G20 Punya Kemampuan Mendanai Perang Lawan Pandemi Berikutnya
Hanya dengan menciptakan arsitektur darurat kesehatan global yang lebih kuat, didanai dengan baik, dan terkoordinasi, kita dapat mencegah Penyakit X berikutnya merusak dunia dengan cara yang sama seperti Covid-19.
Oleh
TEDROS ADHANOM GHEBREYESUS
·5 menit baca
Covid-19 telah memberi kita banyak pelajaran yang sangat menyakitkan. Hanya dengan menciptakan arsitektur darurat kesehatan global yang lebih kuat, didanai dengan baik, dan terkoordinasi, kita dapat mencegah Penyakit X berikutnya merusak dunia dengan cara yang sama seperti Covid-19.
Pelajaran sangat menyakitkan dari Covid-19 adalah, pertama, bahwa mendorong kesehatan publik harus terus menjadi prioritas secara global, bukan sekadar isu yang harus kita cemaskan pada saat suatu penyakit baru, mengancam dan memaksa kita harus bertindak. Meninggalnya jutaan orang karena Covid-19, dan penderitaan yang dialami oleh begitu banyak orang lainnya, mendorong kita melakukan lebih baik lagi.
Kedua, bahwa tak ada satu orang pun aman, sampai semua orang aman. Seberapa besar pun kita ingin penyakit itu pergi, Covid-19 akan tetap menjadi ancaman global, merenggut nyawa manusia, terutama mereka yang tak mendapatkan vaksinasi, serta menghambat pemulihan ekonomi di banyak sektor dan juga di banyak negara.
Merebaknya penyakit cacar monyet (monkeypox) yang belum pernah kita lihat sebelumnya, di sejumlah negara, adalah pengingat lain tentang adanya wabah-wabah baru yang terus mengancam, atau penyakit-penyakit lama yang muncul di tempat-tempat baru.
Dan ketiga, bermain lip service untuk bekerja bersama, sebagai ”one global village”, untuk melindungi dan mendorong kesehatan saja, tidaklah cukup. Alih-alih, dengan krisis kesehatan dalam skala yang tak ada presedennya ini, kita butuh perubahan yang juga luar biasa dalam hal bagaimana kita berkolaborasi untuk membuat masyarakat tetap sehat dan aman.
Kepemimpinan Indonesia
Poin terakhir di atas mensyaratkan tiga hal untuk berhasil: pembiayaan berkesinambungan, aturan-aturan yang disepakati bersama, dan sebuah arsitektur kesehatan global yang lebih kokoh dalam kesiapsiagaan, respons, dan resiliensi menghadapi darurat kesehatan.
Dari aspek pembiayaan ini, saya memuji kepemimpinan Indonesia—melalui presidensi G20—yang menempatkan pendanaan berkelanjutan (sustainable funding) bagi pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi sebagai prioritas; suatu langkah maju dari yang sudah dicapai tahun lalu di bawah presidensi Italia. Saya menyaksikan sendiri dari dekat komitmen ini ketika menghadiri pertemuan pertama tingkat menteri kesehatan G20, yang diselenggarakan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, di Yogyakarta, bulan ini.
Saya memuji kepemimpinan Indonesia—melalui presidensi G20—yang menempatkan pendanaan berkelanjutan bagi pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi sebagai prioritas.
Fokus utama kepemimpinan G20 Indonesia adalah membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman dan mengembangkan cara-cara yang konkret untuk mewujudkannya, termasuk melalui pembiayaan yang berkelanjutan dan memadai, terutama untuk negara-negara berpendapatan rendah.
WHO, bersama Bank Dunia, mendukung gagasan Indonesia tentang perlunya pembentukan suatu Financial Intermediary Fund untuk membantu negara-negara mengakses pendanaan yang dibutuhkan, melalui cara yang jauh lebih terorganisasi, guna membantu membangun sistem yang lebih kuat untuk melindungi diri mereka sendiri dan dunia dari ancaman berbagai pandemi. Dana ini harus ditempatkan di Bank Dunia, dengan WHO memainkan peran sentral secara teknis dalam memandu investasinya, untuk kepentingan pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi yang efektif.
Kendati demikian, tuntutan akan prediktabilitas tak hanya mencakup soal pembiayaan. Pemerintah negara-negara telah memulai proses untuk menetapkan seperangkat aturan dasar internasional yang disepakati bersama guna mencegah terulangnya kolaborasi yang tak konsisten dan berantakan seperti kita saksikan selama pandemi Covid-19, mulai dari dalam berbagi informasi dan data hingga berbagi APD, vaksin, perawatan, dan diagnostik.
Untuk membuat seperangkat aturan seperti itu, kalangan pemerintah yang mewakili 194 negara anggota WHO telah memulai proses—hal yang belum pernah terjadi sebelumnya— untuk menyusun perjanjian internasional yang mengikat secara hukum terkait pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi. Proses yang dipimpin Indonesia ini sedang berlangsung, dan bentuk akhir dari kesepakatan semacam itu akan diputuskan oleh pemerintah-pemerintah itu sendiri.
Namun, inti dari upaya ini adalah mencegah terulangnya kembali pandemi Covid-19, melalui pakta global yang akan melindungi kesehatan semua orang, sekaligus menjaga kebebasan setiap orang agar tidak terjebak dalam cengkeraman krisis kesehatan global.
Perwakilan dari masing-masing enam wilayah WHO telah membentuk Badan Negosiasi Antarpemerintah guna mengembangkan kesepakatan ini, untuk dipertimbangkan oleh Majelis Kesehatan Dunia pada 2024. Pembentukan Fund dan aturan dasar yang disepakati akan menjadi pilar utama dari arsitektur global yang lebih kuat, dalam rangka kesiapsiagaan, respons, dan ketahanan menghadapi darurat kesehatan.
Arsitektur kesehatan
Menanggapi permintaan dari negara-negara anggota, WHO telah mengembangkan proposal terkait arsitektur global yang lebih adil, inklusif, dan koheren, untuk keadaan darurat kesehatan. Proposal dibuat berdasarkan lebih dari 300 rekomendasi dari berbagai tinjauan atas respons global terhadap pandemi. Kesepakatan terkait pandemi ini akan memberikan kerangka hukum menyeluruh yang vital, di mana terkait ini kami membuat 10 rekomendasi di tiga bidang utama.
Pertama, kita membutuhkan tata kelola yang koheren, inklusif, dan akuntabel. Kedua, kita membutuhkan sistem dan alat yang lebih kuat untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons keadaan darurat kesehatan dengan cepat. Dan ketiga, kita membutuhkan pembiayaan yang memadai dan efisien, di dalam dan luar negeri, didukung oleh inisiatif seperti Financial Intermediary Fund.
WHO telah mengembangkan proposal terkait arsitektur global yang lebih adil, inklusif, dan koheren, untuk keadaan darurat kesehatan.
Untuk mendukung proposal ini, kita membutuhkan WHO yang lebih kuat dan dibiayai secara berkelanjutan di jantung arsitektur keamanan kesehatan global. Kita tidak memulai dari nol. Peluncuran berbagai inisiatif dalam dua setengah tahun terakhir telah meletakkan dasar bagi dunia yang lebih aman.
The Access to COVID-19 Tools Accelerator, yang juga didukung Indonesia dan banyak negara lain, telah terbukti menjadi platform yang dapat memacu penelitian, pengembangan, dan distribusi vaksin, pengujian, dan perawatan untuk Covid-19 dalam skala global. Ini juga bisa jadi model untuk memproduksi teknologi guna memerangi penyakit menular lain.
Hub WHO untuk Pandemi dan Epidemic Intelligence di Berlin, WHO BioHUB untuk berbagi materi biologis baru dengan aman, serta Hub mRNA untuk mengembangkan dan berbagi teknologi untuk memerangi Covid-19 dan penyakit lain di masa depan adalah platform lain yang menunjukkan apa yang bisa dilakukan ketika negara-negara dan mitra global —saat dalam situasi shock dan dipaksa bertindak—bersatu untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Meski demikian, pelajaran yang harus kita semua perhatikan adalah bahwa kita harus menuntaskan pekerjaan yang telah kita mulai dan mewujudkan inisiatif yang telah diluncurkan oleh pemerintah negara-negara anggota.
Hanya dengan menciptakan arsitektur darurat kesehatan global yang lebih kuat, didanai dengan baik, dan terkoordinasi, kita dapat mencegah Penyakit X berikutnya merusak dunia dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Covid-19. Melalui presidensi G20, Indonesia memberikan kepemimpinan yang vital dalam upaya global ini, untuk memastikan dunia yang lebih aman bagi semua orang, di mana pun, di tahun-tahun mendatang.
Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)