Mengarusutamakan Tata Kelola Kelautan yang Partisipatif
Salah satu persoalan utama eksploitasi dan perusakan sumber daya kelautan yaitu sistem tata kelola. Dibutuhkan suatu perubahan dari tata kelola kelautan yang sentralistik dan hierarkis menjadi tata kelola partisipatif.
United Nation Ocean Conference (UNOC) tahun ini diadakan pada 27 Juni-1 Juli 2022 di Lisabon, Portugal. Para pemimpin dunia dan perwakilan NGO hadir untuk membicarakan agenda prioritas mendorong langkah-langkah darurat dan strategis untuk meminimalkan masalah laut yang terjadi di dunia saat ini. Beberapa isu di antaranya perubahan iklim, Illegal Unreported Unregulated (IUU) fishing, dan sampah laut. Pada UNOC sebelumnya, 14 rencana aksi terkait dengan konservasi dan penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan disepakati oleh berbagai pihak, termasuk 44 persen komitmen diberikan pemerintah, 19 persen dari NGO, 9 persen dari entitas UN, dan 6 persen dari sektor privat. Pertanyaannya, bagaimana rencana aksi ini dapat dilakukan secara efektif?
Persoalan tata kelola kelautan
Di dalam esai ”Tragedy of the Common”, Garret Hardin menyampaikan bahwa di dalam ruang sumber daya alam yang terbuka, misal laut, orang akan cenderung berkompetisi untuk mengambil sebanyak-banyaknya sumber daya alam karena jika satu orang tidak mengambil untuk dirinya sendiri maka orang lain yang akan mengambil. Hipotesis Hardin terbukti. Eksploitasi berlebihan sumber daya laut tersebar luas di perairan Indonesia, dengan banyak stok ikan dieksploitasi jauh melampaui batas biologis,misal penangkapan ikan kakap kerapu di Wilayah Penangkapan Perikanan (WPP) 573,711, 712, 713, 716, dan 718 sudah melebihi ambang batas (KKP, 2021). Eksploitasi dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari menangkap ikan secara masif, menggunakan alat tangkap destruktif yang merusak ekosistem laut dan terumbu karang, hingga menggunakan racun.
Salah satu persoalan utama eksploitasi dan perusakan sumber daya kelautan yaitu sistem tata kelola.
Salah satu persoalan utama eksploitasi dan pengrusakan sumberdaya kelautan yaitu sistem tata kelola. Saat ini model tata kelola kelautan di Indonesia masih menggunakan model hirarkis atau sentralistik, yang mana pelaku utama pengatur dan pelaksana aturan kelautan masih dilakukan oleh negara, baik di level pusat maupun lokal. Namun sistem tata Kelola yang sentralistik atau hirarkis ini punya beberapa kelemahan. Untuk itu, sejak 30 tahun silam, melalui ekonom peraih nobel, Elinor Ostrom, sistem tata kelola kelautan partisipatif diperkenalkan. Dalam sistem tata kelola kelautan partisipatif pihak lain seperti masyarakat pesisir, masyarakat hukum adat, nelayan, pemerintah desa dan sektor privat menjadi pelaku pengambil keputusan dalam pengelolaan laut.
Baca juga Narasi Laut Nusantara
Tata kelola yang partisipatif
Ada beberapa alasan kenapa tata kelola partisipatif ini perlu didorong. Pertama, tata kelola partisipatif perlu dipertimbangkan dikarenakan negara punya keterbatasan untuk mencegah individu dan kelompok melanggar peraturan pemerintah.
Kedua, pemangku kepentingan lainnya, termasuk masyarakat pesisir, memiliki kontribusi penting untuk pengelolaan ekosistem laut. Misalnya, untuk menyelesaikan masalah perikanan dekat pantai, masyarakat memiliki cara sendiri untuk menyelesaikannya di tingkat lokal seperti sasi atau tradisi pengelolaan perikanan saat panen di Kepulauan Maluku yang diterapkan sejak ratusan tahun yang lalu.
Ketiga, tata kelola partisipatif akan memperlancar jalan menuju kesepakatan tentang isu-isu tertentu, yang berarti bahwa hasil kebijakan lebih jauh akan mencerminkan pendapat pemangku kepentingan secara lebih akurat, termasuk pencegahan konflik ruang. Dalam kenyataan pelaksanaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) provinsi kadang meminggirkan nelayan.
Keempat, aturan yang dibuat secara lokal dapat menjamin tingkat kepatuhan yang lebih tinggi. Kelima, tata kelola partisipatif dapat mengurangi biaya administrasi pemerintah untuk menjamin implementasi peraturan kelautan.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam, tata kelola partisipatif bukan barang baru di Indonesia. Praktik tata kelola partisipatif telah dilakukan di Indonesia pada sektor kehutanan. Pengelolaan kehutanan awalnya dilakukan secara terpusat di negara, lalu kemudian berkembang untuk dikelola masyarakat termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat desa, dan masyarakat yang tinggal disekitar hutan dengan skema Perhutanan Sosial.
Permintaan adanya perhutanan sosial dimulai di awal tahun 1980an, yang diikuti oleh berbagai penelitian lapangan di Indonesia. Pada mulanya, perhutanan sosial bertentangan dengan konsep kehutanan di Indonesia yang hanya menempatkan hutan sebagai sumberdaya alam; dalam artian tanpa pelibatan masyarakat secara partisipatif dalam pengelolaan tanah dan hutan. Hutan dipandang sebagai produk yang hanya diharapkan hasilnya belum memandang pentingnya bagi kelangsungan hidup manusia dan keanekaragaman hayati.
Saat ini, masyarakat, terutama dalam ruang lingkup desa, memiliki potensi yang besar untuk melakukan pengelolaan laut.
Pemanfaatan hutan berdasarkan perhutanan sosial disesuaikan dengan fungsinya yaitu produksi dan lindung dengan memberikan ruang kelola (akses) terhadap masyarakat. Saat ini perhutanan sosial menjadi konsep yang efektif dalam pengelolaan kehutanan berbasis masyarakat dan memiliki dampak terhadap restorasi hutan yang cukup signifikan. Perhutanan sosial juga menjadi salah satu program unggulan Pemerintah Indonesia yang terejawantahkan di dalam rencana strategis Kementerian Lingkungan Hidup 2020-2024. Model tata kelola kehutanan yang efektif dapat direplikasi dalam tata kelola kelautan.
Praktek pengelolaan laut di tingkat lokal
Desa pesisir yang berjumlah kurang lebih lebih 12.827 di Indonesia dapat berperan penting dalam pengelolaan tata kelola kelautan untuk memastikan keberlanjutan sumber pangan di pesisir. Saat ini, masyarakat, terutama dalam ruang lingkup desa, memiliki potensi yang besar untuk melakukan pengelolaan laut. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Estradivari pada tahun 2021, terdapat lebih dari 390 potensi Other Effective Area-based Conservation Measures (OECM) yang dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan ruang lingkup, efektivitas, dan inklusivitas pengelolaan/konservasi laut di Indonesia.
Selain itu, Yayasan Pesisir Lestari (YPL) bersama organisasi lokal di 12 provinsi mendukung pengelolaan kolaboratif kelautan di 45 desa pesisir antara masyarakat lokal, masyarakat hukum adat, pemerintah desa, pengepul perikanan, dan juga pemerintah di tingkat kabupaten dan provinsi. Masyarakat pesisir bersama pihak terkait lainnya didorong untuk menutup satu kawasan pemancingan untuk beberapa saat supaya ikan dapat bertumbuh terlebih dahulu sebelum nantinya ditangkap.
Penutupan kawasan pemancingan ini juga dibarengi dengan aksi perlindungan habitat ikan seperti terumbu karang. Pengelolaan kelautan ini berdampak positif secara sosial, ekonomi, politik dan ekologi termasuk peningkatan pendapatan nelayan, peningkatan sosial kohesi antar nelayan, pembuatan keputusan di tingkat desa dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan, dan berkurangnya angka penangkapan yang merusak.
Saat ini, kerangka hukum dan kebijakan perikanan dan kelautan di Indonesia memberikan peluang adanya tata kelola sumberdaya kelautan yang partisipatif yang memberikan peluang pengelolaan secara kolaboratif. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mengakui adanya kearifan lokal yang mengharuskan pengelolaan perikanan dilakukan secara kolaboratif dengan pemangku kepentingan lainnya, terutama masyarakat adat. UU No. 1 2014, amandemen UU No. 27 2007, memberikan hak kepada masyarakat adat untuk mengatur sendiri pemanfaatan secara adat atas wilayah yang secara tradisional mereka kelola. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/201, terjadi perubahan Undang-Undang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) memudahkan masyarakat pesisir (non-adat) lainnya untuk mendapatkan izin.
Walaupun sudah ada payung hukum bagi tata kelola yang partisipatif, di sisi lain belum ada kejelasan hukum pengimplementasian bagaimana masyarakat pesisir dapat mengelola sumberdaya kelautan.
Walaupun sudah ada payung hukum bagi tata kelola yang partisipatif, di sisi lain belum ada kejelasan hukum pengimplementasian bagaimana masyarakat pesisir dapat mengelola sumberdaya kelautan. Selain itu, di aturan turunan terkait kebijakan pengelolaan perikanan maupun ruang, tata kelola kelautan secara kolaboratif belum menjadi strategi. Contohnya, untuk mencapai target luasan Kawasan konservasi laut sebesar 24 juta hektar di Tahun 2024, pengelolaan ruang laut masyarakat yang dilakukan secara berkelanjutan belum dimasukan ke dalam strategi pencapaian target.
Di dalam UNOC, Menteri KKP memaparkan strategi ekonomi biru diantaranya pengawasan IUU Fishing via satelit, program cinta laut untuk penanganan sampah, dan perluasan kawasan konservasi laut. Namun, ini semua akan lebih sulit direalisasikan jika semuanya dilakukan secara sentralistis atau semua proses hanya dilakukan pemerintah. Ke depan model tata kelola laut kolaboratif seperti yang terjadi di sektor kehutanan perlu didorong untuk memudahkan pencapaian target pengelolaan laut yang berkelanjutan. Ini dapat diawali dengan pengarusutamaan tata kelola partisipatif pada UNOC, diantaranya untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pengelolaan kelautan yang dilakukan oleh masyarakat serta dukungan infrastruktur dan pemberdayaan.
Rayhan Dudayev, Policy Advocacy dan Governance Specialist - Yayasan Pesisir Lestari