Paradoks Masyarakat Digital
Di satu sisi ada banyak janji mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan bagi masyarakat di era digital. Di sisi lain perkembangan masyarakat digital melahirkan berbagai masalah sosial yang makin meresahkan.
Paradoks, inkonsistensi, atau polaritas pada dasarnya adalah istilah untuk menggambarkan situasi yang bertentangan, sesuatu yang acap kali disebut sebagai ironi.
Yang dimaksud dengan paradoks perkembangan masyarakat digital adalah situasi yang sifatnya ambivalen, bahkan kontradiktif, ketika masyarakat memasuki era digitalisasi dan penggunaan internet yang semakin masif.
Di satu sisi, perkembangan masyarakat digital sangat diharapkan karena menawarkan banyak janji sebagai pintu masuk untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan bagi masyarakat di era digital. Namun, di sisi lain, perkembangan teknologi informasi (TI) dan pemanfaatan internet yang begitu masif ternyata juga melahirkan berbagai masalah sosial yang makin meresahkan.
Alih-alih melahirkan kehidupan sosial masyarakat yang makin sejahtera, adil, dan demokratis, efek samping dari perkembangan masyarakat digital dan TI justru menyebabkan terjadinya kesenjangan digital, merebaknya hoaks dan ujaran kebencian, cyberporn, dan bahkan tidak jarang pula menyebabkan terjadinya dehumanisasi sosial.
Christian Fuchs (2019) menyatakan, di era masyarakat post-modern seperti saat ini, kehadiran teknologi digital di banyak negara memang telah mentransformasikan dunia, menawarkan bentuk komunitas baru, mendorong perkembangan kultur partisipasi warganet yang lebih aktif dan kreatif, aktivitas berjejaring, dan sekaligus persemaian demokrasi.
Saat ini, masyarakat seolah dihadapkan pada berbagai dilema.
Meski demikian, yang terjadi ternyata tak selalu seperti yang dijanjikan. Kehadiran teknologi digital berikut seluruh pranata sosial yang mengikutinya justru memperparah kedalaman dan perluasan dominasi melalui bentuk-bentuk kontrol yang baru—yang kerap tak disadari masyarakat. Menstimulasi terjadinya dehumanisasi digital, munculnya buruh-buruh digital tak berbayar (free digital labour), dan pengawasan masyarakat yang jauh dari esensi kultur partisipasi masyarakat sebagaimana yang dijanjikan.
Paradoks
Saat ini, masyarakat seolah dihadapkan pada berbagai dilema. Kerisauan terhadap efek samping perkembangan TI dan internet tidak hanya membuat gamang, tetapi juga ketakutan: jangan-jangan kita akan mengalami masa seperti digambarkan dalam film Hollywood, Terminator, di mana kecerdasan buatan (artificial intelligence) makin merajalela dan robot berkembang liar tanpa bisa dikendalikan. Mereka lebih berkuasa dari manusia, menyerang, bahkan membunuh manusia.
Baca Juga: Mewaspadai Efek Samping Transformasi Digital
Meski kehadiran TI tak membunuh secara harfiah, di balik berbagai kemudahan yang ditawarkan sesungguhnya terdapat sejumlah ancaman: membunuh kemanusiaan, sekadar menawarkan ilusi, dan hanya menebar fantasi tentang kebebasan semu. Daniel Bell (1977), yang disebut-sebut sebagai ahli sosiologi pertama yang mengkaji dampak sosial dari perkembangan media komunikasi digital, jauh-jauh hari telah mengungkapkan berbagai problem yang timbul akibat perkembangan TI.
Menurut Bell (1977), ada dua indikasi utama perkembangan masyarakat pascaindustri, yakni penemuan miniatur sirkuit elektronik dan optikal yang mampu mempercepat arus informasi melalui jaringan, serta integrasi dari proses komputer dan telekomunikasi ke dalam teknologi terpadu yang disebut dengan istilah kompunikasi. Bagi masyarakat yang tak siap dan gagap memanfaatkan perkembangan TI yang begitu cepat, tentu ada risiko yang harus ditanggung.
Manuel Castells (1996; 2000) menyatakan, komputer dan aliran informasi telah mengubah dunia dan menimbulkan berbagai masalah sosial-ekonomi serta budaya yang banyak mewarnai perkembangan masyarakat modern kontemporer atau masyarakat post-industrial. Menurut Castells, saat ini dunia sedang memasuki zaman informasi di mana berbagai kemajuan teknologi informasi digital telah menyediakan dasar materi bagi perluasan pervasif dari apa yang ia sebut ”bentuk jejaring dari organisasi” dalam setiap struktur sosial.
