Dari TPP ke IPEF Vs RCEP
Sebagai kawasan ”Abad Ini”, Asia-Pasifik memang akan jadi fokus dalam kerangka geopolitik dan geo-ekonomi, khususnya bagi AS dan China. Konsistensi Indonesia sebagai negara nonblok berpeluang menjadi penyeimbang.
Setelah beberapa waktu ”adem ayem”, kawasan Asia-Pasifik kini kembali menggeliat. Diawali ketika Presiden Amerika Serikat Joe Biden memulai kunjungan pertamanya ke Asia dengan mengadakan KTT Quad (AS, Jepang, Korea Selatan, dan India) di Tokyo pada 24 Mei 2022.
Di Tokyo itu pula Biden meluncurkan gagasan barunya mengenai Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF). Gagasan baru ini didahului dengan KTT ASEAN-AS di Washington pada 14 Mei 2022, yang dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bukan kebetulan bahwa pada saat yang hampir bersamaan Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi melakukan kunjungan ke delapan negara di kepulauan Pasifik (Kepulauan Solomon, Fiji, Kiribati, Samoa, Tonga, Vanuatu, Papua Niugini, dan Timor Leste).
Dalam kunjungan keduanya ini—yang pertama pada Oktober 2021—Wang Yi juga melakukan pertemuan virtual dengan para menlu dari sepuluh negara Pasifik yang telah mengakui China (ketujuh negara di atas, kecuali Timor Leste, ditambah Kepulauan Cook, Niue, dan Federasi Mikronesia).
Sementara Tuvalu, Palau, Kepulauan Marshall, dan Nauru masih tetap mempertahankan hubungannya dengan Taiwan.
Baca juga:Blok Perdagangan Asia-Pasifik Jadi Front Baru Persaingan Sengit Taiwan-China
Nasib TPP
Sebelum IPEF, di Asia-Pasifik terdapat sejumlah forum ekonomi regional dan multilateral, termasuk yang melibatkan negara besar.
Kemitraan ekonomi strategis lintas Pasifik, misalnya, yang awalnya (2003) dikembangkan oleh Singapura, Chile, dan Selandia Baru, pada 2015 secara resmi menjadi Trans Pacific Partnership (TPP) dengan bergabungnya Brunei Darussalam, Australia, Peru, Vietnam, Kanada, Meksiko, Jepang, dan Malaysia serta Amerika Serikat (AS) yang bergabung 2016.
Indonesia pernah menyatakan minatnya untuk bergabung ke dalam TPP, seperti disampaikan Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Washington pada 26 Oktober 2015. Demikian pula Taiwan, Filipina, Kolombia, Thailand, Bangladesh, dan India.
Menurut The Economist (26/11/2016), TPP merupakan kesepakatan perdagangan bebas yang paling ambisius dalam beberapa dasawarsa terakhir karena mencakup sepertiga kekuatan ekonomi global dan sekitar 37 persen produk domestik bruto (PDB) dunia.
Tidak heran jika Presiden Barack Obama menjadikan TPP sebagai tonggak (cornerstone) kebijakan luar negerinya, dengan menyatakan ”… the TPP has the potential to be a model not only for the Asia Pacific but for future trade agreements” (id.usembassy.gov). Di lain pihak, banyak pengamat, di antaranya Jane Perlez, menyatakan bahwa kesepakatan perdagangan juga memiliki tujuan geopolitis, yaitu untuk mengurangi ketergantungan negara penanda tangan pada China dan membawa lebih dekat ke AS (NYT, 24/5/2016).
Pada Januari 2017, Presiden Donald Trump memutuskan negaranya keluar dari TPP dan menyebut perjanjian itu sebagai horrible deal. Sementara negara anggota lainnya tetap melanjutkan prinsip-prinsip TPP dengan memodifikasinya menjadi Comprehensive and Progressive Agreement for Trans Pacific Partnership, yang dikenal dengan TPP11.
Namun, sulit disangkal bahwa dengan keluarnya AS dapat dikatakan TPP sudah ”layu sebelum berkembang”.
Oleh karena itu, Earl Anthony Wayne dan Oliver Magnusson sampai menulis artikel ”The Death of TPP: The Best Thing That Ever Happened to China” dalam The National Interest (17/1/2017). Menurut keduanya, keputusan Trump akan melemahkan posisi strategis ekonomi AS di Asia Timur, dan ”… may effectively leave the field of action to China”.
Menurut Bank Dunia (wits.worldbank.org, 20/6/2022), antara tahun 2000 dan 2015, sebanyak 17 negara Pasifik (terutama Kanada, Jepang, dan Meksiko) telah meningkatkan impornya dari China dan mengurangi impornya dari AS.
Sementara dalam periode yang sama, defisit perdagangan AS dengan China telah meningkat dari 84 miliar dollar AS menjadi 367 miliar dollar AS. Oleh karena itu, Presiden Joe Biden datang dengan inisiatif baru mengingat, seperti dikatakan Wayne dan Magnusson, ”the strategic economic and geostrategic goals behind the TPP remain valid: to better integrate the United States in the quickly growing Asia-Pacific economy”.
Meskipun sama-sama merupakan forum ekonomi, IPEF memiliki perbedaan dengan TPP, terutama dalam cakupan kawasannya yang difokuskan pada Asia.
IPEF vs RCEP
Meskipun sama-sama merupakan forum ekonomi, IPEF memiliki perbedaan dengan TPP, terutama dalam cakupan kawasannya yang difokuskan pada Asia. Namun, seperti halnya TPP, IPEF diklaim mewakili 40 persen PDB dunia.
Sejauh ini 12 negara telah menyatakan bergabung, yaitu Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru, ditambah tujuh negara ASEAN: Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam (Kompas, 14/5/2022 dan 27/5/2022), sementara Laos, Kamboja, dan Myanmar tidak atau belum bergabung.
Dikatakan bahwa upaya mengatasi inflasi merupakan prioritas utama kerangka kerja sama ekonomi ini, dalam upaya menurunkan biaya dengan cara memperkuat rantai pasok lebih berdaya tahan (resilient). Dalam jangka panjang hal ini diperkirakan akan dapat melindungi terjadinya costly disruption dengan naiknya harga bagi konsumen.
Bagi AS, perdagangan dengan Asia-Pasifik membuka lapangan kerja bagi 3 juta warganya dan menjadi sumber dari 900 miliar dollar AS investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI) di negaranya. Dengan 60 persen penduduk dunia bermukim di kawasan ini, IPEF diproyeksikan menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan dunia dalam 30 tahun mendatang.
Berbeda dengan TPP, pembentukan IPEF sepenuhnya merupakan inisiatif AS dan, sulit dimungkiri, dilakukan untuk menjawab inisiatif ekonomi China dalam mengembangkan pengaruhnya di kawasan.
Pada 2013, China telah mengesahkan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI)—sebelumnya Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road/OBOR) yang menjadi pedoman kebijakan luar negeri Presiden Xi Jinping.
Implementasinya, misalnya, China telah membentuk Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan modal 100 miliar dollar AS, setara dengan dua pertiga modal Bank Pembangunan Asia (ADB), di mana AS merupakan kontributor utama, untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur.
AS memutuskan tidak ikut dalam AIIB meski di antara 57 negara anggotanya terdapat sejumlah sekutu utama negara ”Paman Sam”, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman.
Selain itu, bersama negara-negara ASEAN, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru, China juga membentuk kesepakatan perdagangan bebas terpisah yang dikenal sebagai Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Dalam RCEP, China dapat dikatakan merupakan leading force dalam negosiasinya meski dalam ide awalnya ASEAN+1 (China), Indonesia salah satu inisiator.
Seperti IPEF, potensi RCEP mencakup lebih dari 3 miliar penduduk dunia dengan 40 persen perdagangan global.
Pembentukan OBOR/BRI, bank kawasan (AIIB), dan RCEP jelas merupakan tantangan terhadap status quo pengaruh ekonomi AS di Asia-Pasifik. Tanpa pendekatan/inisiatif baru yang memiliki dampak strategis, AS akan tertinggal dan hanya memiliki lebih sedikit sarana ekonomi untuk membangun pasar dam kemitraan, sementara China sudah mengembangkan jaringannya. Inisiatif IPEF dinilai akan dapat memperbaiki keadaan itu.
Sebagai kawasan ”Abad Ini ”, Asia-Pasifik memang akan jadi fokus dalam kerangka geopolitik dan geoekonomi, khususnya bagi AS dan China.
”Kendaraan baru”
Ekonom Inggris David Ricardo dalam buku Principles of Political Economy and Taxation (1817) menyatakan, hukum keunggulan komparatif (comparative advantage) merupakan kemampuan suatu negara untuk memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang lebih rendah daripada negara lain.
Keunggulan komparatif memiliki karakteristik globalisasi bahwa keterbukaan (openness) dan kerja sama dalam perdagangan bebas dunia akan membawa manfaat serta akan meningkatkan standar hidup semua negara.
Sementara itu, Pemimpin China Deng Xiaoping (1970-1990-an) yang memelopori sosialisme dan ekonomi pasar dengan karakteristik China mengatakan, ”Tidak peduli apakah kucing putih atau kucing hitam, selama bisa menangkap tikus, itu artinya kucing baik”.
Sebagai kawasan ”Abad Ini”, Asia-Pasifik memang akan jadi fokus dalam kerangka geopolitik dan geoekonomi, khususnya bagi AS dan China. Seperti dikatakan Bob Moritz, Global Chairman PwC Network, dalam laporan ”Asia Pacific’s Time: We Must Act Now” (2020), ”The potential of the Asia Pacific region to positively impact the rest of the world is immense. The region can deliver sustainable and inclusive growth by working closely with local, regional, and global stakeholders.”
Dalam hal ini AS tampaknya menyadari telah kehilangan keunggulan komparatif dagangnya terhadap China.
Bagi negara-negara inisiator dan anggota, baik IPEF maupun RCEP dapat menjadi kendaraan untuk mencapai tujuannya (baca: kepentingan nasional). Uniknya, dalam IPEF ataupun RCEP terdapat negara-negara sekutu AS, seperti Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Korea Selatan.
Sementara itu, tak semua negara ASEAN ”diundang” masuk dalam IPEF, seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar, yang notabene dekat dengan China. Keberadaan India dan Indonesia, yang merupakan pendiri Gerakan Nonblok (GNB), juga menambah keunikan, apalagi India yang juga merupakan anggota pakta keamanan QUAD (bentukan AS) dan Shanghai Cooperation Organization (SCO) bentukan China dan Rusia.
Sebagai negara yang hingga kini tetap konsisten memegang prinsip nonblok dan mengedepankan kemitraan inklusif, Indonesia sangat berpeluang menjadi penyeimbang (balancer) sekaligus penggerak (prime mover), baik dalam IPEF maupun RCEP. Namun, tetap diperlukan kehati-hatian dalam ”berkendara” menempuh medan globalisasi dan pasar bebas agar tidak terbawa ke tujuan yang tidak dikehendaki.
Dian WirengjuritAnalis Geopolitik dan Hubungan Internasional