Krisis berganda, yaitu perubahan iklim dan pandemi Covid-19, saling terkait menyebabkan deteriorasi modal alam. Sudah waktunya solusi yang terintegrasi; pembangunan yang hijau, resilien, dan inklusif.
Oleh
MARI PANGESTU
·5 menit baca
Kita, anak dan cucu kita, dan semua penghuni bumi tengah menghadapi berbagai tantangan yang disebabkan berbagai guncangan—iklim, pandemi, perang, ketegangan sosial dan ekonomi—yang mempertajam berbagai kelemahan struktural yang dialami negara berkembang selama satu dekade terakhir, sejak krisis ekonomi global 2008.
Kelemahan struktural itu antara lain melambannya investasi, produktivitas, penciptaan lapangan kerja, laju penurunan kemiskinan; peningkatan tingkat utang negara; dan meningkatnya deteriorasi modal alam (natural capital). Tidak heran jika teriakan aktivis muda Greta Thunberg, ”Rumah kita sedang terbakar”, bergaung di mana-mana.
Tak bisa ”business as usual”
Krisis berganda yang tengah melanda dunia saling terkait. Dampak perubahan iklim dan bahwa pandemi Covid-19 merupakan penyakit zoonotik (transmisi virus dari binatang ke manusia) harus menjadi peringatan kebergantungan antara penghuni bumi, Bumi, dan ekonomi (people, planet, and economy). Semua kegiatan penghuni bumi dan ekonomi tergantung kepada keberadaan ekosistem alam yang ”sehat” untuk kehidupan—makanan, air, lahan, dan udara.
Maka, deteriorasi modal alam akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, kesehatan, modal manusia dan produktivitas seperti yang terjadi dengan pandemi Covid-19 dan dampak dari perubahan iklim. Dampak paling besar dirasakan kelompok masyarakat rentan dan miskin. Perang Ukraina saat ini membuat rentan ketahanan pangan dan energi. Tetapi, terancamnya ketahanan pangan sudah jadi tantangan sebelum perang Ukraina, antara lain karena perubahan iklim.
Dengan demikian, pendekatan pemulihan kembali dengan business as usual tak akan bisa menyelesaikan tantangan yang kita hadapi. Yang perlu dilakukan adalah respons pemulihan dan pembangunan yang terintegrasi dan berpijak pada ketergantungan dan keterkaitan antara tantangan pembangunan dan penghuni bumi, Bumi, dan ekonomi.
Apa artinya? Sudah waktunya people, planet, and the economy tak hanya sekadar slogan dan pembangunan yang hijau atau keberlanjutan, tangguh, dan inklusif (green, resilient and inclusive development/GRID) secara terintegrasi dijalankan.
Sudah waktunya isu pilihan bukan antara aksi perubahan iklim atau pertumbuhan, tetapi antara tak melakukan apa-apa sekarang dengan konsekuensi ke rentannya pertumbuhan dan pembangunan ke depan. Sudah waktunya yang dilihat bukan tantangan dan biaya, tetapi kesempatan transformasi model pembangunan GRID yang bisa menciptakan sumber pertumbuhan baru dari produksi dan pasar untuk produk dan jasa- jasa ”hijau”, penciptaan lapangan kerja, teknologi, investasi dan perubahan perilaku konsumsi dan konservasi SDA.
Sudah waktunya isu pilihan bukan antara aksi perubahan iklim atau pertumbuhan, tetapi antara tak melakukan apa-apa sekarang dengan konsekuensi ke rentannya pertumbuhan dan pembangunan ke depan.
Secara konkret, apa yang dimaksud dengan pendekatan GRID, mulai dari program pemulihan sampai dengan program pemulihan dan pembangunan jangka menengah? Contoh penggunaan lensa GRID adalah program bantuan kepada komunitas sekitar hutan bakau maupun lahan yang perlu restorasi seperti di Indonesia.
Tiga keuntungan yang diperoleh: penghasilan untuk komunitas melakukan restorasi hutan bakau atau lahan (inklusif); membangun resiliensi dan adaptasi terhadap perubahan iklim (hijau dan resiliensi); dan peningkatan produktivitas penghasilan dari alam ke depan dengan kembalinya ekosistem (inklusif dan pembangunan).
Secara lebih luas, pembangunan ”hijau” ke depan memerlukan investasi transformatif lima sistem—energi, pangan, infrastruktur urban, manufaktur, transportasi—yang mendorong ekonomi dan berkontribusi terhadap 90 persen emisi gas rumah kaca (GRK). Prioritas transformasi akan berbeda, tergantung negara, dan juga berbeda terkait aksi mitigasi, adaptasi dan resiliensi, serta solusi berbasis modal alam.
