Dunia yang Semakin Kacau-balau
Krisis multidimensional yang dialami dunia sekarang ini lebih merupakan gejala yang muncul dari tak adanya lagi tatanan dunia yang efektif. Untuk membuatnya efektif, tatanan dunia harus direformasi.
Menjelang Presiden Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat (2017-2020), Richard Haas menulis buku World in Disarray (2015)–Dunia yang Berantakan.
Sejak itu krisis demi krisis berskala global bersusulan—perang dagang Amerika Serikat-China (2017-2021), berjangkitnya wabah Covid-19 mulai Desember 2019, penarikan pasukan AS dari Afghanistan (Agustus 2021), dan invasi militer Rusia terhadap Ukraina (24 Februari 2022), menjadikan dunia kita makin kacau balau.
Memberikan kesan tidak adanya kepemerintahan global.
Perang di Ukraina
Perang yang sudah berkecamuk selama empat bulan ini memicu krisis multidimensial baru: krisis pangan, energi, dan finansial, di samping krisis kemanusiaan yang mengerikan.
Ukraina dan Rusia adalah salah satu ”food basket”, penyuplai sekitar 30 persen pangan dunia. Perang tidak memungkinkan gandum dan minyak nabati Ukraina diekspor, sementara produk pangan dan pupuk Rusia terkena sanksi Barat.
Demikian pula dengan minyak dan gas. Rusia adalah penghasil minyak terbesar di luar Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Uni Eropa banyak bergantung pada gas (sekitar 40 persen kebutuhan) dan minyak Rusia. Semua produk itu terkena sanksi oleh Uni Eropa.
Perang jelas menjadi pemicu krisis multidimensional global sekarang ini.
Dilemanya, ketergantungan: membeli gas dan minyak berarti menyetor sekitar 50 miliar dollar AS per tahun bagi dana perang Rusia. Menghentikannya, terutama bagi Jerman, berarti mematikan industrinya sendiri, mengakibatkan pengangguran dan penurunan pertumbuhan ekonomi.
Krisis pangan dan energi serta sanksi finansial Barat terhadap Rusia juga memicu krisis finansial global. Besarannya tecermin dari kenaikan inflasi di AS, Inggris, dan bahkan Norwegia, negara yang dana abadinya dari hasil minyak cukup untuk tujuh turunan.
Di AS inflasi naik menjadi 9 persen, tertinggi selama 40 tahun. Respons bank sentral (The Fed) dengan menaikkan suku bunga 1,5-1,75 persen juga tidak pernah terjadi sebelumnya. Akan terjadi arus balik dollar AS, yang membawa efek penurunan nilai tukar rupiah dan mata uang-mata uang lainnya.
Baca juga Mampukah G20 Menavigasi Krisis Multidimensi
Pembayaran utang yang didenominasi dollar AS akan menjadi lebih mahal. Ketidakmampuan membayar utang luar negerinya menjadikan Sri Lanka sekarang ini bangkrut. Akan terjadi stagflasi, dengan pertumbuhan ekonomi dunia diramalkan turun dari 3,2 persen tahun ini menjadi 2,8 persen pada 2023.
Perang jelas menjadi pemicu krisis multidimensional global sekarang ini. Pertanyaannya, kapan perang berakhir? Sekjen NATO memperkirakan perang Ukraina akan larut menjadi ”war of attrition” yang berlangsung bertahun-tahun.
De-globalisasi
Inovasi teknologi komunikasi dan teknologi informasi (IT) serta terhapusnya sekat-sekat blok Barat dan blok Timur setelah berakhirnya Perang Dingin (1989) menjadikan bola dunia yang kita huni sebuah kampung kecil, tanpa border, yang memungkinkan terjadi lintas orang, barang, jasa, dan modal yang lebih bebas.
Perdagangan bebas dan lintas investasi mengakibatkan masuknya investasi besar-besaran ke China karena biaya buruh yang murah, tetapi produktivitasnya tinggi. Jadilah China sebuah ”world factory”.
Bukannya tidak terjadi penolakan (push back) terhadap globalisasi. Di Amerika kelompok menengah ke bawah dan jutaan buruh terancam kehilangan pekerjaan. Bahkan, aplikasi IT dinilai sebagai ancaman. Munculnya Grab didemo besar-besaran oleh para sopir taksi.
Di Eropa, sejak 2015 muncul aliran nasionalisme dan populisme yang menolak globalisasi serta sesuatu yang berbau asing (pengungsi, imigran, dan Islamofobia). Di Amerika keresahan inilah yang dieksploitasi oleh Trump, yang lalu membawanya ke kursi kepresidenan (2017).
Sadar akan kebangkitan China yang membawanya menjadi kekuatan ekonomi dunia terbesar kedua pada 2010—dan karena itu China menjadi ”kompetitor strategis” (strategic competitor) AS—Presiden Trump melancarkan ”perang dagang”—dengan menerapkan tarif yang tinggi (150-250 persen) terhadap produk-produk ekspor China ke Amerika.
Rezim perdagangan bebas berdasarkan prinsip ”trade by the rules” yang dikelola Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tersisihkan.
Kombinasi perang dagang Amerika terhadap China dan pandemi Covid-19 yang juga mengekang lalu lintas manusia, barang, dan jasa itulah yang menjadi alasan bagi majalah The Economist (London) pada edisi 16 Mei 2020 menurunkan laporan utama yang berjudul ”Goodbye Globalization”.
Menengok sejarah hubungan antarbangsa, selama 372 tahun yang lampau, perubahan tatanan dunia terjadi karena krisis besar.
”Causa prima” krisis dunia
Apakah krisis demi krisis yang terjadi itu hanya rangkaian fenomena atau ada causa prima yang mendasar di baliknya?
Ada, yaitu tatanan dunia (world order) yang lapuk dan tidak lagi efektif. Di bidang perdamaian dan keamanan, kita saksikan perang demi perang terjadi dan Dewan Keamanan PBB yang mempunyai mandat untuk ”memelihara perdamaian dan keamanan internasional” tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi kalau menyangkut negara besar (major powers) yang punya hak veto.
Lihat saja perang di Afghanistan (2002-2021) dan Irak. Lalu apa bedanya dengan perang di Ukraina kini? Tragis menyaksikan proxy war yang terjadi di Suriah (2013-2021) di mana negara-negara besar ikut nimbrung—tidak sekali pun DK PBB bersidang, padahal perang itu telah mengakibatkan lebih dari 600.000 penduduk Suriah terbunuh, 12 juta mengungsi, belum lagi kerusakan fisik yang luar biasa.
Demikian pula dengan proxy war di Yaman. Belum lagi situasi konflik yang terlupakan (forgotten conflicts) seperti di Libya, Somalia, Mali, Boko Haram di Nigeria dan Kamerun, dan Al Qaeda di Mozambik.
Ketika payung besar world order yang kini berusia 78 tahun sudah bolong-bolong dan tak lagi efektif bagi ”nation states” untuk nyaman berteduh di bawahnya, pemajuan tatanan regional (regional order) sebagai payung cadangan menjadi suatu keharusan. Di sinilah letak kepentingan strategis negara-negara di Asia Tenggara untuk terus membuat ASEAN kohesif dan kuat serta aktif memelopori kerja sama regional di Asia Timur.
Didie SW
Keberadaan ASEAN sejak 1957 memungkinkan negara-negara Asia Tenggara menikmati suasana yang relatif aman dan damai dan dengan begitu membangun ekonominya. Bandingkan, misalnya, dengan kawasan Timur Tengah.
Di bidang ekonomi dan sosial, Dewan Ekonomi dan Sosial (Ecosoc) PBB memang sudah tidak efektif dari awalnya ketika pada 1944 AS dan sekutunya membentuk ”Bretton Woods institutions” (baca: Bank Dunia, IMF, dan bank-bank pembangunan regional).
Mengantisipasi pertarungan ideologi antara sistem ekonomi pasar dan kapitalisme di satu pihak dan sistem ekonomi terencana (centrally planned economy) di pihak lain, pada forum Ecosoc PBB—di mana satu negara sama-sama memiliki satu suara—secara praktis formulasi kebijakan dan pengelolaan ekonomi dunia dilakukan lembaga-lembaga Bretton Woods. Di forum ini suara negara ditentukan berdasarkan besaran saham yang dimiliki (weighted voting)—dan karena itulah ada dominasi G7.
Krisis finansial global pada tahun 2008 menyadarkan G7 bahwa lembaga-lembaga Bretton Woods tidak cukup memadai lagi untuk mencegah dan memitigasi krisis ekonomi.
Karena itulah mereka memerlukan partisipasi emerging economies, yang menjadi alasan dibentuknya G20. Suasana krisis memudahkan G20 pada KTT pertama hingga keempat sepakat untuk membenahi (reform) IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Regional. Ketika krisis finansial teratasi, reformasi yang dijanjikan (oleh G7) hilang ditelan bumi.
Struktur tata kelola ekonomi global kembali didasarkan pada sistem lama, tak ada redistribusi kekuasaan (terutama bagaimana mengakomodasi China, perekonomian terkuat dunia nomor dua).
