemonik dan represif.
Bergesernya ASEAN ke China mendorong AS mengubah strategi kebijakannya.
Dalam kasus RDS dan RNB di Kamboja itu, AS tampak kewalahan menghadapi China. China memahami betul kebutuhan Kamboja dan karena itu ia masuk dengan jalur yang pas. Di sisi lain, AS masih memakai pendekatan represif-koersif.
Alhasil, Kamboja tetap pada pendirian untuk berkolaborasi dengan China, sembari meyakinkan AS bahwa RDS dan RNB bukanlah pangkalan militer untuk China, melainkan proyek ekonomi kedua negara, yakni proyek pariwisata.
Perbedaan jalur pendekatan itu, di mana China dengan geoekonomi dan AS dengan geopolitik, memengaruhi tanggapan ASEAN terhadap keduanya. China justru terus menunjukkan dominasinya.
Bergesernya ASEAN ke China mendorong AS mengubah strategi kebijakannya. Dalam KTT AS-ASEAN pada Mei 2022 itu Presiden AS Joe Biden mengubah pola hubungan dengan ASEAN; dari ”kemitraan strategis ” ke ”kemitraan strategi komprehensif ”. AS menyadari betul bahwa kebijakan geoekonominya di kawasan ASEAN mulai tertinggal dari China.
Indonesia: meja bundar dialogis
Dari dua tekanan utama itu, Indonesia semestinya bisa menjadi pengatur bandul politik. Dalam politik regional ASEAN, Indonesia bisa menjadi pemain kunci. Ia bisa berselancar di antara arus-arus konflik negara-negara terkait tersebut. Dalam krisis Rusia-Ukraina, Indonesia bisa menjadi penyedia meja bundar dialogis.
Sementara, terkait hubungan China dengan AS-NATO-Barat, Indonesia bisa memanfaatkan bentrokan mereka untuk mengamankan posisi Indonesia dan posisi politik kawasan Asia Tenggara.
Tegangan keduanya bisa menjadi neraca penyeimbang bernilai ganda bagi Indonesia-ASEAN. Pertama, AS berfungsi sebagai penyeimbang terkait ketegangan hubungan ASEAN- China, khususnya sengketa beberapa negara kawasan dengan China di Laut China Selatan.
Kedua, China bisa juga berfungsi sebagai penyeimbang guna mengeluarkan ASEAN dari tekanan AS-Barat, tak hanya terkait konflik Rusia-Ukraina, tetapi juga dalam hubungan bilateral dan multilateral mereka selama ini didominasi dan berada di bawah hegemoni AS.
Sudah saatnya Indonesia bermain dan berselancar dengan cermat, tepat, dan efektif dalam politik lokal, regional, dan global. Indonesia bisa menjadi pengatur ritme yang baik, wujud dari filosofi dan prinsip ”politik tidak memihak ”.
Bandul politik regional dan politik global bisa dikendalikan asal saja Indonesia berupaya keras memantapkan politik lokal agar rasional, beradab, dan akhirnya diakui dunia. Perdamaian bagi Rusia-Ukraina dan bagi dunia!
Eduardus Lemanto, Program Doktor Ilmu Sosial People's Friendship University of Russia, Moskwa