Manusia Tangguh
kunci sukses manusia menghadapi krisis ini ternyata terletak pada kemampuan adaptasi, optimisme, dan kemampuan resiliensi menghadapi kesulitan demi kesulitan. Punya daya tahan, ketabahan, keuletan untuk bangkit kembali.
Pandemi Covid-19 yang telah dijalani hampir seluruh penduduk Bumi selama dua tahun terakhir ini bisa jadi adalah tambahan krisis kehidupan manusia di muka Bumi. Mengingat, sebelumnya ada krisis lingkungan, berupa perubahan iklim (pemanasan global), dan pada akhir-akhir ini ditambah lagi dengan gejolak perang Rusia-Ukraina.
Sebenarnya krisis ini sudah dimulai dengan perubahan mendasar dalam banyak faset kehidupan: ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang dipicu disrupsi teknologi digital dalam satu dekade terakhir.
Sudah pasti setiap krisis selalu bermata dua: risiko (hambatan) dan peluang sekaligus. Dengan begitu, mungkin timbul pertanyaan penting: ke arah manakah perubahan sosial besaran-besaran ini bermuara: kepada sesuatu yang baik? Atau suatu katastropi? Apakah segala perangkat sosial dan perilaku kita mampu menyiasati perubahan ini untuk menjadikan Bumi menjadi lebih baik ke masa depan?
Tulisan pendek ini refleksi dari sudut pandang ilmu perilaku (psikologi), khususnya psikologi sosial dan politik, untuk merespons pertanyaan di atas.
Apakah segala perangkat sosial dan perilaku kita mampu menyiasati perubahan ini untuk menjadikan Bumi menjadi lebih baik ke masa depan?
Melampaui kecerdasan
Tidak bisa dimungkiri, dalam dua dekade terakhir ini perubahan iklim pada tingkat global telah membawa semacam katastropik bagi peradaban manusia di muka Bumi. Ketidakmenentuan suhu Bumi telah berdampak kepada bidang pertanian, gagal panen, bencana alam (banjir, longsor, likuefaksi), polusi, penurunan kualitas air dan udara bersih.
Dunia mulai berpikir ulang untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke sumber energi bersih—salah satu yang dianggap penyebab pemanasan global. Dampak ekonomi, sosial, dan psikologis dari krisis pemanasan global ini sudah kita alami dalam dua dekade ini.
Kondisi ini beriringan dengan munculnya era disrupsi digital yang membawa dampak luar biasa kepada bagaimana manusia berinteraksi, membawa revolusi besar dalam dunia kerja, dunia pendidikan, dan sosial kebudayaan.
Cara-cara lama konvensional tiba-tiba usang seketika. Dunia tiba-tiba mengalami apa yang diakronimkan dengan era VUCA, singkatan dari volatile (berubah cepat, sukar diprediksi), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleks), dan ambigious times (masa-masa tidak menentu). Disrupsi yang masif dalam teknologi digital barangkali pendorong utama lahirnya era VUCA ini.
Ketika dunia sedang beradaptasi dengan era VUCA akibat disrupsi dan di tengah usaha mitigasi pemanasan global, pandemi Covid-19 datang sekonyong-konyong tanpa diduga-duga pada awal tahun 2020. Masyarakat dunia jadi merenung, betapa rentannya (fragile) manusia ketika berhadapan kekuatan alam.
Hampir seluruh dunia pada awal-awal panik menghadapi serangan wabah, yang belum ada presedennya ini. Data dan kajian ilmiah pada masa awal pandemi ditandai dengan breakdown (kerusakan) dalam banyak bidang kehidupan; tertular dan sakit, meninggal dunia, kesulitan ekonomi, dan reaksi psikologis seperti; stress, jenuh, tertekan, dan perasaan-perasaan tidak berdaya.
Namun, tekanan-tekanan ini mulai secara perlahan direspons oleh negara, komunitas, dan individu dengan cara-cara yang layak dan kreatif yang memperlihatkan hakikat manusia sebagai homo sapiens.
Kita tahu dunia mulai bisa mengendalikan pandemi, puncaknya vaksinasi ditemukan. Potensi-potensi kemanusiaan yang jarang tampil ketika situasi normal, seperti kreativitas dan inovatif, kemampuan berjejaring, kemampuan kerja sama, dan solidaritas sosial menjadi mengemuka ketika dunia menghadapi krisis pandemi, krisis iklim, dan di masa-masa VUCA. Manusia memperlihatkan kemampuan adaptasi dan resiliensi yang mengagumkan.
Adalah benar bahwa kemampuan kecerdasan manusia yang standar (ordinary), seperti mengetahui, menghitung, dan literasi standar, tetap diperlukan manusia dalam menghadapi tantangan dunia.
Manusia memperlihatkan kemampuan adaptasi dan resiliensi yang mengagumkan.
