Laporan investigasi selama dua hari itu kiranya lebih dari cukup bagi aparat untuk mengambil tindakan menghentikan praktik yang tidak bertanggung jawab itu.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Membaca liputan investigasi Kompas dua hari berturut-turut, Kamis-Jumat (23-24/6/2022), kita diliputi rasa prihatin di satu sisi, dan geram di sisi lain.
Selain merusak lingkungan, praktik perusakan hutan itu menimbulkan konsekuensi lebih luas, seperti terkait perubahan iklim. Liputan itu memperlihatkan pembalakan liar dan perambahan hutan konservasi di sejumlah wilayah Indonesia terus dibiarkan. Berkurangnya luasan hutan diamati terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera Barat dan Jambi; Cagar Alam Cycloop, Papua; serta Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, Jawa Barat.
Saat memperhatikan kayu yang ditinggalkan perambah di Sungai Batang Betung, Nagari Riak Danau, Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan, tidak ditemukan surat atau kode batang warna kuning yang menjadi penanda asal sehingga besar kemungkinan kayu itu ilegal. Dibantu aplikasi geographic information system (GIS), Kompas juga memuat foto lokasi rinci hutan yang rusak di wilayah tersebut.
Dari infografik yang dimuat terbaca pula faktor pemicu kerusakan di kawasan konservasi dan sekuens pemicu kerusakan lingkungan. Sudah lama kita ketahui, kawasan hutan di hulu yang kian menipis membuat air hujan langsung menyentuh tanah dan mengalir di permukaan, sebab ketiadaan pohon. Longsor dan erosi terakumulasi, selanjutnya banjir di hilir daerah aliran sungai. Longsor di lereng pegunungan, juga banjir pun kerap terjadi.
Dari wawancara dengan pembalak, terungkap mereka bekerja atas upahan cukong. Satu di antara cukong mengatakan, dirinya bisa menyiapkan 15-30 meter kubik kayu meranti hanya dalam sehari. Kayu itu dihargai Rp 2,3 juta per meter kubik.
Dari pernyataan pihak berwenang, tersirat ada masalah kerancuan antara kayu yang diolah oleh perusahaan pengolah yang memiliki izin dari pemerintah, yang hanya boleh mengolah kayu dari hutan produksi, dan adanya kayu yang berasal dari taman nasional. Terdengar pula nuansa kegamangan saat mendengar penjelasan lain yang mengatakan akan kontraproduktif kalau perambahan diturunkan, tetapi masyarakat mengalami kesulitan ekonomi.
Dalam edisi Jumat (24/6) kita membaca, pembalak yang menggunduli hutan di wilayah perbukitan sebelah utara jalan raya penghubung Pesisir Selatan dan Kerinci. Semula perambah membabat habis kayu di hutan, lalu setelah kayu besar habis, perambah menjual hutan yang gundul kepada warga, yang menjadikannya areal pertanian dan kebun. Proses jual beli ini dinilai melanggengkan perambahan hutan.
Laporan investigasi selama dua hari itu kiranya lebih dari cukup bagi aparat untuk mengambil tindakan menghentikan praktik yang tidak bertanggung jawab itu. Pertimbangan pragmatis untuk menyelesaikan kesulitan ekonomi, serta tindakan praktis untuk membuka permukiman dan perkebunan baru, kita pandang tidak setimpal dengan harga yang harus ditebus seiring dengan kerusakan lingkungan dan bencana ekologi, yang berpotensi terjadi jika hal itu berkelanjutan.