Misalnya, untuk Indonesia, dua transformasi yang diperkirakan akan punya dampak terbesar bagi pembangunan dan perubahan iklim adalah transformasi sistem energi dan transformasi sistem pertanian, pangan, dan penggunaan lahan (termasuk solusi berbasis alam untuk hutan dan laut).
Untuk resiliensi, investasi untuk mencegah dan melakukan persiapan terhadap risiko dari berbagai guncangan, seperti perubahan iklim dan bencana alam (sistem peringatan dini, pengelolaan risiko bencana alam), pandemi (penguatan surveilans dan sistem kesehatan), dan ekonomi (sistem penjaminan sosial yang terarah dan fleksibel), perlu dilakukan.
Terakhir, pembangunan inklusif berarti semua penghuni bumi layak memperoleh manfaat dari GRID dan jika terdampak transisi transformasi sistem, perlu diberi kompensasi atau dukungan karena yang diperlukan ”just transition”.
Misalnya, jika negara-negara pengguna pembangkit listrik dari batubara yang jadi penyumbang emisi GRK paling besar perlu menutup pembangkit tersebut lebih dini, perlu dipikirkan bagaimana tetap mencapai akses listrik yang bersih dengan harga terjangkau, dan juga mengatasi dampak ke kelompok pekerja dan komunitas yang terdampak.
Penggerak utama
Ada tiga penggerak utama untuk realisasi GRID di level negara dan level global. Pertama, investasi untuk semua bentuk modal—manusia, fisik, alam, sosial—untuk bisa mengatasi kelemahan struktural dan mendorong pertumbuhan.
Atensi khusus diperlukan untuk membangun modal manusia—mengejar menurunnya pembelajaran selama pandemi (rata-rata anak-anak tak sekolah secara global adalah 286 hari dan di Indonesia sekitar satu tahun) dan membangun ke depan. Memperkuat modal sosial juga sangat penting karena akan berperan menguatkan resiliensi dan peran komunitas dalam implementasi GRID. Di banyak negara, peran komunitas sangat penting dalam penanganan Covid-19.
Memperkuat modal sosial juga sangat penting karena akan berperan menguatkan resiliensi dan peran komunitas dalam implementasi GRID.
Kedua, perubahan perencanaan ekonomi yang berpijak pada strategi pembangunan GRID agar alokasi sumber daya dan investasi yang diperlukan terwujud. Pendekatan GRID perlu didukung secara nyata dengan perubahan kebijakan makroekonomi, termasuk harga dan nilai karbon yang dapat memberi insentif bagi kegiatan rendah karbon dan kebijakan struktural terkait berbagai transformasi sistem utama, seperti energi, pangan, dan pengelolaan lahan.
Selain kebijakan dan regulasi, penguatan kelembagaan juga sangat penting, seperti keberadaan regulasi, standar, pengukuran, verifikasi dan sistem pemantauan untuk pembiayaan dan investasi ”hijau” serta keberadaan perdagangan karbon.
Ketiga, transformasi berbagai sistem utama untuk pembangunan rendah karbon memerlukan sumber pendanaan yang besar dan teknologi paling mutakhir. Dengan keadaan saat ini, banyak negara yang mengalami keterbatasan anggaran bisa tetap melakukan penganggaran yang bersifat GRID.
Namun, investasi untuk transformasi sistem ini perlu pendanaan skala besar dan perlu didukung dunia internasional dan swasta. Lembaga internasional dan donor dari negara maupun filantrop bisa memberikan dana melalui hibah dan pinjaman jangka panjang/bunga rendah yang dengan kombinasi anggaran pemerintah serta iklim investasi yang menarik dan pasti bisa jadi katalis untuk menarik swasta.
Sebagian besar dana yang diperlukan harus dari mobilisasi dana swasta dalam dan luar negeri, dan kuncinya bagaimana mengurangi biaya dan risiko melalui kerangka kebijakan yang kondusif serta instrumen dan insentif yang bisa mengurangi risiko. Akses kepada teknologi yang tepat juga penting
Akhir kata, penghuni bumi, Bumi, dan ekonomi saling bergantungan. Sudah waktunya solusi yang terintegrasi; pembangunan yang hijau, resilien, dan inklusif.
Mari Pangestu, Profesor Ekonomi Internasional FEB UI