Seiring tren konsumen yang semakin sadar pelestarian lingkungan, produsen pun menawarkan produk yang diklaim ramah lingkungan. Konsumen harus kritis, apakah benar itu produk ramah lingkungan atau sekadar dilabeli.
Oleh
R WULANDARI
·5 menit baca
Kian bertambahnya kesadaran lingkungan di kalangan sebagian konsumen saat ini telah mendorong sejumlah produsen mengkreasi produk-produk yang diberi label tertentu dan kemudian diklaim sebagai ramah lingkungan. Sebagai konsumen, kita dituntut tetap kritis dan memastikan produk yang ditawarkan benar-benar ramah lingkungan.
Produk-produk dengan embel-embel istilah, misalnya, eco-friendly, nature-friendly, biodegradable, natural, earth-friendly, organic, dan save the earth, mungkin pernah Anda jumpai saat memilih untuk membeli produk tertentu. Sayangnya, beberapa produsen sebenarnya cuma melakukan apa yang diistilahkan di Barat sebagai greenwashing.
Greenwashing ini merupakan bentuk promosi dan pemasaran untuk membangun persepsi bahwa produk-produk yang mereka tawarkan ataupun proses produksi yang mereka lakukan sebagai ramah lingkungan. Padahal, bisa saja produk yang dipasarkan ataupun proses produksi yang dilakukan sama sekali tidak ramah lingkungan. Bahkan, mungkin saja sesungguhnya berdampak sangat buruk bagi lingkungan.
Pelabelan produk hanyalah satu cara untuk melakukan greenwashing. Cara lain adalah lewat kampanye iklan dan kehumasan.
Istilah greenwashing, terkadang disebut juga green sheen, pertama kali diperkenalkan pada 1985 oleh ahli lingkungan Jay Westervelt. Saat berada di sebuah pulau di Pasifik Selatan, Westervelt sempat mengalami kejanggalan saat mendapati sebuah penginapan yang menempatkan papan pemberitahuan agar para tamu menggunakan kembali handuk yang telah digunakan dengan dalih demi menyelamatkan lingkungan.
Westervelt cenderung menduga pemberitahuan tersebut dimotivasi oleh keinginan pengelola hotel untuk mencuci lebih sedikit handuk sehingga akan menghemat ongkos binatu ketimbang keinginan melestarikan lingkungan. Sejak itulah, istilah greenwashing mulai populer di kalangan para aktivis lingkungan serta di kalangan para praktisi pemasaran dan periklanan.
Dalam khazanah bisnis yang penuh persaingan, para produsen sepenuhnya sadar bahwa masa depan kelangsungan bisnis mereka berada di tangan konsumen. Jumlah konsumen bukan saja perlu dipertahankan, tetapi juga perlu terus bertambah. Peningkatan jumlah konsumen berarti peningkatan profit. Sebaliknya, penurunan jumlah konsumen bermakna penurunan profit. Ini sudah menjadi hukum sebab akibat dalam kancah bisnis.
Sejumlah riset menyimpulkan bahwa kalangan milenial, yang cenderung lebih perduli lingkungan, akan menjadi konsumen utama masa depan. Riset yang pernah dilakukan oleh Nielsen beberapa waktu lalu, misalnya, menunjukkan bahwa 73 persen kaum milenial bersedia membayar lebih untuk produk-produk barang yang masuk kategori ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sejumlah riset menyimpulkan bahwa kalangan milenial, yang cenderung lebih perduli lingkungan, akan menjadi konsumen utama masa depan.
Riset lain yang dilakukan oleh Mckinsey di bawah tajuk Fashion’s New Must Have: Sustainable Sourcing At Scale memperlihatkan bahwa penelusuran daring untuk kata ”mode berkelanjutan” telah meningkat tiga kali lipat antara tahun 2016 dan 2019.
Dalam upaya meningkatkan jumlah konsumen inilah, taktik greenwashing dipilih sejumlah perusahaan karena diyakini akan memukau lebih banyak calon konsumen saat ini dan di masa depan. Selain itu, diharapkan pula dapat mengirimkan pesan yang tepat kepada konsumen yang semakin paham dan perduli pada lingkungan.
Kenton (2020) menyatakan, greenwashing sebagai proses penyampaian pesan dan kesan palsu atau memberikan informasi yang menyesatkan tentang bagaimana produk yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan seolah-olah lebih ramah lingkungan. Dalam pandangan Kenton, greenwashing merupakan klaim yang tidak berdasar untuk memperdaya konsumen agar percaya bahwa produk mereka ramah lingkungan.
Menurut Acaroglu (2019), greenwashing merupakan bentuk penyesatan informasi. Praktik ini disebut oleh Acaroglu sebagai sesuatu hal yang mengalihkan perhatian konsumen dari apa yang sebenarnya terjadi. Ia berpendapat praktik greenwashing telah merebut ruang berharga kita dalam perjuangan sesungguhnya dalam melawan masalah-masalah lingkungan yang lebih signifikan, seperti perubahan iklim, pencemaran plastik di laut, pencemaran udara, dan kepunahan spesies global.
Sedihnya, tambah Acaroglu, tidak sedikit perusahaan melakukan praktik greenwashing secara tidak sengaja karena mereka tidak mempunyai keahlian untuk mengetahui apa yang benar-benar bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat bagi lingkungan.
Pelabelan dan logo
Di Tanah Air, terkait soal pelabelan untuk produk maupun jasa yang masuk kategori ramah lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pencantuman Logo Ekolabel.
Dalam peraturan menteri itu disebutkan bahwa logo ekolabel adalah logo yang hak ciptanya dimiliki KLHK yang menyatakan bahwa sebuah produk tertentu telah memenuhi aspek lingkungan, meliputi perolehan bahan baku atau sumber daya alam, proses produksi, distribusi, penggunaan, dan/atau pembuangan sisa atau produk.
Ada dua jenis logo ekolabel. Pertama, Ekolabel Indonesia, yaitu logo yang diberikan terhadap suatu produk tertentu yang telah disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Ekolabel (LSE). Kedua, Ekolabel Swadeklarasi Indonesia, yaitu logo yang diberikan kepada suatu produk tertentu berdasarkan hasil verifikasi Lembaga Verifikasi Ekolabel (LVE) atas klaim produsen, importir, distributor, pengecer, pemilik merek dagang, atau pihak lain yang berkepentingan.
KLHK telah pula mengeluarkan Permen Nomor P5/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2019 tentang Tata Cara Penerapan Label Ramah Lingkungan untuk Pengadaan Barang dan Jasa Ramah Lingkungan Hidup.
Sebagai konsumen, kita tentu saja perlu senantiasa kritis, antara lain, agar tidak begitu saja terperdaya dan menjadi korban empuk praktik-praktik greenwashing. Untuk itu, kita harus selalu membaca label produk dengan teliti. Pastikan logo ekolabel yang ada di dalam produk adalah logo yang memang dikeluarkan oleh otoritas berwenang.
Tidak ada salahnya kita melakukan riset secara daring untuk mengetahui apakah produk yang hendak kita pilih adalah produk yang memang telah masuk kategori ramah lingkungan. Keberadaan Ecolabel Index, direktori global yang memuat sekitar 455 produk bersertifikat ramah lingkungan di 199 negara dan 25 sektor industri, dapat dimanfaatkan untuk lebih memastikan produk-produk yang ditawarkan apakah benar-benar ramah lingkungan atau tidak.