Akan tetapi, temuan-temuan studi dalam bidang psikologi, sosiologi, ekonomi dan yang terkait, mengerucut kepada kesimpulan yang sama: menghadapi dunia yang berubah (baik karena perubahan iklim), disrupsi teknologi, dan atau ditambah oleh pandemi, manusia memerlukan lebih dari sekadar kecerdasan yang biasa (beyond ordinary intelligence).
Kemampuan-kemampuan kognitif standar seperti mengingat, menghafal, mengenali, dan bahkan komputasi yang repetitif sudah tergantikan oleh mesin yang dilengkapi kecerdasan buatan (artificial intelligence). Bahkan, kecerdasan buatan bisa melakukannya dengan lebih efisien, cepat, dan tanpa kesalahan.
Banyak orang khawatir pikiran manusia (human mind) sudah tergantikan oleh mesin. Padahal, hal ini tidaklah benar, pikiran manusia, jika Anda maksimalkan, ia bisa jadi sangat kreatif, intuitif, dan imajinatif. Sesuatu yang sampai kapan pun tak akan bisa tergantikan oleh struktur algoritma komputer (kecerdasan buatan).
Izinkan saya merangkum hasil studi ilmiah seputar respons psikologis manusia selama menghadapi krisis dan perubahan sosial, juga pandemi.
Baca juga Disrupsi Digital Ubah Pembelajaran dan Pola Pikir Pendidik
Pertama, diperlukan lebih dari sekadar kecerdasan biasa untuk bisa survive (bertahan). Kecerdasan yang diperlukan ternyata lebih kepada kecerdasan sosial atau kecerdasan kultural (cultural intelligence). Apa yang dimaksud dengan kecerdasan kultural adalah kemampuan untuk secara cepat mengerti lingkungan baru, beradaptasi, dan berespons secara tepat dan fleksibel.
Kecerdasan kultural juga melibatkan dimensi metakognitif (berpikir lebih dalam), dimensi motivasional (keyakinan, minat, kepercayaan diri), dan juga komponen perilaku (kesediaan untuk berespons dan kerja sama dengan keragaman budaya). Penelitian Mangla (2021), misalnya, memperlihatkan efektivitas kecerdasan kultural dalam kerja-kerja yang sifat virtual dan berjejaring.
Ini mungkin format kerja di masa depan, yang disebut dengan virtual team. Isu dalam kerja-kerja virtual melampaui pola-pola kerja tradisional, yang kaku dalam pengaturan tempat, waktu, peran, dan ukuran kinerja. Dalam pola kerja yang berjejaring, isu kepercayaan sosial, keterampilan komunikasi, dan isu penghargaan terhadap keberagaman (diversity) adalah kunci kesuksesan.
Blessing in disguise-nya, selama dua tahun terakhir ini, pola-pola kerja virtual team ini ternyata diakselerasi oleh pandemi Covid-19. Disrupsi teknologi dalam bentuk antarmuka digital dan kecerdasan buatan memfasilitasi pola-pola kerja virtual ini. Pola kerja virtual ini berbarengan dengan booming- nya ekonomi digital (daring).
Hal kedua, kunci sukses manusia menghadapi krisis ini ternyata terletak pada kemampuan adaptasi, optimisme, dan kemampuan resiliensi menghadapi kesulitan demi kesulitan. Apa yang dimaksud dengan resiliensi kurang lebih adalah daya tahan, ketabahan, keuletan, kemampuan mengatasi masalah, dan kemampuan untuk bangkit kembali.
Para ahli psikologi berkesimpulan, kemampuan resiliensi yang tadinya adalah properti individu, ternyata bisa berkembang menjadi resiliensi pada level komunitas dan pada akhirnya pada level negara (national resilience).
Usaha untuk memperkuat basis kecerdasan kultural di ranah pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, di level komunitas dan masyarakat adalah ikhtiar yang tidak pernah selesai.
Ke arah resiliensi nasional
Bisa disimpulkan bahwa kemanusiaan dan/atau realitas psikologis manusia pasca-pandemi sangat ditopang oleh kemampuan melampaui kognisi biasa dan superioritas faktor-faktor motivasional, seperti kemampuan adaptasi, optimisme, dan resiliensi. Namun, krisis belum sepenuhnya selesai.
Krisis baru; perang Rusia-Ukraina adalah tantangan baru yang harus dihadapi. Krisis ini berdampak banyak juga secara global, terutama stabilitas pasokan pangan, energi, dan krisis ekonomi. Sementara krisis perubahan iklim belum sepenuhnya tertangani. Walau jumlah kasus Covid-19 mulai melandai, pandemi belum bisa dikatakan sepenuhnya berakhir.
Usaha untuk memperkuat basis kecerdasan kultural di ranah pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, di level komunitas dan masyarakat adalah ikhtiar yang tidak pernah selesai. Perlu penataan institusional, sosial, dan kerja-kerja kultural untuk mem-boosting kecerdasan kultural ini ke arah resiliensi nasional.
Penataan ini adalah usaha untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, negara, dan Bumi yang kita diami ini, dengan kata kunci menyiapkan ”Manusia (Generasi) Tangguh”.
Hamdi Muluk,Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia