Demam 2024
Di Indonesia, pemilu seakan-akan menjadi pertarungan kekuatan ekstrem baik lawan ekstrem buruk. Disebut ”seakan-akan” karena kenyataan bisa sangat berbeda.

Ariel Heryanto
Pemilihan umum RI masih dua tahun lagi. Namun, sejak tahun lalu demamnya sudah marak. Gejala begini tidak baru. Juga tidak universal. Dari mana datangnya demam politik semacam itu? Sampai kapan berlanjut? Manfaatnya?
Semangat berpolitik dibutuhkan demokrasi asal tidak meluap jadi berlebihan hingga nyaris pecah perang saudara. Namun, tampaknya semangat politik bisa juga menjadi sumber kegembiraan bagi sebagian warga. Tidak ada kaitannya dengan demokrasi.
Panasnya suhu politik dua pemilu terdahulu (2014, 2019) berlanjut tahunan. Di sela-selanya ditambah panasnya pemilihan Gubernur DKI Jakarta (2017). Dalam semua peristiwa itu, yang paling bersemangat bukan elite politik yang berebut jabatan, melainkan pendukung fanatik mereka. Banyak persahabatan hancur. Kerukunan keluarga jadi retak.
Di sejumlah masyarakat lain, gejala itu muncul sesekali. Misalnya, apabila pemilu dianggap titik persimpangan yang menentukan dua corak masa depan bangsa yang sangat kontras. Contoh yang paling mutakhir Kolombia (19/6/2022). Sebelumnya pemilu Perancis (24/4/2022), Filipina (9/5/2022), dan Lebanon (15/5/2022).

Suasana rapat kerja yang dihadiri Menteri Dalam Negeri, Ketua Komisi Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/4/2022). Agenda rapat adalah pembahasan persiapan pemilu serentak tahun 2024. Selain itu, pertemuan ini adalah rapat kerja perdana anggota KPU dan Bawaslu terpilih periode 2022-2027.
Pemilu Australia (21/5/2022) berbeda. Hasilnya penuh kejutan, tetapi tak ada perang ujar kebencian atau huru-hara bentrok fisik antarpendukung partai. Saling olok terpusat di kalangan elite partai yang bersaing. Kehidupan publik sehari-hari berjalan biasa. Setelah berjaya dalam tiga pemilu sebelumnya, Partai Liberal menderita kekalahan terburuk dalam 70 tahun terakhir. Keutuhan masyarakat tak terusik.
Di Indonesia, pemilu seakan-akan menjadi pertarungan kekuatan ekstrem baik lawan ekstrem buruk. Disebut ”seakan-akan” karena kenyataan bisa sangat berbeda. Setelah terpilih sebagai Presiden RI dan wakilnya (2019), Joko Widodo-Ma’ruf Amin mengajak pesaing mereka, yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, bergabung dalam kabinet negara. Entah di mana lagi ada keajaiban semacam ini.
Betapa mubazir persaingan dan kebencian antar-pendukung mereka terdahulu yang sempat berbuntut huru-hara. Pihak yang kalah tidak menerima hasil pemilu. Kebencian antarkubu nyaris memecah keutuhan bangsa. Bukannya jera, gairah masyarakat umum tampaknya sudah terpacu menyambut Pemilu 2024.

Presiden Joko Widodo saat bertemu rival politiknya di Pemilu Presiden 2019, Prabowo Subianto, di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019).
Seakan-akan hasil pemilu tidak penting. Agaknya berjuang habis-habisan mendukung elite dari satu kubu melawan elite kubu lain sudah cukup memberikan kenikmatan tersendiri. Mungkin karena semangat, gairah, dan tenaga di negeri ini berlimpah ruah. Perlu disalurkan. Gejala itu sudah mencolok pada masa Orde Baru.
Semasa Orde Baru diadakan enam pemilu. Hasilnya selalu sama. Hasilnya selalu bisa ditebak jauh hari sebelum pemilu. Namun, rakyat tetap bersemangat. Bahkan, selama masa kampanye, mereka siap bentrok fisik. Jadi, semangat menggebu dalam pemilu bukan gejala sesaat. Sejarahnya panjang.
Menurut para sarjana ilmu politik, proses tercapainya kemerdekaan sebuah bangsa sangat berpengaruh pada kehidupan bangsa itu pada masa sesudahnya. ”Indonesia melalui jalan revolusi. Jalan kekerasan yang memorak-porandakan tata masyarakat lama,” tulis almarhum Herb Feith, profesor politik dan ahli kajian Indonesia di Monash University.
Tiga tahun setelah Herb menerbitkan bukunya, Indonesia dilanda banjir darah besar untuk ukuran dunia (1965-1966). Peristiwa itu mengawali alih kuasa dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Alih kuasa negara RI yang berikut (1998) juga disertai pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan besar-besaran. Tak ada pengadilan, apalagi keadilan atas kedua peristiwa itu.
Baca juga: Bukannya Lupa
Alih kuasa dari pemerintah kolonial Belanda ke Republik Indonesia (1949) juga melalui kekerasan luar biasa. Maka, terhitung sejak merdeka hingga 1998, di Indonesia belum pernah ada alih kuasa negara tanpa kekerasan besar-besaran. Korban utamanya jutaan rakyat jelata.
Namun, RI sudah mencatat sejarah baru. Sejak 1999, lima pemilu berlangsung dan menghasilkan alih kuasa kepresidenan. Semua itu berlangsung tanpa pertumpahan darah besar-besaran walau tidak semua pihak puas dengan hasil pemilu tadi. Ini capaian bersejarah RI yang layak disyukuri.
Bukan berarti warisan sejarah ”revolusi” sudah pudar. Kekerasan revolusi diromantisasi oleh elite politik dan warga kelas menengah. Teriakan ”merdeka” dengan kepalan tinju diangkat ke udara sebagai salam pembuka dan penutup pidato.
Bertahun-tahun setelah RI merdeka, sejumlah pihak berseru ”revolusi belum selesai”. Yang dimaksud bukan kekerasan fisik perang revolusi 1945, melainkan perombakan sosial menuju masyarakat adil makmur. Masalahnya, ujaran mereka penuh istilah kekerasan. Mirip ujaran pasukan tempur di medan perang.

Deklarasi Kampanye Berintegritas Pemilu 2014 yang diikuti pimpinan partai politik peserta Pemilu 2014 di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Sabtu (15/3/2014). Kampanye pemilu legislatif berlangsung dari 16 Maret-5 April 2014.
Ketika berkuasa, Orde Baru melakukan depolitisasi bahasa. Berbagai istilah yang galak, revolusioner dan kerakyatan, ditabukan. Sebagian diganti dengan istilah-istilah baru yang lebih priyayi atau teknokratis. Yang dijadikan slogan baru adalah ”aman dan tertib”.
Ironisnya, kekerasan menjadi normal bukan dalam bentuk ujaran, melainkan praktik sehari-hari. Aparat bersenjata negara dan praktik kekerasan swasta dianak-emaskan. Militer diberi kursi gratis di parlemen. Mereka juga bebas mengatur kehidupan sipil dengan dalih ”dwifungsi ABRI”. Berbagai organisasi para-militer dan milisia dibina aparat negara.
Simbol dan watak keprajuritan, maskulinitas, dan premanisme diromantisasi tidak sebatas poster dan pawai resmi nasional seperti 17 Agustusan. Juga dalam budaya pop. Tokoh preman menjadi protagonis dalam komik dan sinetron di televisi. Baju loreng dipakai peragawati selain para jagoan pria.
Baca juga: Nyai Ontosoroh
Bahkan, sebagian aktivis antipemerintah tertular seksisme dengan sosok hiper-maskulin tandingan. Mereka mengirimkan kutang, lipstik, atau ayam betina kepada pejabat pria yang dikritik. Tidak aneh jika gairah dan popularitas ”jihad” melonjak tajam setelah AS diserang 9/11 dan pecahnya Perang Teluk.
Pemilu 2024 masih dua tahun lagi. Mengapa demamnya sudah marak? Apakah diduga akan terjadi perombakan radikal masa depan RI? Atau demam ini memberikan kenikmatan maskulin tersendiri, tak peduli apa hasil pemilu nanti? Atau arwah revolusi abad lalu masih gentayangan?
Ariel Heryanto, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia