Makna pluralisme tak hanya mencakup agama, tetapi juga hak dan identitas penghayat kepercayaan yang dalam sejarah Indonesia merdeka baru setelah Reformasi mulai diakui secara hukum dan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh
R WILLIAM LIDDLE
·5 menit baca
Pascapandemi Covid-19, mungkin ketegangan sosial yang paling menonjol kini, baik di Amerika maupun di Indonesia, adalah soal perbenturan agama. Di Amerika, sekelompok orang Kristen dan Katolik radikal semakin galak mencabut hak perempuan menguasai sendiri tubuhnya.
Di Indonesia, sekelompok orang radikal juga semakin galak memaksakan tafsiran sendiri agamanya kepada seluruh bangsa. Perkembangan mutakhir di Indonesia terungkap secara meyakinkan oleh para penulis sebuah buku baru, Religious Pluralism in Indonesia, diedit oleh Chiara Formichi dan diterbitkan oleh Cornell University Press pada 2021.
Pluralisme agonistis
Salah satu esai berbobot dalam koleksi ini ditulis Robert Hefner, pakar kawakan politik Islam di Indonesia. Hefner mengingatkan kita perihal jurang menganga antara dua amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan itu adalah Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang Permohonan Pengujian UU No 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; serta Putusan No 97/XIV/2016 terhadap Pencantuman Penghayat Kepercayaan pada Identitas Kependudukan sesuai UU No 23/2006.
Keputusan pertama, diumumkan pada 2010, dijelaskan Hefner sebagai ”pengesahan yudisial paling terang sikap antiliberal kaum Islamis yang mengklaim mayoritas bangsa Indonesia selama seluruh masa Reformasi”. Namun, keputusan kedua, diumumkan pada 2017, membuka secercah harapan: ”ada bukti ambivalensi etis dan pluralisme agonistis”. Maksudnya, ibarat kontestan Olimpiade asli Yunani—para agonis, kelompok-kelompok majemuk di Indonesia suka bertarung.
Kenyataan itu membuka jendela kesempatan bagi penghayat kepercayaan untuk memperjuangkan hak dan identitasnya, baik di daerah mayoritas Muslim maupun daerah mayoritas Kristen dan Katolik.
Dalam pengertian lain, makna pluralisme tak hanya mencakup agama, tempat kita selama ini membicarakan dampak perbenturan antara Islam dan agama-agama minoritas serta konflik internal dalam agama-agama yang hadir di Indonesia. Ia juga mencakup masalah hak dan identitas penghayat kepercayaan yang dalam sejarah Indonesia merdeka baru setelah Reformasi mulai diakui secara hukum dan dalam kehidupan sehari-hari.
Perjuangan para penghayat kepercayaan masa kini dianalisis dengan jitu oleh sebuah tim sarjana Universitas Gadjah Mada, dipimpin oleh Samsul Maarif beserta anggota tim Husni Mubarok, Laela Fitriani Sahroni, dan Dyah Rossita. Mereka bertugas di Center for Religious and Cross-cultural studies (CRCS). Laporan mereka, terbit 2019, berjudul Merangkul Penghayat Kepercayaan Melalui Advokasi Inklusi Sosial: Belajar dari Pengalaman Pendampingan.
Untungnya, laporan Maarif cs diacu oleh Hefner sehingga mudah diakses peneliti lain. Ia merupakan studi kasus yang menggabungkan secara efektif unsur-unsur kesarjanaan dan advokasi. Kesarjanaan dari CRCS, advokasi dari Yayasan Satunama Yogyakarta. Satunama adalah organisasi nirlaba, didirikan pada 1998, ”bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat melalui pendampingan, advokasi, dan pelatihan (Satunama.org). Pimpinannya, Willi- am E Aipipidely, menambahkan ”apa pun agama, suku, bahasa, jenis kelamin, dan asal-usul seorang warga negara, ia memiliki hak yang setara di hadapan negara” (Maarif et al, 5).
Apa pun agama, suku, bahasa, jenis kelamin, dan asal-usul seorang warga negara, ia memiliki hak yang setara di hadapan negara
Tak sulit diterka, pada era Orde Lama dan Orde Baru, para penghayat kepercayaan terpaksa berjuang sendiri dan ”keberhasilan advokasinya mengalami pasang-surut” (Maarif et al, 3). Setelah Reformasi, mereka dibantu sejumlah LSM nasional, termasuk Human Rights Working Group (HRWG), Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.
Hasil kerja sama mereka sebelum Putusan MK No 97/XIV/2016 lumayan bagus.
”UUD 1945 hasil amendemen, Pasal 28E[2] yang menyebutkan kepercayaan secara khusus (dibedakan, tetapi dapat diterjemahkan setara dengan agama), UU Adminduk No 23/2006, khususnya Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1), tentang pengosongan kolom agama bagi penghayat, yang tidak lagi mewajibkan penghayat berafiliasi ke salah satu agama yang diakui pemerintah, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan, dan Permendikbud No 27/2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan” (Maarif et al, 3).
Antara Agustus 2018 dan Februari 2019, praktik advokasi Satunama, disponsori The Asia Foundation (TAF), diimplementasikan bersama lima mitra pendamping di berbagai lokasi penelitian: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS) di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta; Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup (LPPLSH) Purwokerto di Brebes dan Banyumas; Aliansi Sumatera Utara Bersatu (ASB) di Medan; Yayasan Wali Ati (Yasalti) di Sumba Timur; dan Yayasan Sosial Donders di tiga kabupaten di Sumba.
Kewargaan inklusif
Kegiatan apa yang dilakukan lima mitra ini? Satunama meyakini inclusive citizenship, kewargaan inklusif, ketimbang ”isu kebebasan beragama atau berkepercayaan atau sebagai isu politik agama” semata.
Kewargaan inklusif diperincikan sebagai penciptaan jaringan sosial, penumbuhan kesadaran tentang realitas sosial yang beragam, dan kehendak untuk mengakui serta menghidupi perbedaan (Maarif et al, 5). Implementasi program-program ini berbeda menurut keperluan khas lokasi masing-masing.
Kewargaan inklusif diperincikan sebagai penciptaan jaringan sosial, penumbuhan kesadaran tentang realitas sosial yang beragam, dan kehendak untuk mengakui serta menghidupi perbedaan.
Apa yang menjelaskan sukses Satunama dan aktivis lain, meski masih parsial, memperjuangkan hak penghayat kepercayaan selama Reformasi?
Lembaga-lembaga demokratis mutlak penting selaku latar yang memungkinkan banyak kegiatan. Juga rasa tebal kebangsaan, yang terbukti misalnya dalam seleksi penghayat untuk dibantu dalam praktik advokasi Satunama di Sumatera, Jawa, dan Sumba.
Sejumlah pejabat pemerintah ternyata simpatik, terutama setelah keluar Keputusan MK Nomor 97/XIV/2016. Bantuan dari luar, seperti Satunama mendapat dari TAF, juga berarti. Namun, bantuan itu tidak jatuh dari langit. Ia harus diperjuangkan oleh LSM-LSM dan tidak semua berhasil!
Bagi saya, ada tiga faktor menonjol. Pertama, strategi advokasi yang tepat dan teruji. Aktivis Satunama dan mitranya cukup canggih mencari unsur-unsur strategi mereka dari literatur global, seperti terbukti dalam referensi Maarif cs.
Kedua, kepintaran memilih mitra, tidak hanya LSM lokal, tetapi dari seluruh Indonesia seperti terdaftar di atas. Ketiga, tak kalah penting, kesabaran. Semua pemain, baik sarjana maupun aktivis, tahu betul betapa sengitnya perlawanan dalam masyarakat Indonesia terhadap perjuangan penghayat sampai hari ini.
Dalam semangat penelitian pendampingan, kata akhir yang amat berimbang saya berikan pada tim CRCS/UGM: ”fakta praktik diskriminasi terhadap penghayat belum sepenuhnya berakhir…. Fakta tersebut penting dilihat bukan sebagai bentuk kegagalan advokasi, melainkan sebagai alasan dibutuhkannya advokasi lanjutan dengan menjadikan pengalaman advokasi sebelumnya sebagai pelajaran, misalnya terkait perspektif, metode, dan strateginya”. (Maarif et al, 4).
R William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State University, Columbus OH, Amerika Serikat