Pemburukan cepat situasi global berlangsung justru di saat dunia mulai membangun narasi pemulihan dari pandemi dan menyiapkan transisi menuju endemi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Dunia kian dalam memasuki lorong gelap. Situasi ekonomi global menunjukkan stagflasi di depan mata, dengan kekhawatiran ekonomi bisa kembali meluncur ke jurang resesi.
Indikasi menuju stagflasi (pertumbuhan rendah, dibarengi inflasi tinggi) itu kian diperkuat oleh proyeksi terbaru Bank Dunia, Juni 2022, yang memangkas drastis proyeksi pertumbuhan global 2022 dari 4,1 persen ke 2,9 persen, jauh di bawah angka 2021 yang 5,7 persen. Inflasi global 2022 diproyeksikan 6,2 persen, di atas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022.
Sebelumnya, April lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) juga merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2022, dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen, dengan inflasi di negara maju diperkirakan 5,7 persen dan negara berkembang 8,7 persen.
Faktor geopolitik perang Rusia-Ukraina kian memperparah krisis energi, krisis pangan, dan kini juga krisis keuangan di banyak negara, serta lonjakan inflasi global yang awalnya dipicu faktor suplai agregat sebagai dampak dari kombinasi terganggunya rantai pasok akibat pandemi, perang dagang AS-China, dan dampak perubahan iklim (gagal panen).
Pemburukan cepat situasi global ini berlangsung justru di saat dunia mulai membangun narasi pemulihan dari pandemi dan menyiapkan transisi menuju endemi. Ironisnya lagi, ini terjadi saat presidensi G20 di tangan Indonesia. Dengan penguasaan 80 persen PDB global, inisiatif dituntut datang dari G20 untuk membawa dunia keluar dari krisis multidimensi.
Slogan Recover Together Recover Stronger diuji, pada saat semua negara tunggang langgang menyelamatkan diri sendiri, lewat kebijakan yang tak jarang justru kian membuat ekonomi dunia terempas ke jurang lebih dalam. Sejauh ini, baik negara maju maupun berkembang masih mencatat pertumbuhan positif. Namun, lambat atau cepat, lonjakan inflasi, bahkan hiperinflasi, di sejumlah negara akan menghantam pertumbuhan.
Analisis Pew Research Center, dari 44 negara maju, sebanyak 37 negara mengalami lonjakan inflasi dua kali lipat. Hampir semua negara maju mencatat inflasi di atas pertumbuhan ekonomi, kecuali Jepang, Kanada, dan Australia. Inflasi AS 8,6 persen (yoy) pada Mei, adalah tertinggi sejak 1982.
Kenaikan inflasi juga terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain mewaspadai potensi transmisi inflasi global ke harga-harga dalam negeri, kita harus mengantisipasi dampak kebijakan yang ditempuh negara-negara maju untuk menjinakkan inflasinya. Kenaikan bunga AS bisa memicu eksodus modal dari negara berkembang, menekan nilai tukar mata uang negara berkembang, dan memaksa bank sentralnya menaikkan suku bunga, sehingga bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang masih dalam pemulihan.
Menyiapkan diri terhadap kemungkinan guncangan badai yang lebih besar menjadi tak terhindarkan. Yang bisa dilakukan adalah membangun bantalan, termasuk fiskal, guna menjaga stabilitas dan melindungi kelompok paling rentan/terdampak. Ini tantangan tak mudah bagi Presiden Joko Widodo, dihadapkan pada mandat mengembalikan defisit APBN di bawah 3 persen PDB pada 2023 dan kebutuhan membangun legacy di dua tahun sisa masa pemerintahannya.