Pengangkatan penjabat kepala daerah telah mengangkangi sejumlah aturan dan putusan pengadilan yang seharusnya dijadikan pedoman. Pengabaian aturan merupakan satu bentuk kesewenang-wenangan.
Oleh
SAHEL MUZZAMMIL
·5 menit baca
Tidak terbayang sebelumnya, praktik pengisian penjabat untuk menggantikan 271 kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 akan berlangsung secara serampangan dan asal-asalan. Waktu enam tahun yang tersedia sejak diundangkannya Undang-Undang Pilkada (UU No 10/2016) tampak disia-siakan begitu saja tanpa menghasilkan jalan transisi yang memadai.
Masyarakat sipil akhirnya terpaksa berteriak lagi agar pemerintah menghentikan praktik sembrono penunjukan penjabat kepala daerah tersebut sebelum keseluruhannya bulat menjadi sebuah kesalahan. Sebab, praktik ini telah mengangkangi sejumlah aturan dan putusan pengadilan yang seharusnya dijadikan pedoman. Apabila praktik ini berlanjut, tentu bukan saja keabsahan penjabat terpilih yang akan dipersoalkan, melainkan juga kredibilitas pemerintahan nasional menjadi taruhannya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Undang-Undang No 10/2016 merumuskan norma transisi yang relatif singkat terkait pengisian penjabat kepala daerah sebelum pelaksanaan pilkada serentak 2024. Pasal 201 Ayat (9), (10), dan (11) lebih kurang mengatakan bahwa untuk menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2022 dan 2023 ditunjuk penjabat kepala daerah yang berasal dari pimpinan tinggi madya (untuk menggantikan gubernur) dan pimpinan tinggi pratama (untuk menggantikan bupati/wali kota). Para penjabat ini akan bertugas selama satu tahun dan setelah itu dapat diperpanjang satu tahun lagi baik dengan orang yang sama ataupun berbeda (Penjelasan Pasal 201 Ayat (9) UU No 10/2016).
Undang-Undang No 10/2016 tidak merinci bagaimana mekanisme penunjukan penjabat yang dimaksud dalam Pasal 201. Karena itu, agar dapat dijalankan Pasal 201 harus dijabarkan lebih lanjut melalui undang-undang atau peraturan pelaksana sebagaimana bunyi Putusan MK No 67/PUU-XIX/2021. Tanpa penjabaran ini, mekanisme apa pun yang digunakan untuk menunjuk penjabat pada akhirnya tetap menjadi cacat karena tidak berlandaskan hukum.
Mekanisme penunjukan penjabat dalam berbagai kasus lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan seperti karena kepala daerah berhenti sementara (cuti kampanye atau menghadapi dakwaan) tentu tidak bisa digunakan begitu saja untuk menjalankan Pasal 201 UU 10/2016, kecuali terdapat peraturan yang secara mutatis mutandis tegas memberlakukannya. Prasyarat ini merupakan konsekuensi logis yang harus diterima sebagai sebuah negara hukum.
Lebih lanjut, bukan semata persoalan hukum, adanya aturan pelaksana atas Pasal 201 UU No 10/2016 juga penting bagi kelangsungan demokrasi. Tepat seperti diuraikan dalam Putusan MK No 67/PUU-XIX/2021, adanya aturan pelaksana penting agar tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.
Adanya aturan pelaksana penting agar tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
Ratio decidendi putusan MK di atas, sayangnya sering kali dianggap sebatas pertimbangan yang tidak harus diikuti oleh pemerintah. Padahal, pertimbangan hakim merupakan bagian tak terpisahkan dari putusan MK yang sifatnya final dan mengikat (Pasal 48 Ayat (2) UU MK (UU No 24/2003)).
Pengabaian kewajiban membentuk aturan pelaksana ini pada akhirnya sempurna sebagai satu bentuk kesewenang-wenangan, di mana pemerintah bertindak tanpa dasar kewenangan dan menentang putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 18 Ayat (3) UU Administrasi Pemerintahan (UU No 30/2014)). Akibat pengabaian ini, bukan tidak mungkin suatu saat pemerintah harus menghadapi lagi gugatan tata usaha negara dari masyarakat.
