Rapat Paripurna RUU Daerah Otonomi Baru Papua, Kamis (30/6/2022) ini, semoga melahirkan keputusan prorakyat mengingat salah satu tugas pemerintah adalah menyejahterakan rakyat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pembahasan tiga RUU Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua memasuki tahap akhir setelah draf RUU masuk dalam kajian tim perumus dan tim sinkronisasi, Kamis (23/6) lalu. Setelah kerja perumusan dan sinkronisasi tuntas, draf tiga RUU DOB Papua akan diajukan ke rapat paripurna hari Kamis (30/6) ini. Ketiga RUU itu ialah RUU Pembentukan Provinsi Papua Tengah, RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, dan RUU Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan.
Pembahasan RUU ini tergolong dinamis. Seperti diberitakan Kompas, Jumat (24/6), Majelis Rakyat Papua (MRP) berpendapat, pembahasan RUU DOB Papua terlalu cepat dan terburu-buru. MRP menilai, pembahasan sebaiknya menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Silang pendapat yang mengiringi pembahasan RUU lazim terjadi. Dalam beberapa kasus, pemerintah dan DPR cukup bijak mendengar, menerima, menampung, dan mewujudkan usulan atau masukan masyarakat.
Namun, harus diakui, dalam sejumlah kesempatan lain, pembahasan dengan melibatkan publik kurang optimal. Pengalaman kita terkait proses penyelesaian UU Cipta Kerja layak menjadi studi kasus. Setelah diwarnai unjuk rasa yang meluas, terutama di Jakarta, bahkan disertai perilaku anarkistis, MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Seiring dengan itu, MK memberikan waktu dua tahun bagi reformasi struktural ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Salah satunya melalui optimalisasi partisipasi bermakna dalam Revisi UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Apa makna partisipasi bermakna? Tiga persyaratan yang disebut MK dalam memahami partisipasi bermakna dalam pembuatan UU ialah publik berhak didengar pendapatnya, publik berhak dipertimbangkan pendapatnya, dan publik berhak diberi penjelasan mengenai sejauh mana pendapat mereka diakomodasi dalam UU.
Tiga prinsip partisipasi bermakna ini rasanya perlu terus dipahami bersama sebagai keniscayaan dalam pengambilan keputusan terkait kepentingan publik, termasuk pembahasan RUU. DPR bersama pemerintah perlu membuka telinga lebar-lebar dalam proses tersebut.
Penerimaan masukan publik secara maksimal setidaknya menjamin ketiadaan masalah saat undang-undang ditetapkan dan diterapkan. Andai ada masalah, tidak terlalu besar. Pada akhirnya, undang-undang yang disahkan setelah melalui pembahasan melibatkan publik diharapkan dapat bermuara pada kesejahteraan rakyat.