Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan sejatinya memang dimaksudkan untuk memperpendek, mempermudah, dan memberikan kepastian hukum dalam perizinan lingkungan.
Terbitnya PP No 22/2021 ini sebagai penjabaran dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang merupakan upaya pemerintah memperpendek birokrasi perizinan berusaha dan menjamin kepastian hukum dalam berinvestasi di negeri ini.
Perpanjang birokrasi
Setelah sekitar setahun PP No 22/2021 diberlakukan, adakah tujuan yang diharapkan itu kunjung tiba? Banyak keluhan tentang kebalikan dari tujuan PP ini. Bukannya memangkas birokrasi, malah memperpanjang birokrasi dan memperlambat proses pengurusannya. Keluhan ini merata dirasakan kalangan pemrakarsa kegiatan/usaha, konsultan lingkungan, pemerhati, dan akademisi, baik di pusat maupun di daerah.
Bukannya memangkas birokrasi, malah memperpanjang birokrasi dan memperlambat proses pengurusannya.
Persetujuan lingkungan sebagai nomenklatur baru pengganti izin lingkungan saat ini menjadi ujung dari perizinan lingkungan. Sekiranya pelaku usaha/kegiatan telah mengantongi persetujuan lingkungan, maka dilanjutkan dengan perolehan perizinan berusaha.
Prasyarat untuk dapat persetujuan lingkungan adalah adanya surat keputusan kelayakan lingkungan hidup (SKKLH), analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau persetujuan upaya pengelolaan lingkungan-upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL), persetujuan teknis (pertek) pemenuhan baku mutu air/udara/limbah bahan berbahaya dan beracun (LB3), serta analisis dampak lalu lintas (andalalin).
Pengurusan dokumen-dokumen ini masih dilakukan secara manual, belum berbasis IOT (internet of thing). Jika pengurusan sejumlah dokumen ini belum dituntaskan, persetujuan lingkungan tak akan diterbitkan. Sementara, pada peraturan sebelum PP No 22/2021, dokumen itu boleh diurus setelah diperoleh izin lingkungan. Di sinilah salah satu permasalahan yang menyebabkan perlambatan karena pelaku usaha harus selalu berpikir komprehensif untuk memerinci semua rencana kegiatannya.
Dengan adanya prasyarat ini, kajian amdal telah mengalami modifikasi dari filosofi awalnya sebagai sebuah kajian dampak yang bisa dilakukan ketika deskripsi kegiatan masih dalam tahap perencanaan, bahkan perencanaan makro sekalipun.
Dengan kewajiban melakukan kajian pertek sebelum kajian amdal, mustahil deskripsi kegiatan masih dalam tahap perencanaan. Pertek baru bisa dikaji jika deskripsi kegiatan berada minimal pada tahap pra-DED (detailed engineering design). Untuk melakukan kajian DED, perlu waktu. Mengingat pertek memuat langkah rinci pengelolaan limbah cair, gas, dan LB3, neraca massa limbah itu harus sudah terperinci, bahkan metodologi dan dimensi ukuran dari instrumen pengelolaan limbah juga harus tersedia di dokumen pertek.
Memang dimajukannya pertek sebagai prasyarat persetujuan lingkungan mengharuskan pelaku usaha/kegiatan mengarusutamakan (mainstreaming) kepentingan pengelolaan lingkungan sejajar dengan kepentingan usaha/kegiatan yang akan dilakoni. Keharusan ini bagus untuk memastikan kelestarian fungsi dan jasa lingkungan diperhatikan dengan saksama, tak hanya sebagai pelengkap perhatian.
Baca juga: Sembilan Pemegang IUP Batubara Diperingatkan Tak Kunjung Miliki Izin Lingkungan
Selain itu, persyaratan dalam melakukan kajian amdal juga menjadi pemicu perlambatan, seperti surat arahan kajian lingkungan, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR) atau persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) atau persetujuan pemanfaatan kawasan hutan, persetujuan awal rencana kegiatan (seperti kajian tekno-ekonomi).
Hal-hal seperti ini, sebelum PP No 22/2021, tidak semuanya dalam bentuk surat legal formal, bisa berupa pernyataan normatif dalam dokumen.
Hal lain yang juga memperlambat persetujuan lingkungan adalah kembalinya wewenang perizinan tambang ke pusat. Implikasinya, persetujuan lingkungan juga menjadi wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Walau saat ini telah ada Perpres No 55/2022 tentang Pendelegasian pemberian perizinan berusaha di bidang pertambangan mineral dan batubara, yang intinya kembali desentralisasi.
Semua persetujuan lingkungan untuk usaha penanaman modal asing (PMA) menjadi wewenang KLHK pusat. Sementara apakah cukup SDM di KLHK pusat mengurusi persetujuan lingkungan dengan tambahan dua beban di atas untuk usaha/kegiatan di seluruh penjuru negeri? Perlambatan ini tak hanya bulanan, tetapi juga tahunan dan dikeluhkan menyeluruh oleh pemangku kepentingan lingkungan di seluruh negeri.
Buruk
Amdalnet berbasis IOT yang dikembangkan Direktorat Pengendalian Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan (PDLUK), yang diharapkan bisa mengurai keluhan-keluhan itu, masih dalam taraf pengembangan. Jadi, sebagai pemerhati lingkungan, saya memberikan penilaian terhadap hasil kinerja PP No 22/2021 sebagai masih ”buruk”, dari tiga kategori penilaian buruk, sedang, dan baik, karena keluhan perlambatan perizinan lingkungan dirasakan merata oleh banyak pelaku usaha.
Namun, penilaian terhadap upaya pemerintah untuk menjalankan PP No 22/2021 dengan lahirnya berbagai peraturan Menteri LHK serta upaya membangun perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) pengelolaan lingkungan beroleh dinilai ”baik”.
Hal lain yang juga memperlambat persetujuan lingkungan adalah kembalinya wewenang perizinan tambang ke pusat.
Sebagai saran, 1) perlu dituntaskan segera Amdalnet; 2) proses pengurusan pertek, persetujuan pemanfaatan kawasan hutan, Andalalin, juga perlu dengan sistem berbasis IoT; 3) perlu dipertimbangkan pendelegasian pengurusan persetujuan lingkungan untuk PMA ke daerah sesuai dengan lingkup wilayah usahanya sehingga mengurangi beban di KLHK.
Lalu, 4) melakukan identifikasi kesenjangan antara ketentuan PP No 22/2021 dan keluhan nyata di lapangan dalam penerapannya, serta memformulasikan alternatif solusinya; 5) terus memformulasikan peraturan menteri yang menjadi jabaran dari PP No 22/2021; 6) terus melakukan pembinaan kepada SDM daerah dalam pemahaman terhadap PP No 22/2021; dan 7) terus membangun software dan hardware pengelolaan lingkungan yang diamanahkan di PP No 22/2021.
Hefni Effendi Guru Besar IPB University