Perguruan tinggi saat ini terjebak dalam pusaran kapitalisme, bahkan bagian penting dari kapitalisme. Perguruan tinggi berorientasi pasar dan dikelola laksana sebuah lembaga bisnis yang memproduksi sarjana dan inovasi.
Oleh
ACENG HIDAYAT
·5 menit baca
Tulisan Prof Iwan Pranoto di harian Kompas (9/6/2022) yang bertajuk ”Dilema Kapitalisme Akademik” menarik untuk dicermati. Pasalnya, Prof Iwan melihat ada gajah kapitalisme dalam ruang akademik, dan keberadaannya sudah dianggap wajar semua pihak, baik negara, institusi akademik, sektor swasta, maupun masyarakat pada umumnya.
Meski hal itu sudah dianggap wajar, orang masih malu mengakui keberadaan, apalagi membahasnya. Sebab, kapitalisme masih dianggap bertentangan dengan norma lembaga pendidikan yang nirlaba (nonprofit).
Dalam artikel ini saya mencoba memperjelas keberadaan kapitalisme tadi. Namun, saya menyebutnya kapitalisme pada perguruan tinggi. Bukan kapitalisme akademik. Lalu, apa iya ada kapitalisme pada perguruan tinggi itu?
Untuk tidak menimbulkan perbedaan pemahaman, saya awali dengan pengertian kapitalisme. Yakni, paham (ideologi) yang meyakini kegiatan ekonomi (meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi) dilakukan dan dikendalikan oleh pelaku usaha swasta, baik individu maupun badan hukum (korporasi) sesuai permintaan dan penawaran (hukum pasar), dengan syarat pasar dapat bergerak bebas.
Maka, kapitalisme disebut juga ekonomi berbasis pasar. Sebab itu, apabila ekonomi diibaratkan kapal, pasar adalah nakhodanya dan keuntungan (laba) merupakan tujuan. Dengan kata lain, ekonomi diarahkan oleh pasar dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Saya melihat kapitalisme pada perguruan tinggi dalam pengertian kapitalisme seperti ini.
Akademik (pendidikan dan ilmu) merupakan komoditas ekonomi yang memiliki pasar dan potensial memberikan keuntungan.
Pada awal perkembangannya, kapitalisme terbatas kepada produksi barang pemenuhan kebutuhan hidup (primer). Lalu, melebar kepada barang-barang sekunder dan tersier yang tidak terkait sama sekali dengan kebutuhan hidup. Lantas berkembang kepada jasa, semisal hiburan, gaya hidup, dan lain-lain. Pada bidang jasa pun, kepitalisme kemudian melebar lagi meliputi kesehatan, keamanan, dan pendidikan.
Berkembang dan melebarnya cakupan ”garapan” kapitalisme tersebut karena pada bidang-bidang tadi ada potensi besar meraih keuntungan. Apalagi, masing-masing garapan kapitalisme tadi berkelindan satu-sama lain. Dalam konteks itulah, perguruan tinggi masuk pusaran kapitalisme. Akademik (pendidikan dan ilmu) merupakan komoditas ekonomi yang memiliki pasar dan potensial memberikan keuntungan.
Industri dan bisnis akademik
Perguruan tinggi berorientasi atau bahkan diarahkan (driven) pasar adalah ciri pertama keberadaan kapitalisme dalam perguruan tinggi. Lalu apa yang diarahkan pasar? Lulusan dan inovasi. Inilah dua output utama perguruan tinggi yang diperlukan pasar. Lulusan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Maka disebut sumber daya manusia yang setara dengan sumber daya lahan, alam, teknologi, finansial dan lain-lain. Pun demikian, inovasi diharapkan dapat menjadi produk baru yang juga diperlukan pasar.
Karena berorientasi pasar, pendidikan, mulai dari penyusunan kurikulum hingga proses pembelajaran, harus melibatkan industri. Demikian pula dalam melakukan inovasi mesti melibatkan industri sejak perencanaan agar tidak ada kendala dalam proses hilirisasi atau bisnisisasi.
Maka dari itu, sudah lama diwacanakan keterkaitan antara dunia usaha dunia akadamik (DUDA). Wacana ini semakin menguat pada era Mas Menteri Nadiem Makarim yang meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar, Kampus Merdeka. Disertai pula delapan indikator utama (Indikator Kinerja Utama/IKU) perguruan tinggi. Dan, IKU-1 adalah lulusan perguruan tinggi dapat terserap pasar tenaga kerja paling lama tiga bulan setelah lulus dengan upaha minimal setara 1,2 kali upah minimal regional (UMR).
Keeratan hubungan antara lulusan perguruan tinggi dan pasar tenaga kerja berimbas kepada orientasi orang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pun berubah. Yaitu, bukan semata mencari ilmu melainkan berharap dengan ijazah dan ilmu yang diraih ia mudah mendapatkan pekerjaan demi meningkatkan kesejahteraan ekonomi.
Hal tersebut ditangkap perguruan tinggi sebagai pasar potensial. Maka dari itu, tidak aneh apabila saat ini perguruan tinggi berlomba meningkatkan student body-nya sehingga ada perguruan tinggi negeri (PTN) yang jumlah mahasiswanya sampai 80.000, penerimaan dari SPP mencapai Rp 1,2 triliun, dan penerimaan dari sumbangan sarana pendidikan sebesar Rp 300 miliar.
Dengan uang sebanyak itu, perguruan tinggi bisa membangun sarana kampus yang megah. Kampus yang megah dapat menarik calon-calon mahasiswa. Masuklah ia ke dalam siklus supply demand.
Itu semua menunjukkan bahwa perguruan tinggi saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, sangat kapitalistis. Sudah terjebak dalam pusaran kapitalisme bahkan bagian penting dari kapitalisme. Inilah yang dikritisi oleh Toni Ruuska dalam bukunya Reproduction Revisited: Capitalism, Higher Education and Ecological Crisis terbitan tahun 2018. Bahkan, ia mengaitkan adanya peran perguruan tinggi dalam krisis ekologi yang saat ini melanda dunia.
Kampus atau pabrik
Maka dari itu, kita menyaksikan indikator kedua keberadaan kapitalisme dalam perguruan tinggi, yakni perguruan tinggi dikelola laksana sebuah lembaga bisnis dan industri akademik. Kampus sebagai pabrik, calon mahasiswa input produksi, serta dosen dan segenap pegawai sebagai buruhnya.
Lalu, apa yang diproduksi perguruan tinggi? Sarjana dan inovasi. Sebagai lembaga binis, maka rektor, para wakilnya, dan segenap struktur di bawahnya adalah manajemen untuk memastikan agar industri dan bisnis berjalan sesuai sasaran. Adapun para dekan layaknya seorang manajer unit produksi. Tugasnya menghasilkan lulusan dan inovasi sesuai kebutuhan pasar.
Lalu, apa yang diproduksi perguruan tinggi? Sarjana dan inovasi.
Selain itu, perguruan tinggi juga memiliki unit promosi, branding, qualityassurance, komunikasi marketing, coorporate culture, serta jejaring (networking) dengan dunia usaha dan dunia industri. Jargonnya, pelayanan prima (service excellence). Persis sebuah perusahaan. Organisasi dikelola dengan standar ISO dan menerapkan manajemen risiko.
Di luar itu, layaknya sebuah perusahaan, antar-perguruan tinggi pun terjadi persaingan memperebutkan posisi terbaik World University Rangking (WUR), IKU, dan perlombaan serta awarding-awarding lainnya. Semua itu demi reputasi.
Dengan dua ciri itu saja, keberadaan gajah kapitalisme dalam perguruan tinggi sudah terlihat dan sulit disangkal. Atau memang bukan untuk disangkal. Sebab, saat ini kapitalisme merupakan realita dan peluang, bukan pilihan.
Jika perguruan tinggi menolaknya dan benar-benar menolaknya, maka harus berani menempuh jalan sunyi. Namun, di balik kesunyian itu bisa jadi akan lahir orang-orang berpikiran besar untuk melakukan perubahan dan perguruan tinggi dapat memberikan nilai kemanfaatan yang lebih tinggi, bukan sekadar pabrik sarjana pencari kerja.
Saya jadi ingat kata-kata Imam Al Ghozali, Rektor Universitas Nizhamiyah, era Abbasyiah, Bagdad, perguruan tinggi dikatakan bangkrut pada saat ia tidak dapat memberikan kemanfaatan untuk manusia baik dari ilmu yang dihasilkan maupun lulusannya. Jika itu yang jadi ukuran, jangan-jangan bayak perguruan tinggi yang sudah bangkrut.
Aceng Hidayat, Sekretaris Institut dan Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB University; Ketua ICMI Orwilsus Bogor 2022-2027