Baca juga Akibat Perang, Krisis Biaya Hidup Global Memburuk
Karena itu, jangan heran kalau pemimpin negara-negara seperti AS dan Inggris, dengan alasan krisis Ukraina, ringan saja mengatakan tidak akan hadir pada KTT G20 di Bali, November mendatang, karena bagi mereka, ”forum ekonomi global” (global economic forum) yang sesungguhnya adalah G7. G20 hanya ”secondary forum”.
Kalau perlu, mereka undang beberapa emerging economies untuk hadir pada KTT G7 dan didengar aspirasinya.
Kegagalan mereformasi lembaga pengelola kebijakan ekonomi global—yang notabene disepakati pada KTT G20 di Washington, London, dan Pittsburgh pada awal putaran KTT—dalam 13 tahun terakhir tidak memberikan oksigen bagi reformasi tatanan dunia di bidang politik dan keamanan.
Pergeseran geopolitik ( geopolitical shift) dari Transatlantic ke Asia-Pasifik menjadikan lingkungan strategis kawasan Asia Timur lebih rentan konflik.
Reformasi tatanan dunia
Ada yang menyebut tatanan dunia yang eksis sekarang ini ”world order 1.0”, operating system yang tidak lagi memadai. Padahal, dunia sekarang ini memerlukan ”world order 2.0”.
Kata kuncinya adalah reformasi. Sudah seperempat abad tatanan dunia dicoba direformasi, tetapi gagal. Reformasi berarti redistribusi kekuasaan. Mana mau negara yang memiliki kekuasaan besar pada struktur lama dikurangi kekuasaannya? Jangan lupa lima anggota tetap DK PBB mempunyai hak veto. Terjadi lingkaran setan (vicious circle).
Menengok sejarah hubungan antarbangsa, selama 372 tahun yang lampau, perubahan tatanan dunia terjadi karena krisis besar. Bahkan, konsepsi nation-state berdasarkan Perjanjian Wesphalia 1648 didahului oleh Perang 30 Tahun di Eropa yang menyebabkan seperempat penduduknya lenyap. ”It takes a crisis to change”.
Perang Dunia I melahirkan tatanan baru di bawah Liga Bangsa-Bangsa (1919-1938). Perang Dunia II melahirkan ”world order” yang dikelola oleh PBB. Setelah 78 tahun, tentu tatanan itu sudah tua, lapuk, dan tidak efektif, terutama di bidang perdamaian dan keamanan.
Para perancang Piagam PBB membayangkan bahwa ketika lima anggota tetap DK PBB diberikan kekuasaan besar, termasuk hak veto, kelima negara itu akan bekerja sama erat menjadikan DK PBB efektif dalam menjalankan mandatnya untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Kerja sama erat itu tidak terjadi, sebaliknya terjadi kompetisi strategis antarmereka.
Setelah berakhirnya Perang Dingin (1989), dunia yang bipolar berubah menjadi unipolar, dengan AS sebagai satu-satunya negara adikuasa selama dua dekade. Kebangkitan China (yang pada tahun 2000 mulai menyalip Jepang) sebagai kekuatan ekonomi dunia kedua dilihat sebagai ”strategic competitor” oleh AS.
Pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Transatlantic ke Asia-Pasifik menjadikan lingkungan strategis kawasan Asia Timur lebih rentan konflik. Dengan Asia Timur dalam definisi geopolitik—seperti pada East Asia Summit—mencakup 18 negara: sepuluh negara ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, serta belakangan Amerika Serikat dan Rusia.
Invasi militer Rusia terhadap Ukraina dapat dilihat sebagai tantangan terbuka secara militer oleh Rusia terhadap sistem unipolar yang didominasi Amerika, seperti dikatakan oleh Presiden Putin baru-baru ini.
Baca juga Globalisasi Luntur, Fragmentasi Menguat
Dengan China dan Rusia membangun ”persekutuan tanpa batas” (friendship which had no limit), dapat dibayangkan ke depan akan terjadi suatu kompetisi strategis segitiga yang intens, lebih dari sekadar ”untuk membendung China” (to contain China).
Idealnya seperti pada masa Perang Dingin, dua kubu bipolar atau tripolar itu bisa bekerja sama dalam ”smart coexistence”, sebanding dengan ”peaceful co-existence” pada masa Perang Dingin dulu demi kepentingan global yang lebih luas.
Krisis multidimensional yang dialami dunia sekarang ini lebih merupakan gejala yang muncul dari tak adanya lagi tatanan dunia yang efektif. Untuk membuatnya efektif, tatanan dunia harus direformasi, suatu proses seperti lingkaran setan, yang tak berujung. Pemajuan tatanan regional di Asia Tenggara dan Asia Timur menjadi imperatif bagi diplomasi.
Hassan Wirajuda Menteri Luar Negeri 2001-2009 dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014