Dukungan politik tak harus menjadi kokangan permusuhan bagi lawan politik. Jika fantagonisme politik dapat ditransformasikan jadi kekuatan kontrol yang efektif, Pemilu 2024 akan menghasilkan kontestasi cerdas politik.
Oleh
ARIF SUSANTO
·4 menit baca
Bersama penjajakan koalisi kekuatan-kekuatan politik nasional menghadapi Pemilu 2024, sebagian elite menggemakan penolakan terhadap politik kebencian berbasis identitas. Problem kebencian politik berakar, antara lain, dari penciptaan basis pemilih serupa penggemar fanatik, yang anti-kritik dan memusuhi kompetitor.
Transformasi fantagonisme (fantagonism), yang membutuhkan suntikan etis tanpa mengenyahkan aspek emosional dari dukungan politik, berpeluang untuk menguatkan demokrasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dukungan politik memang menentukan kemenangan dalam suatu kontestasi elektoral, dan dalam banyak kasus dukungan tersebut tidak bersih dari kecenderungan emosional. Kesukaan atau ketidaksukaan, yang kemudian diekspresikan dalam perilaku pemilih, merupakan hasil evaluasi atas obyek tertentu politik. Selain bertumpu kognisi, penilaian tersebut juga melibatkan afeksi dalam diri.
Kendati demokrasi datang dengan gagasan tentang permusyawaratan rakyat, dorongan partisipasi tidak semata bertolak dari pertimbangan-pertimbangan rasional. Kajian Achen dan Bartels (2016) menegaskan bahwa loyalitas kelompok dan sikap partisan, alih-alih preferensi kebijakan dan ideologi, menjadi hal mendasar dalam politik elektoral. Pemihakan ini menentukan pilihan politik.
Menyadari hal tersebut, banyak politikus memanfaatkan sentimen identitas demi menghasilkan dukungan meluas pemilih. Orientasi kepada kemenangan yang bertemu parokialisme mengubah sentimen identitas menjadi politik kebencian, yang meletakkan yang berbeda sebagai musuh. Minim deliberasi, kampanye elektoral menciptakan basis pemilih serupa kumpulan penggemar fanatik.
Bukan kebetulan bahwa kata fan (Eng), yang berarti penggemar, berakar dari kata fanatic. Apa yang mulanya merujuk penganut kolot dan ekstrem agama tersebut digunakan sejak abad ke-17 untuk menunjuk para penggila olahraga atau seni pertunjukan. Antusiasme dan kesukaan berlebih para fan dapat membuat mereka anti-kritik dan membenci siapa pun yang dipersepsi sebagai kompetitor.
Tidak ada yang salah dengan kompetisi, sebab politik demokratis tidak mungkin dioperasikan tanpa kawan ataupun lawan. Oposisi juga menjadi suatu kebutuhan perimbangan sekaligus kontrol politik. Namun, problem dengan para fanatik adalah bahwa mereka mengembangkan posisi dan identitas eksklusif berhadap-hadapan dengan musuh. Di sini, yang berbeda adalah yang harus disingkirkan.
Tidak ada yang salah dengan kompetisi, sebab politik demokratis tidak mungkin dioperasikan tanpa kawan ataupun lawan.
Gejala fandom dalam politik diperparah oleh produksi citra politik, yang mengutamakan ketokohan personal. Banyak tokoh politik digambarkan sebagai representasi paling sahih kelompok sendiri dan berperan seolah juru selamat dari ancaman berkelanjutan kelompok berbeda. Fantagonisme lantas memperhadapkan secara diametrikal para penggemar fanatik dalam suatu permusuhan politik.
Dengan fantagonisme, energi untuk memenangi kompetisi berasal dari amarah dan kebencian penggemar, bukan kontestasi gagasan. Mengedepankan prinsip ‘semua atau tidak sama sekali’, fantagonisme melihat kemenangan sebagai jalan tunggal keselamatan. Akibatnya, toleransi terhadap perbedaan menjadi menyempit dan tindakan cenderung dikendalikan oleh semangat permusuhan.
Transformasi keterlibatan
Ketika Donald Trump memenangi Pemilu Amerika Serikat 2016, banyak pendukung Hillary Clinton meratapi kenyataan yang berlawanan dengan harapan mereka tersebut. Sebagian loyalis Clinton kemudian membentuk himpunan-himpunan warga untuk dapat memberi imbangan bagi kebijakan pemerintahan Trump. Model aktivisme serupa inilah yang kemudian disebut fan-based citizenship.
Ashley Hinck (2019) menyebut bahwa fan-based citizenship itu dimungkinkan oleh suatu dunia cair yang membebaskan individu-individu untuk memilih lembaga tertentu sebagai rujukan keanggotaan, identitas, dan nilai mereka. Kenyataannya, partisipasi politik dapat disalurkan bukan hanya melalui partai, dan kegemaran yang sama dapat mengikat orang serta menggerakkan tindakan mereka.
Partisipasi politik dapat disalurkan bukan hanya melalui partai, dan kegemaran yang sama dapat mengikat orang serta menggerakkan tindakan mereka.
Bayangkan, misalnya, pendukung beberapa klub dapat bersatu menuntut agar pemerintah menyokong pemajuan sepak bola, atau penggemar suatu serial televisi dapat terikat oleh nilai kesetaraan jender yang disuarakan seorang bintang drama. Manakala diorientasikan pada masalah-masalah lintas komunitas, fanatisisme dapat mengalami moderasi dan tidak memicu antagonisme.
Lebih lanjut, Hinck menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan suntikan kerangka dan modalitas etis agar aktivisme model baru ini berkontribusi sebagai kekuatan kontrol. Suntikan etis ini bukan hanya memberi acuan warga dalam melihat suatu obyek politik, tetapi juga membebankan kewajiban pemenuhan tuntutan etis dalam tindakan bersama. Ini mentransformasikan kelompok penggemar.
Di sini, kekaguman personal dan loyalitas dukungan tidak ditolak; tetapi, keduanya tidak lantas diproyeksikan untuk memusuhi yang berbeda. Demikian pula semangat kompetitif tidak digerus, melainkan didorong untuk lebih mengarah kepada pertarungan gagasan. Bersama penguatan kapasitas analisis, kemampuan untuk mengembangkan jaringan kiranya menggerakkan keterlibatan warga.
Pada saat bersamaan, politik identitas sendiri tidak selalu menjadi bagian lekat kebencian politik. Adalah wajar para politikus mendayagunakan sentimen identitas untuk menumbuhkan dukungan. Namun, dukungan itu tidak harus berubah menjadi kokangan permusuhan bagi lawan politik. Sebaliknya, fantagonisme politik dapat ditransformasikan menjadi kekuatan kontrol yang efektif.
Jika transformasi ini mampu dilakukan oleh para tokoh politik dan penggemar mereka, Pemilu 2024 akan menghasilkan suatu kontestasi cerdas politik. Tanpa melenyapkan sentimen identitas dan aspek emosional dari dukungan politik, kehadiran kontestasi gagasan akan menggairahkan kompetisi. Melampaui fantagonisme politik kiranya membawa demokrasi kita ke level berikutnya.