Tabrak larangan
Penunjukan tentara dan polisi aktif sebagai penjabat kepala daerah jelas tidak dapat dibenarkan. UU Polri (UU No 2/2002) dan UU TNI (UU No 34/2004) tegas mengharuskan personelnya mengundurkan diri atau pensiun dari kedinasan apabila hendak menduduki jabatan sipil seperti penjabat kepala daerah. Hanya sebagian kecil jabatan sipil yang terkait dengan fungsi pertahanan dan keamanan dapat diduduki oleh personel aktif TNI atau Polri, dan penjabat kepala daerah bukanlah salah satunya (Lihat Pasal 28 UU No 2/2002 dan Pasal 47 UU No 34/2004).
Terlebih lagi, UU ASN (UU No 5/2014) juga telah dengan tegas menyebutkan bahwa pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota kepolisian dilaksanakan hanya pada Instansi Pusat (Pasal 20 Ayat (3) UU No 5/2014). Dengan demikian, tertutup sudah pintu masuk bagi personel aktif TNI-Polri untuk ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah.
UU ASN (UU No 5/2014) juga telah dengan tegas menyebutkan bahwa pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota kepolisian dilaksanakan hanya pada instansi pusat.
Dalam praktiknya, di hadapan sederet aturan yang jelas melarang, pemerintah masih berusaha membenarkan penunjukan penjabat kepala daerah yang berasal dari personel aktif TNI-Polri. Alasan keamanan di daerah-daerah tertentu digunakan pemerintah untuk menjelaskan penunjukan itu, selain adanya Putusan MK No 15/PUU-XX/2022 yang ditafsir memperbolehkannya.
Tentu, dua alasan itu patah dengan sendirinya jika pemerintah membaca fakta dan putusan secara lebih berhati-hati. Faktanya, selama ini TNI-Polri selalu menjaga pertahanan dan keamanan di seluruh wilayah Indonesia tanpa harus mengepalai tiap-tiap daerah.
Faktanya, sebelum kekosongan jabatan kepala daerah terjadi hari ini dan setelah terlaksana pilkada serentak 2024 nanti, adalah kalangan sipil yang mengisi jabatan kepala daerah tersebut. Apakah artinya ancaman terhadap keamanan hanya berlangsung di masa transisi (2022-2024)?
Patahnya alasan penunjukan personel aktif TNI-Polri juga terlihat dalam cara pemerintah menafsir Putusan MK No 15/PUU-XX/2022. Satu kalimat kecil dalam putusan yang menyatakan seseorang dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah sepanjang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama ”dipelintir” sedemikian rupa sehingga seolah-olah membenarkan penunjukan personel aktif TNI-Polri.
Padahal, kalimat ini terletak dalam konteks penunjukan penjabat yang berasal dari kalangan non-PNS, persis setelah MK menjelaskan kualifikasi itu termasuk prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif (Pertimbangan Hukum Putusan MK No 15/PUU-XX/2022, butir 3.13.3, hlm. 51). Dengan kata lain, Putusan MK No 15/PUU-XX/2022 sepenuhnya sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang menghalangi penunjukan personel aktif TNI-Polri.
Menafsir putusan MK No 15/PUU-XX/2022 dengan cara sebaliknya seperti yang dilakukan pemerintah tentu saja janggal – untuk tidak menyebutnya sesat secara logika. Sebab, tidaklah mungkin pada saat yang sama peraturan perundang-undangan melarang penjabat kepala daerah ditunjuk dari personel aktif TNI-Polri, sementara putusan MK memperkenankannya tanpa menyatakan inkonstitusional/konstitusional bersyarat/inkonstitusional bersyarat peraturan perundang-undangan terkait.
Artinya, Putusan MK No 15/PUU-XX/2022 hanya mungkin dimaknai dalam bingkai yang sama dengan UU No 2/2002, UU No 34/2004, dan UU No 5/2014. Logika ini sama seperti menafsir hak pilih dan dipilih yang dimiliki setiap warga negara dan dijamin UUD NRI 1945, tetapi UU membatasinya bagi personel aktif TNI-Polri. Alih-alih melihatnya sebagai kontradiksi, keberlakuan dua ketentuan ini hanya dapat dipahami dalam logika pembingkaian yang saling melengkapi.
Sahel Muzzammil, Peneliti Transparency International Indonesia