Indonesia satu-satunya anggota G20 yang belum menjadi anggota penuh Financial Action Task Force. Ini menjadi pekerjaan rumah besar sebelum puncak kegiatan G20. Perlu kerja sama mewujudkan integritas sistem keuangan.
Oleh
I GUSTI NGURAH YUDIA SINARTHA
·4 menit baca
Ada satu pekerjaan besar yang belum selesai menjelang pertemuan puncak G20 tahun ini. Indonesia merupakan satu-satunya anggota G20 yang belum menjadi anggota penuh Financial Action Task Force (FATF). Inilah gugus tugas bentukan negara-negara G7 pada 1989 untuk memerangi kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme global.
Untuk menjadi anggota, Indonesia harus lulus Mutual Evaluation (ME). Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Koordinasi Tahunan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) 2021 sudah meminta seluruh jajaran pemerintah menguatkan kerja sama untuk mewujudkan integritas sistem keuangan agar Indonesia lolos melewati ME.
Sebenarnya, sejak 2017 Indonesia telah memulai upaya untuk menjadi anggota FATF dan setahun kemudian berhasil memperoleh status Observer. Saat ini persiapan untuk mendapatkan keanggotaan penuh masih terus berlangsung. Pelaksanaan ME di Indonesia diketuai Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; dikoordinasikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK); serta melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga (K/L), antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia.
Lantas, apa manfaat bagi Indonesia menjadi anggota FATF? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua perspektif, yaitu ekonomi dan politik. Menilik dari sudut ekonomi, menjadi anggota FATF akan berkontribusi positif pada peringkat negara dan iklim investasi Indonesia. Selain itu, keanggotaan FATF juga akan meningkatkan kepercayaan negara mitra dagang Indonesia terhadap integritas sistem keuangan nasional.
Secara politik, Indonesia akan dinilai setara dengan negara-negara maju dalam penerapan standar anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU PPT). Imbasnya, Indonesia akan memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk berperan di kancah internasional.
Peluang emas
Setelah mengalami beberapa kali penundaan akibat pandemi Covid-19, tim Asesor FATF akan datang ke Indonesia pada 17 Juli sampai 2 Agustus 2022. Ini peluang emas untuk menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki rezim APU PPT yang memenuhi standar FATF. Sebagai pemegang presidensi G20, Indonesia dapat melakukan lobi ataupun memamerkan kuatnya pengaturan dan pengawasan APU PPT di Indonesia.
Mengutip dari laman FATF, proses komplet ME terdiri dari beberapa tahap dan dapat memakan waktu hingga 18 bulan. Dalam pelaksanaan ME tersebut, ada dua aspek yang menjadi perhatian tim penilai FATF.
Pertama, aspek kepatuhan. Parameternya adalah kecukupan regulasi untuk memerangi TPPU, TPPT, dan proliferasi senjata pemusnah massal (PSPM) sesuai dengan 40 rekomendasi FATF.
Kedua, aspek efektivitas implementasi APU PPT. Tim penilai akan melihat apakah kerangka kerja dan pendekatan Lembaga Pengatur Pengawas (LPP), aparat penegak hukum, dan industri sudah memberi hasil optimal.
Tim Asesor FATF akan datang ke Indonesia pada 17 Juli sampai 2 Agustus 2022. Ini peluang emas untuk menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki rezim APU PPT yang memenuhi standar FATF.
Pencapaian dua aspek itu tentu tidaklah mudah. Seluruh K/L yang berkaitan dengan ME harus berkoordinasi dan bekerja sama sangat erat. Sejauh ini, berbagai upaya penguatan regulasi untuk mendukung aspek kepatuhan telah berjalan.
Misalnya, Kemenkeu telah membuat ketentuan dan melakukan pengawasan transaksi lelang pada Balai Lelang. Kementerian Perdagangan telah menyusun dokumen penilaian risiko TPPU pada sektor perdagangan berjangka komoditas.
OJK dan BI sebagai otoritas utama di industri keuangan nasional juga telah melakukan berbagai terobosan dalam regulasi mulai dari penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (PMPJ) hingga melakukan penertiban terhadap pelaku industri keuangan ilegal serta mendorong pelaporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK.
Sementara itu, pada aspek hasil implementasi seluruh LPP secara berkesinambungan melakukan berbagai pengawasan untuk mendorong kepatuhan industri terhadap implementasi prinsip APU PPT. Misalnya melalui pembinaan, pemberian sanksi kewajiban membayar, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha. Pengawasan tegas LPP juga berbarengan dengan program sosialisasi dan peningkatan kapasitas bagi industri dan edukasi publik.
Tak dapat dimungkiri, upaya menyukseskan ME FATF mengandung ongkos birokrasi yang tinggi karena menyangkut koordinasi lintas K/L. Variasi pelaku jasa keuangan dan penyedia barang/jasa serta literasi keuangan masyarakat yang minim juga merupakan tantangan tersendiri. Belum lagi menyangkut kesamaan persepsi LPP dalam menerapkan pengawasan berbasis risiko.
Namun, bukan berarti tak ada solusi. Kolaborasi antar-otoritas, industri, dan masyarakat adalah kuncinya. Otoritas perlu terus meningkatkan kerja sama, termasuk melalui program asistensi dan knowledge sharing lintas K/L untuk mengoptimalkan penerapan pengawasan berbasis risiko.
Industri harus meningkatkan kapasitas dalam mematuhi ketentuan APU PPT dan meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap ancaman TPPU TPPT. Pun masyarakat harus transparan dalam melakukan transaksi keuangan.
Selain semua upaya pembenahan itu, strategi diplomasi ekonomi dan politik yang jitu saat Indonesia memegang presidensi G20 juga berperan besar. Kesimpulannya, komitmen dari seluruh pemangku kepentingan merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan permintaan Presiden agar Indonesia menjadi anggota penuh FATF.
I Gusti Ngurah Yudia Sinartha, Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia