Ulang Tahun ”Kompas”
Dominannya teknologi komunikasi berjaringan internet, perubahan periodik cohort generasi pembaca, serta berbagai implikasinya menjadi tantangan bagi media arus utama, termasuk Kompas. Tidak sedikit yang berhenti terbit.

Kompas edisi Minggu (6/2/2022) Arsip Kompas
Tanggal 28 Juni 2022, Kompas berusia 57 tahun. Ini artinya Kompas menjadi salah satu surat kabar nasional terlama di Indonesia yang masih rutin menemui pembacanya.
Dominannya teknologi komunikasi berjaringan internet, perubahan periodik kohort generasi pembaca, serta berbagai implikasinya menjadi tantangan bagi media arus utama, termasuk Kompas. Tidak sedikit yang memudar, dan akhirnya berhenti terbit.
Yang mampu bertahan dituntut beradaptasi dengan berbagai langkah cerdas terkait teknologi media, serta mengakomodasi kebutuhan, kebiasaan, dan selera pembaca yang berubah tiap generasi. Menurut saya, sejauh ini Kompas mampu mengantisipasi secara proporsional.
Sebagai salah seorang pembaca lama (sejak Oktober 1965), saya mengikuti ”pasang surut” dan berbagai perubahan Kompas (edisi cetak) dari waktu ke waktu. Di antaranya penampilan fisik, jumlah halaman, konten, perubahan rubrik, format, dan sebagainya.
Harus dipahami bahwa sebagai media massa, yang menjadi pertimbangan tentulah pembaca umum. Dari masa ke masa ada kelompok pembaca terbesar yang membentuk khalayak media. Namun, juga perlu memperhatikan pembaca lama, pembaca setia. Perlu siasat jitu bagaimana ”tanggap terhadap yang baru, menatap ke depan, sambil merawat yang lama”.
Di lain pihak, kita memaklumi bahwa setiap pilihan menyongsong perubahan, juga mengandung trade-off tertentu, ”ada yang diraih, ada yang dilepas”.
Dalam pengamatan saya, yang konsisten dari surat kabar ini adalah gaya penulisan serta kualitas isi yang menjaga kredibilitas. Naiknya harga eceran dan langganan bulanan Kompas di awal tahun ini, yang memang tak terhindarkan, tampaknya tidak menyurutkan kepercayaan dan sense of belonging kami para pembaca setia.
Apalagi Kompas berjanji akan konsisten menyajikan konten bermutu dalam format yang kreatif sesuai kaidah jurnalistik profesional, bernuansa kemanusiaan, selaras dengan visi ”Amanat Hati Nurani Rakyat”.
Di era melimpahnya informasi yang banyak mudaratnya saat ini, kehadiran Kompas memungkinkan khalayak memiliki pilihan media yang mencerdaskan dan mencerahkan. Semoga tetap demikian.
Eduard LukmanJl Warga, RT 014 RW 003, Pejaten Barat, Jakarta 12510
Jurnalisme Makna

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan, perang di Ukraina akan berakhir, dengan kemenangan Ukraina. Pernyataan ini dilontarkan Zelenskyy dalam acara wawancara dengan Fox News, Jumat (1/4/2022).
”... jurnalisme makna yang dikemukakan Pak Jakob saat menerima gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari Universitas Gadjah Mada, 13 April 2001, adalah peran wartawan dalam memperkaya dan memberi penafsiran atas satu berita, tanpa mengubah fakta yang diperoleh di lapangan.” (Ninok Leksono, Yuk, Simak Pak Jakob Berujar, 2016)
Kompas mengirim dua jurnalisnya, Harry Susilo dan Kris Razianto Mada, meliput langsung perang Ukraina-Rusia. Mengikuti dan membaca hasil liputan mereka yang dimuat di halaman 1 Kompas sejak Senin (6/6/2022) tampak bagaimana keberpihakan Kompas terhadap kemanusiaan.
Saya merinding membaca liputan berjudul ”Perang Lahirkan Banyak Pembatasan, Penting untuk Tetap Jaga Kewarasan” Jumat (10/6/2022). Merinding membayangkan teror yang dialami warga kota Kyiv, ibu kota Ukraina.
”... tiba-tiba semua langsung sepi saat jam malam mulai berlaku pukul 23.00 hingga pukul 05.00. Sejak itu, hanya terdengar lolongan anjing.”
Saya juga iba membaca edisi Jumat (17/6/2022) yang berjudul ”Etha Tidur Bersama Senjata”. Tentang perempuan bernama Etha Hutajulu (52) yang bersama suaminya, Viktor Sklifas (62), memilih untuk tetap tinggal di Vynohradar, 10 kilometer dari kota Kyiv.
Liputan ini bagai candu. Setiap pagi, yang pertama saya baca ”Liputan Khusus Perang Ukraina-Rusia”. Setiap paragraf terasa menyentuh sisi kemanusiaan saya. Kompas, melalui Bung Harry dan Bung Kris, berhasil mengejawantahkan jurnalisme makna.
Hock Ferdy WindahPerum Wahid Regency, Ledok, Argomulyo, Salatiga
”Kompas”, Kok, Begini?

Warga mengakses laman Kompas.id yang merupakan salah satu portal berita berbayar yang ada di Indonesia, Rabu (7/8/2019).
Ikut gembira dengan HUT Kompas meski saya terpaksa mencurahkan kekecewaan pada koran tercinta ini.
Akhir-akhir ini Kompas semakin tega menyisihkan halamannya untuk diisi iklan. Saya iseng-iseng mengamati minggu terakhir Mei 2022.
Pada 23 Mei, halaman 3 diisi iklan BUMN 5 kolom; halaman 5 iklan penuh bank OCBC NISP, halaman 7 iklan Superindo 1/4 halaman, halaman 8-9 dan 11 diisi laporan keuangan Avrist Assurance, dan halaman 12 iklan Klasika.
Pada 24 Mei halaman 3 separuh isi iklan Mitra alat bangunan; halaman 5 iklan penuh OCBC lagi; halaman 8-9 iklan Manulife; halaman 16 separuh laporan keuangan PLN.
Pada 25 Mei halaman 5 iklan layanan tentang Covid, halaman 7 iklan kacamata Rona; halaman 8-9 penuh iklan Nyala OCBC NISP; hlm 12 separuh workshop Kompas; hlm 16 separuh isi iklan Mitra.
Pada 27 Mei halaman 2 ada iklan BNI; hlm 3 separuh iklan Indomaret; masih ada lagi di hlm 5 iklan Superindo; hlm 8-9 iklan produk rumah tangga dari Hypermart; hlm 13 iklan undangan kualifikasi pengadaan PT TLB.
Pada 28 Mei halaman 9 ada iklan kursus Kompas.
Pada 29 Mei, halaman 3 ada laporan keuangan PT Sompo Insurance.
Pada 30 Mei halaman 3 separuh berisi laporan keuangan BI, halaman 5 iklan Toyota dan iklan layanan masyarakat tentang Covid; halaman 8 dan 9 penuh oleh laporan keuangan Allianz; halaman 13 laporan keuangan bank Mandiri.
Pada 31 Mei halaman 1 advertorial BIN; halaman 3 hasil rapat Dewan Gubernur BI.
Saya mungkin mewakili pembaca setia yang mengharapkan informasi dan artikel opini yang bernas. Saya tidak menafikan keperluan Kompas mendapat untung dari iklan, tetapi mohon jangan mengorbankan pembaca.
Renville AlmatsierJl KH Dewantara, Ciputat, Tangerang Selatan 15411
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas kesetiaan Anda membaca Kompas. Media membutuhkan iklan untuk membiayai sebagian besar produksinya. Kami berupaya tetap menyajikan tulisan baik dan bermutu untuk para pembaca.
Selamat ”Kompas”

Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra (kanan) berfoto bersama Ketua Dewan Pers periode 2019-2022 M Nuh usai menyerahkan perangkat tab dengan akses Kompas.id seumur hidup di Kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Rabu (20/4/2021). Selain M Nuh, sejumlah sahabat Kompas lainnya juga menerima perangkat tersebut.
Sejak era digital dan disusul pandemi Covid-19, media cetak tampaknya semakin ditinggalkan pembaca milenial.
Pangsa pembaca industri pers sudah dipetakan, tetapi kehadiran media digital menjadi sumber disrupsi. Dunia usaha berhitung cermat dengan media konvensional.
Akibatnya, iklan surut di media cetak, pendapatan turun, tetapi biaya operasional tetap. Turunnya oplah berdampak bagi agen, loper, dan pembeli eceran.
Pelaku industri media cetak dilematis. Kalau menyatakan pailit terjadi pengangguran, terputusnya rantai ekonomi, pertaruhan kredibilitas pemilik dan redaksi. Dampak paling berat adalah terkuburnya idealisme yang dibangun melalui pergulatan intelektual.
Beberapa media cetak survive melalui inovasi demi kepentingan internal dan eksternal. Internal meliputi idealisme, reputasi, dan sosial. Eksternal berpihak kepada pembaca, pemangku kepentingan, birokrat.
Dengan win-win solution media cetak terbit konsisten, tetapi mengurangi halaman untuk meminimalkan biaya produksi. Pengurangan halaman mengurangi rubrik.
Terobosan berikutnya terbit versi digital, platform ini bisa diakses kapan pun, di mana pun, hemat tempat, tidak ada tumpukan berkas.
Korban akibat pengurangan halaman adalah pembaca, unsur penting media cetak. Beberapa rubrik menjadi primadona, bahkan ada pembaca kecanduan rubrik tertentu.
Penghilangan rubrik tentu mengecewakan pembaca, tetapi sudah dipertimbangkan oleh redaksi berdasarkan riset. Namun, cara pandang pembaca dan redaksi kadang berbeda. Misal, rubrik seni budaya dianggap tidak produktif, sebaliknya bagi pembaca merupakan penawar dahaga di tengah ingar-bingar politik dan hukum.
Khusus Kompas, rubrik yang hilang di antaranya Lembar Daerah Jatim, Jateng, Jabar, Lembar Anak Minggu, Bentara, Teroka, Swara, Pustakaloka, Puisi, Arsip, Kliping.
Namun, Kompas juga menghadirkan rubrik baru misalnya Nusantara Bertutur dan Jendela secara digital.
Selamat ulang tahun. Tetaplah menjadi sumber inspirasi.
Yes SugimoJl Melati Raya, Melatiwangi Cilengkrang Bandung