Integrasi internet ke dalam dunia kehidupan telah menciptakan bentuk baru identitas sosial dan ketidaksetaraan di masyarakat, menjadikan kekuasaan bagian dari arus desentralisasi, sekaligus melahirkan bentuk-bentuk baru organisasi sosial yang bertumpu pada kekuatan informasi. Siapa yang menguasai informasi, dialah yang berkuasa.
Era revolusi informasi, selain ditandai dengan perkembangan TI yang luar bisa canggih, juga muncul apa yang disebut para ahli sebagai kebudayaan virtual riil, yaitu satu sistem sosialnbudaya baru di mana realitas itu sendiri sepenuhnya tercakup: masuk dalam setting citra maya. Sebuah dunia fantasi yang di dalamnya tampilan tak hanya ada di layar tempat dikomunikasikannya pengalaman, tetapi mereka telah menjadi pengalaman itu sendiri (Ritzer & Goodman, 2008).
Masyarakat yang semula berinteraksi dalam ruang yang nyata dan bertatap muka dengan kehadiran internet kini bisa berinteraksi dengan siapa pun secara daring, tanpa dibatasi nilai dan norma. Karena itu, bagi kalangan masyarakat yang mengembangkan hubungan dalam jejaring komputer, tak pelak mereka pun tumbuh dengan subkulturnya yang khas, yang jauh berbeda dengan masyarakat konvensional.
Siapa yang menguasai informasi, dialah yang berkuasa.
Di era masyarakat pascaindustri, realitas sosial boleh dibilang telah mati, untuk kemudian diambil alih oleh realitas-realitas yang bersifat virtual, yakni realitas cyberspace, juga metaverse. Dunia baru yang dimediasi oleh kehadiran TI yang makin maju dan supercanggih telah melahirkan hal-hal yang serba virtual; kebudayaan virtual dan komunitas virtual (virtual community).
Seperti dikatakan Piliang (2004), di era revolusi informasi, masyarakat memang masih berinteraksi satu dengan yang lain, tetapi kini tak lagi dalam komunitas yang nyata, tetapi di dalam komunitas virtual. Internet sebagai satu bentuk jaringan komunikasi dan informasi global telah menawarkan bentuk-bentuk komunitasnya sendiri (virtual community), bentuk realitasnya sendiri (virtual reality), dan bentuk ruangnya sendiri (cyberspace) yang khas.
Masyarakat yang mampu beradaptasi dan memanfaatkan TI dengan baik kebanyakan akan survive dan bahkan berkembang lebih baik. Sebaliknya, mereka yang tak mampu membeli dan tak memiliki TI serta tak bisa mengakses informasi di dunia maya dengan baik niscaya berisiko terancam kian tersisih dan mengalami proses marginalisasi.
Baca Juga:Mewaspadai Tindak Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik
Tak sedikit masyarakat yang tak mampu mengakses informasi dan tak mampu memanfaatkan gawai kemudian masuk dalam pusaran kemiskinan yang makin kronis. Inilah paradoks perkembangan masyarakat digital yang mengharuskan kita perlu berhati-hati menyikapi kehadiran TI dan internet.
Efek samping
Secara garis besar, situasi paradoksal dan efek samping yang terjadi akibat perkembangan masyarakat digital yang makin meluas adalah munculnya perubahan yang dahsyat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, seperti di bidang ekonomi, sosial budaya, dan politik.
Pertama, di bidang ekonomi, meluasnya penggunaan TI dan internet melahirkan dampak yang ambivalen. Bagi pelaku ekonomi yang sudah mapan dan tak kesulitan menanamkan investasi perangkat elektronik, kesempatan yang ditawarkan ekonomi digital jelas sangat menguntungkan. Seperti dikatakan Christian Fuchs (2014), dalam bukunya Digital Labour and Karl Marx, dominasi kapitalis tak akan terhenti meski zaman sudah berubah ke era digital. Dengan keahlian dan dukungan modal besar yang dimiliki, kapitalis akan mampu mempertahankan, bahkan terus berekspansi merebut ceruk-ceruk pasar baru. Selama pandemi Covid-19, pelaku ekonomi berskala raksasa rata-rata makin meningkat penguasaan pasarnya.
Perkembangan economy sharing yang disebut-sebut menjadi jembatan bagi pelaku UMKM untuk memperluas pangsa pasar ternyata tak selalu menjanjikan. Jadi, pemasok produk UMKM ke situs-situs penjual produk daring memang sepintas tampak menguntungkan, tetapi apakah pembagian margin keuntungan antara pelaku UMKM dan kekuatan kapitalis pelaku ekonomi digital adil?
