RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak Perlu Pertegas Peran Laki-Laki
Pembahasan RUU KIA perlu menggunakan paradigma kesetaraan jender dan perspektif jender. Karena itu, peran laki-laki dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak harus dipertegas dalam RUU tersebut.
Oleh
DEWANTO SAMODRO
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Dewan Perwakilan Rakyat telah menyepakati naskah Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak akan dibahas lebih lanjut untuk menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang diadakan pada Selasa (14/6/2022).
Beberapa tanggapan muncul menyikapi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) tersebut, antara lain dari Ketua DPR Puan Maharani yang menyatakan cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan akan ditambah menjadi enam bulan. Hal itu berbeda dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur hak cuti hamil dan melahirkan bagi pekerja perempuan adalah tiga bulan.
Pernyataan politisi PDI-P itu mendapat berbagai tanggapan. Ada yang mendukung, ada pula yang menilai usulan tersebut memiliki kepentingan politis yang berkaitan dengan Pemilu 2024.
Namun, ada pula yang berpendapat akan lebih baik pekerja laki-laki yang istrinya hamil dan melahirkan diberikan hak cuti untuk menemani dan membantu istri merawat bayi yang baru lahir. Di beberapa negara, pekerja laki-laki memang mendapatkan hak cuti saat istrinya melahirkan.
Hak cuti bagi pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan berangkat dari pandangan bahwa pengasuhan bayi dan anak memerlukan peran ayah dan ibu, bukan hanya menjadi ranah ibu dan perempuan saja.
KORNELIS KEWA AMA
Ibu-ibu di Desa Manamas Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, membawa anak-anak ke puskesmas setempat untuk pemeriksaan kesehatan, beberapa waktu lalu.
Pengasuhan anak memang memerlukan dua figur ayah dan ibu sehingga tumbuh kembang anak menjadi lebih seimbang. Karena itu, akan lebih baik apabila RUU KIA diarahkan untuk memberikan peran yang lebih banyak kepada laki-laki untuk menjamin kesejahteraan ibu dan anak.
Dalam bahasa Inggris, pengasuhan disebut dengan parenting. Frasa tersebut pada dasarnya menempatkan peran orangtua atau parent, yaitu ayah dan ibu pada posisi yang sama penting dalam mengasuh anak.
Peran ayah dalam pengasuhan memiliki berbagai variasi di sejumlah budaya. Namun, berbagai penelitian di bidang psikologi telah menyebutkan bahwa pengasuhan anak juga memerlukan peran dari ayah.
Berbagai penelitian di bidang psikologi telah menyebutkan bahwa pengasuhan anak juga memerlukan peran dari ayah.
Keterlibatan positif ayah
Pengasuhan anak oleh ayah merupakan keterlibatan positif seorang ayah dalam pengasuhan melalui aspek afektif, kognitif, dan perilaku. Hal itu merupakan bagian dari sistem keluarga, komunitas, dan budaya.
Lamb dkk (dalam Palkovits, 2002 dalam Hidayati dkk, 2011) membagi keterlibatan ayah dalam tiga komponen, yaitu paternal engagement, aksesibilitas, serta tanggung jawab dan peran dalam menyusun rencana pengasuhan anak.
Paternal engagement melibatkan interaksi langsung antara ayah dan anak, misalnya bermain bersama, belajar bersama, dan kegiatan santai lainnya yang dilakukan secara bersama-sama. Sementara aksesibiltas lebih bersifat temporal karena berkaitan dengan interaksi dengan anak saat dibutuhkan saja, sementara tanggung jawab dan peran dalam menyusun peran pengasuhan tidak melibatkan interaksi langsung antara ayah dan anak.
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, yaitu anak dan ayah. Anak yang pengasuhannya melibatkan ayah lebih berkembang secara kognitif sehingga memiliki prestasi akademik yang lebih baik, sementara ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak akan lebih matang secara sosial.
Budaya patriarki sering kali membebankan pengasuhan anak kepada perempuan atau ibu. Perempuan ditempatkan pada posisi domestik, termasuk untuk mengasuh anak, sementara laki-laki sebagai kepala keluarga dianggap lebih memiliki peran publik.
Patriarki adalah sistem yang memandang laki-laki lebih memiliki otoritas melalui institusi sosial, politik, dan ekonomi; sehingga membuat perempuan mengalami ketidakadilan. Dalam praktiknya, budaya patriarki terjadi dalam berbagai macam pola baik di ruang keluarga maupun di ruang publik.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pengunjung dalam pembukaan pameran foto Keayahan "ini Ayah Hebatku" di Bentara Budaya Jakarta, Senin (20/11/2017). Pameran diselenggarakan dalam rangka peringatan Hari Ayah Nasional.
Pembahasan RUU KIA perlu menggunakan paradigma kesetaraan jender sehingga perempuan mendapat jaminan untuk dapat berperan di ranah publik untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan anak, dan kesejahteraan keluarga.
Perempuan jangan lagi hanya ditempatkan di ranah domestik, tetapi perlu lebih didorong untuk mengambil peran di ranah publik. Anggota legislatif perempuan di DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU KIA perlu lebih bersuara dalam memperjuangkan kesetaraan jender.
Perempuan yang menjadi anggota legislatif harus bisa membuktikan diri memiliki kemampuan untuk memberikan gagasan dan mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan, salah satunya dalam RUU KIA.
Anggota legislatif perempuan di DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU KIA perlu lebih bersuara dalam memperjuangkan kesetaraan jender.
Keterlibatan perempuan di ranah publik akan menghilangkan anggapan bahwa kesejahteraan ibu dan anak bergantung kepada laki-laki. Perempuan juga dapat berdaya dalam meningkatkan kesejahteraan diri dan anak apabila memiliki kesempatan yang setara dengan laki-laki.
Namun, sebagaimana dalam pengasuhan anak, laki-laki juga perlu dilibatkan dalam pengarusutamaan jender. Laki-laki harus dilibatkan dan diberikan pemahaman dalam upaya memberikan kesempatan yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Pemahaman terhadap kesetaraan dan pengarusutamaan jender akan mencegah laki-laki memandang perempuan sebagai pihak yang tidak mampu dan tidak berdaya. Relasi antara laki-laki dan perempuan harus berdasarkan kemitraan yang setara.
Pembahasan RUU KIA perlu menggunakan paradigma kesetaraan jender dan perspektif jender. Peran laki-laki dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak harus dipertegas, tanpa memandang laki-laki sebagai pihak yang lebih superior dan perempuan sebagai pihak yang inferior.
Dewanto Samodro, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta