Meski ada faktor global, kenaikan harga pangan merupakan puncak gunung es dari akumulasi permasalahan tata kelola pangan dalam negeri. Solusi yang dibuat pemerintah harus komprehensif, dari hulu sampai hilir.
Oleh
AGUS HERTA SUMARTO
·5 menit baca
HERYUNANTO
-
Tahun 2022 ini, hingga Juni, setidaknya sudah tiga kali harga pangan di pasaran naik, yaitu pada Februari, April, dan Juni. Komoditas yang mengalami kenaikan harga relatif sama antara lain cabai rawit merah, bawang merah, bawang putih, telur ayam, daging ayam, minyak goreng, kedelai, dan jagung.
Selain karena masalah pasokan dan distribusi dalam negeri, kenaikan harga pangan yang terjadi saat ini juga disebabkan oleh efek domino dari kenaikan beberapa komoditas pangan global seperti gandum, kedelai, minyak sawit mentah (crude palm oil), dan jagung. Sepanjang tahun 2022 ini, harga di pasar global untuk empat komoditas tersebut melambung tinggi dan telah mengakibatkan inflasi global (global inflation).
Selain itu, kenaikan harga yang terjadi saat ini jauh terasa lebih berat dan lebih besar karena terjadi dalam kondisi ekonomi yang sangat tidak ideal. Di tengah roda perekonomian yang belum bergerak secara optimal akibat pandemi Covid-19 yang belum selesai, masyarakat harus menanggung beban biaya hidup yang jauh lebih besar. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, masyarakat harus menanggung beban kenaikan harga dan dalam waktu bersamaan masyarakat juga kehilangan sebagian pendapatannya.
Kenaikan harga yang terjadi ketika roda perekonomian tidak berjalan secara optimal berpotensi menjadi jebakan ekonomi yang mendorong Indonesia masuk kembali ke jurang resesi. Roda perekonomian, baik di sisi permintaan maupun di sisi penawaran, akan sama-sama melambat dan mendorong kontraksi ekonomi dalam jumlah yang sangat besar. Oleh karena itu, kenaikan harga pangan saat ini akan menjadi tantangan ekonomi terbesar yang bisa menjadi faktor penghambat proses pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Sejatinya, kenaikan harga pangan telah menjadi rutinitas tahunan yang terus berulang dengan komoditas yang hampir sama. Setiap tahun masyarakat harus menghadapi kenaikan harga yang menggerus daya beli mereka yang belum tentu diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Oleh karena itu, pemerintah harus berusaha keras supaya kenaikan harga pangan ini tidak berulang dan menjadi rutinitas tahunan.
Solusi jangka pendek
Tahun ini kenaikan harga pangan sudah terjadi berkali-kali dan tidak tertutup kemungkinan akan terulang kembali seiring dengan tingkat ketidakpastian yang masih tinggi. Di tengah beban fiskal yang sangat besar dan celah fiskal yang sangat sempit, langkah menjaga stabilitas harga pangan menjadi hal yang sangat mahal. Alternatif pembiayaan pemerintah sangat terbatas seiring dengan beban utang yang semakin besar dan rasio pajak yang masih kecil.
Namun, menyerahkan dinamika pembentukan harga ke dalam mekanisme pasar bukanlah pilihan bijak. Pergerakan harga pangan akan semakin liar dan akan menimbulkan efek ketakutan (scarring effect) yang sangat besar. Kedua hal ini bisa menjadi pemicu utama dari terjadinya krisis ekonomi yang biaya ekonominya jauh lebih besar dari biaya pengendalian harga pasar.
Pergerakan harga pangan akan semakin liar dan akan menimbulkan efek ketakutan ( scarring effect) yang sangat besar.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera intervensi untuk meredam gejolak kenaikan harga pangan saat ini. Jika realokasi dan refocussing anggaran sudah tidak bisa menjadi tumpuan untuk program pengendalian gejolak harga pangan, tidak ada salahnya jika pemerintah mulai menyusun kembali skala prioritas program pembangunannya.
Pemerintah perlu memetakan kembali mana program yang penting dan tidak bisa ditangguhkan, dan program penting tetapi bisa ditunda. Program-program pembangunan infrastruktur yang sifatnya multi years yang efek pengganda ekonominya baru dirasakan dalam jangka panjang sebaiknya ditunda dan anggarannya dialihkan untuk pengendalian gejolak harga pangan.
Jika langkah-langkah tersebut masih dirasa kurang dan sulit dilakukan karena alasan yang lebih politis, pemerintah bisa sedikit melonggarkan kembali kebijakan defisit anggaran untuk tahun anggaran 2022 sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Langkah pelonggaran defisit anggaran ini bukanlah langkah populis dan dapat meningkatkan risiko ekonomi dan keuangan di masa yang akan datang. Namun, apabila dibandingkan dengan risiko krisis yang ada di depan mata, risiko ekonomi di masa mendatang bisa sedikit ditangguhkan.
Solusi jangka menengah-panjang
Kenaikan harga pangan merupakan puncak gunung es dari akumulasi permasalahan tata kelola pangan dalam negeri. Permasalahan pangan bukan hanya bermuara di sektor hilir, melainkan sudah mulai muncul sejak di sektor hulu. Oleh karena itu, solusi yang dibuat pemerintah harus komprehensif mulai dari sektor hulu sampai sektor hilir sehingga gejolak harga pangan ini tidak terulang di masa mendatang.
Permasalahan harga pangan di sektor hulu berkaitan dengan proses produksi yang berada di bawah kewenangan Kementerian Pertanian, mulai dari ketersediaan lahan, kapasitas produksi, tidak tersebarnya sistem penanaman, hingga mahalnya biaya tanam. Permasalahan data yang belum valid juga menjadi catatan tambahan yang semakin menambah runyam permasalahan di sektor hulu. Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah sering kali tidak efektif karena tidak validnya data di lapangan sehingga terjadi mismatch antara kebijakan yang dikeluarkan dan kebutuhan petani di lapangan.
Solusi yang dibuat pemerintah harus komprehensif mulai dari sektor hulu sampai sektor hilir.
Sering kali musim panen yang seharusnya menjadi musim yang membahagiakan bagi para petani malah menjadi momen menyedihkan karena harga komoditas yang ditanam jauh dari yang diharapkan, bahkan tidak jarang lebih rendah dari biaya produksi. Para petani juga tidak memiliki alternatif pasar untuk berbagai produknya karena terbatasnya akses informasi pasar. Para petani juga tidak jarang terjebak dalam sistem perjanjian kerja sama yang merugikan usahanya. Berbagai permasalahan di sektor hulu ini menjadikan produktivitas sektor pertanian cenderung stagnan.
Menata kembali sistem tata kelola di sektor hulu mutlak dilakukan. Penggunaan teknologi tepat guna yang inovatif harus terus dikembangkan. Penggunaan teknologi kultur jaringan, rekayasa genetika, dan sistem tanam yang modern dan murah harus bisa didorong dan dikembangkan oleh pemerintah.
Selain permasalahan di sektor hulu, permasalahan di sektor hilir juga tidak kalah besar. Proses distribusi, pengintegrasian sistem dan informasi pasar, serta mahalnya biaya logistik menjadi masalah yang masih menghantui pemasaran produk-produk pertanian, terutama komoditas pangan. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan harus berani menata dan menyusun kembali sistem dan tata kelola perdagangan komoditas pertanian, termasuk bahan pangan.
Tidak mudah dan perlu waktu, tetapi harus tetap dilakukan. Oleh sebab itu, penyelesaian masalah kenaikan harga pangan ini tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek. Perlu sinkronisasi antarkementerian dan lembaga serta melibatkan seluruh pelaku dari mulai sektor hulu sampai ujung di sektor hilir. Selain itu, diperlukan political will yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan hal ini. Sulit, tetapi bukanlah suatu hal yang mustahil jika dilakukan bersama-sama yang didasari kepentingan bersama.
Agus Herta Sumarto, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana; Ekonom Indef