Memang, melalui e-commerce dan ekonomi digital, perekonomian Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi baru dunia pada tahun-tahun mendatang. Dari data analisis Ernst & Young, dilaporkan pertumbuhan nilai penjualan bisnis daring di Tanah Air setiap tahun meningkat 40 persen. Survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2022 melaporkan pengguna internet di Indonesia terus naik dari 175 juta menjadi 220 juta. Jelas mereka pangsa pasar yang sangat menjanjikan.
Masalahnya, sejauh mana para pelaku ekonomi berskala kecil yang gagap memanfaatkan TI mampu masuk dan bersaing dalam sistem perekonomian kapitalistis yang sangat kompetitif dan rigid? Kasus di banyak daerah membuktikan, pelaku usaha kecil dan menengah umumnya mengalami marginalisasi dan kalah bersaing dari pelaku ekonomi yang lebih mapan, yang sudah familiar menggunakan TI dan internet.
Masalahnya, sejauh mana para pelaku ekonomi berskala kecil yang gagap memanfaatkan TI mampu masuk dan bersaing dalam sistem perekonomian kapitalistis yang sangat kompetitif dan rigid?
Kedua, di bidang sosial, penggunaan TI yang makin pervasif dan akses internet yang makin mudah, selain menawarkan kemudahan, juga berisiko melahirkan berbagai dampak sosial yang tak diinginkan. Studi ESPAT (End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purpose, 2020) menemukan, mengakses internet saat pembelajaran jarak jauh ternyata membuka ruang bagi terjadinya tindak kejahatan seksual yang mengancam keselamatan anak-anak. Dari 1.203 anak dari 13 provinsi yang diwawancarai secara daring pada masa pandemi, 287 anak mendapatkan pengalaman buruk ketika berselancar di dunia maya: menerima pesan tak senonoh, gambar/video pornografi, dan ajakan membicarakan hal-hal yang membuat anak tidak nyaman.
Chaterine Chak (2003) menemukan, penggunaan internet di kalangan remaja cenderung berisiko tinggi. Selain untuk bermain game, remaja biasanya menelusur informasi dan chatting. Bahkan, tak jarang internet dimanfaatkan untuk mengakses situs porno dan melakukan sex talk. Tak sedikit dari mereka kecanduan untuk terus mengakses situs porno ketika tak ada kontrol orangtua.
Supriyanto
Kalangan orangtua juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap meluasnya penggunaan ponsel dan internet karena anak menjadi lebih sering bolos dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain game. Perilaku sebagian anak menjadi berubah. Mereka yang dulunya rajin, cerdas, selalu gembira, sejak kecanduan internet berubah jadi pendiam, soliter, dan menutup diri.
Ketiga, di bidang politik, penggunaan TI yang makin meluas tak hanya menjadi lahan subur perkembangan hoaks dan ujaran kebencian, tetapi tak jarang juga menjadi media bagi penyebaran paham radikal dan sikap intoleran yang merusak keserasian sosial. Ketika peredaran konten radikal makin intens dan membahayakan integrasi sosial, berbagai upaya terus dilakukan untuk mengeliminasi risiko yang timbul.
Berharap kalangan warganet akan mampu menyaring sendiri konten-konten yang berbahaya, dan kemudian menghindarinya, disadari tak lagi mudah dilakukan. Masyarakat post-modern yang makin terbiasa dan makin intens menonton Youtube harus diakui merupakan kelompok yang sangat rentan terpengaruh konten radikal yang dikemas dalam berbagai video pendek. Banyak penelitian membuktikan, peredaran konten radikal lewat media sosial menyebabkan warganet lebih mudah terpapar paham radikal.
Kita menyadari transformasi digital adalah proses yang mesti kita kembangkan untuk mengantisipasi perubahan zaman.
”Juggernaut modernity”
Kita sepakat, kehadiran masyarakat informasi dan transformasi digital adalah proses tak terelakkan. Kita menyadari transformasi digital adalah proses yang mesti kita kembangkan untuk mengantisipasi perubahan zaman. Namun, memastikan arah transformasi digital bisa berjalan sesuai koridor yang diinginkan bukanlah hal mudah. Ada banyak hal yang perlu dikembangkan sebagai fondasi agar transformasi digital tak menjadi apa yang disebut Anthony Giddens (2005) sebagai juggernaut modernity (mesin raksasa) yang menimbulkan efek yang merusak berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Giddens adalah teoretisi modernitas yang jauh-jauh hari telah mengingatkan risiko atau dampak yang mungkin terjadi di balik kemajuan teknologi dan modernisasi. Kehadiran TI dan internet di satu sisi mungkin menawarkan kemudahan, tetapi di sisi lain perkembangan masyarakat digital yang liar tak terkendali bukan tidak mungkin malah menimbulkan tragedi kemanusiaan yang mengharu biru.
Rahma Sugihartati Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga