Pemain utama tentulah pihak-pihak paling berkuasa. Mereka didukung pemain pembantu, pemandu sorak (istilahnya ”buzzer”), lembaga-lembaga riset untuk mengukur keberhasilan tontonan dengan ukuran popularitas pemain, dll.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Di antara teman-teman dekat salah satu yang saya sering berhubungan dan ngobrol adalah dengan Tarzan yang dikenal sebagai pelawak Srimulat. Mungkin tidak seperti disangkakan orang, Tarzan sehari-hari tidaklah melucu, sebaliknya cenderung serius. Selain pembaca setia koran Kompas, dia pembaca buku. Sering kami berdiskusi mengenai buku, seperti baru-baru ini kami mendiskusikan buku karya Sindhunata.
Dia pula yang membuat saya nonton film Srimulat: Hil yang Mustahal, setelah lebih dari dua tahun saya tak menginjak bioskop.
”Bagaimana menurut pendapat sampeyan?” tanyanya begitu saya lapor bahwa saya telah nonton.
”Beda sudut pandang. Film itu menggambarkan kehidupan lucu awak Srimulat di luar panggung. Dalam pengalaman saya, di luar panggung, selain serius seperti sampeyan, kehidupan teman-teman Srimulat lebih banyak tragisnya daripada lucunya,” jawab saya. Terlintas di pelupuk mata pelawak ataupun pemusik Srimulat yang saya kenal baik kala itu, seperti Basuki, Asmuni, pasangan Darsono-Ertuna, Ali-Rina, tak ketinggalan Mbak Jujuk. Mereka semua telah tiada kini.
Saya mengenang, film tentang Srimulat yang berhasil mengangkat kontras kehidupan panggung dan luar panggung adalah Suci Sang Primadona. Melalui film tersebut, Arifin C Noer mampu menggambarkan tragik kehidupan seorang primadona di balik panggung. Ah, Joyce Erna.
Kami memperbincangkan kenangan masa lalu, seperti diingat Tarzan, saya selalu naik Vespa datang ke tempat kos-kosan mereka di Slipi, tak jauh dari kantor koran Kompas. Hampir tiap malam saya di belakang panggung Srimulat di Taman Ria Remaja Senayan, sampai akhirnya mereka bangkrut. Ketika itu muncul seloroh, mereka kalah lucu dibandingkan dengan para pelawak di gedung sebelahnya, yakni gedung DPR.
Bertahun-tahun kemudian, bagi saya, seloroh tadi lebih terasa sebagai tamzil zaman. Akibat perkembangan banyak hal, terutama kemajuan teknologi digital yang mengaburkan batas antara nyata dan tidak nyata, dunia politik berubah jadi dunia panggung. Panggung kuasa dan keluarga ditambah para kroni.
Sesuai popularitas dan senioritas, dulu di Srimulat ada kategori pemain papan atas, tengah, bawah, dihitung pula untuk dapat honor peran penjual tiket, tukang jaga pintu, bagian mengerek layar, dan lain-lain. Pada panggung politik, pemain utama tentulah pihak-pihak paling berkuasa. Mereka didukung pemain pembantu, pemandu sorak (istilahnya buzzer), lembaga-lembaga riset untuk mengukur keberhasilan tontonan dengan ukuran popularitas pemain, dan seterusnya.
Panggung kekuasaan menyukai tema populis. Kita melihat pejabat ke pasar dan kaget harga cabai mahal. Ha-ha-ha. Ada yang turun ke sawah meski hari hujan disertai petir. Tidak kalah romantik tentunya foto pejabat melenggang sendirian di puing-puing lokasi bencana atau kesunyian hutan. Apresiasi setinggi-tingginya untuk juru kamera.
Terhadap keputusan-keputusan politik yang dianggap strategis para pengamat sibuk memberikan analisis. Mereka memberi makna dan uraian dakik-dakik. Padahal, di belakang panggung siapa tahu apa yang dianggap serius oleh orang-orang pintar tersebut cuma urusan bagi-bagi jatah, diputuskan di meja makan sembari ger-geran menertawakan nasib wong cilik yang nasibnya tidak seberuntung mereka.
Media meramaikan, menambahi amunisi kontroversi dan halusinasi. Melalui media masa, kini orang dikondisikan untuk melihat hal-hal yang sejatinya wajar menjadi tidak wajar. Perlahan-lahan kita kehilangan kewajaran hidup.
Panggung adalah cermin kehidupan manusia. Inti kehidupan manusia adalah komedi dan tragedi. Ini telah diguratkan sejak sebelum Masehi oleh Aristophanes, si ”bapak komedi”.
Sisi lain dari komedi adalah tragedi. Sama tuanya dengan peradaban manusia, tragedi yang melekat pada nasib manusia dinujumkan oleh Sophocles yang dulu karya-karyanya di sini sempat dipentaskan oleh Rendra, seperti Antigone dan Oedipus Rex.
Dalam digitalisasi dan entertainisasi kehidupan sehari-hari sekarang ini kalau mau kita semua dimungkinkan untuk ambil bagian. Mengikuti diktum terkenal: jaman edan nek ra edan ra kumanan. Misalnya dengan berteriak ”presiden” untuk pejabat yang kluyuran ke pasar atau sekadar peran recehan lainnya ber-selfie dengan penguasa atau siapa saja yang kita anggap makhluk penting.
Di luar itu, pasti ada yang memilih seperti saya, sekadar jadi penonton, melihat komedi dan tragedi kekuasaan sembari berdoa semoga cepat waras.