Di situlah penyaji ”paradise” bisa saja terjebak neraka perdagangan wanita. ”Okay”, jangan-jangan saya terlalu pesimistis.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Bila kita ingin mengerti bagaimana Pulau Bali telah menjadi bagian dari dunia imaginer warga dunia, tak pelak harus mengacu pada bagian penting tubuh wanita: payudara. Titik awalnya 100 tahun yang lalu ketika media modern—fotografi waktu itu—mulai menjerat kita di dalam pusaran visual gilanya. Baru Perang Dunia Pertama (1914-1918) selesai, dengan foto-foto yang mengerikan itu, muncullah foto-foto buku Krause, yang memperlihatkan perempuan Bali mandi atau berlalu-lalang santai dengan bertelanjang dada.
Wah! Iri-irilah ibu-ibu Barat yang zaman dadanya sedemikian dikorset. Adapun pria Barat, ya... diam nan kagum, membalik-balik halaman buku Krause satu per satu. Tak ayal, payudara perempuan Bali untuk seterusnya menjadi ikonik. Dan itulah kini kutukannya….
Mengapa kutukan. Oh, awalnya tidak apa-apa. Ketika wisatawan mulai merambah Bali, yaitu sampai dengan tahun-tahun 1930-an, wanita Bali tak tersentuh pariwisata. Lalu, datanglah ”seni” berupa film Hollywood, lalu seni lukis ragam realis: ternyata, payudara para model lukisan Le Mayeur tak kalah sempurnanya dengan payudara Hawa-nya Botticelli.
Sukses komersial menyusul! Itu bukan tanpa akibat: berselang sepuluh tahun setelah merdeka, ”separoh” dari lulusan sekolah tinggi kesenian sudah hijrah ke Bali. Untuk apa? Untuk mengabadikan yang tidak abadi: kesempurnaan dada. Bahkan politikus tertinggi negara pun terpesona. Lihat saja koleksinya.
Menariknya, kala itu yang empunya dada sempurna itu relatif luput dari petaka yang biasanya mengiringi pariwisata: yaitu wisata seksual. Salah satu sebab adalah kuatnya ikatan adat. Namun, ada juga alasan lain. Mulai tahun 1970an-, ketika pariwisata mulai tumbuh dengan pesat, surplus demografis dengan pekerja wanita ditampung di hotel, restoran, dan sebagainya. Kesejahteraan minimum terjamin. Maka, kebutuhan khusus kaum hidung belang harus dilayani pekerja dari seberang selat. Adapun pemandangan payudara pindah ke pantai dengan tamu wanita bule berbikini yang terbebas dari korset. Globalisasi merajalela!!!
Namun, kini, dua puluh tahun kemudian, baru terasa bagaimana globalisasi ”citra” membawa petaka bagi kaum wanita, terutama di daerah miskin Bali dengan Covid sebagai akseleratornya. Apa yang terjadi? Ribuan perempuan daerah-daerah itu, di utara dan timur pulau, yang selama ini bisa hidup pas-pasan dari gaji kecil suaminya, tiba-tiba kehilangan segala sumber penghidupannya. Mendapat Bansos atau tidak, sulit bagi mereka mencarikan makanan bagi anaknya. Semua pulang ke desa asal.
Namun, siapa ditemui di desanya? Para pekerja kapal pesiar, yang juga dirumahkan. Dari situ tersiarlah cerita ABK yang berceloteh menggiurkan: mau jadi ”pemijat spa”, bisa mengantongi Rp 6 juta setiap dua minggu kalau di kapal. Akibatnya bisa diduga: dalam sekejap mata, sebelum pariwisata pulih, menjamurlah puluhan ”kursus spa”. Tujuannya tunggal: melatih ratusan wanita agar mampu menyajikan pijat ala ”tropical paradise” bagi peminat negara antah berantah.
Di situlah penyaji ”paradise” bisa saja terjebak neraka perdagangan wanita. Okay, jangan-jangan saya terlalu pesimistis. Bisa jadi perusahaan-perusahaan kapal pesiar mempunyai peraturan operasional yang melindungi pegawai wanitanya. Akan tetapi, bagaimana tentang ratusan atau bahkan ribuan wanita muda—pada umumnya ibu-ibu—yang, begitu digaet ”agen” dan membayar jutaan rupiah, mereka sudah dikirim ke pedalaman Rusia, Turki, atau Bulgaria dengan memegang hanya kontrak kerja satu halaman.
Siapa ”agen” misterius mereka yang berlindung di belakang kursus-kursus spa tersebut. Bagaimana kalau kontrak kerja putus seusai tiga bulan, kecuali bila bermain klausa ”surgawinya” itu. Bagaimana mereka menghadapi langganan pijat yang mengacung-acungkan lembar jutaan rupiah ketika anak-anak di rumah entah perlu HP baru atau harus masuk sekolah. Ya!!! Di antara ibu-ibu dari pesisir utara dan timur tersiar bermacam-macam cerita tentang mereka yang entah ”menghilang”, tak bisa pulang, menjadi kaya, bercerai, atau hancur untuk selamanya.
Singkatnya, sambil meminta maaf atas ”kasar”-nya bahasa saya, jangan-jangan mitos payudara Bali diganti oleh kenyataan baru: dara payu, dara Bali yang laku. Maka, saya berseru-tanya, di Bali dan di mana pun kursus pijat darurat itu ada, ”di mana terlihat adanya perlindungan bagi wanita?” Sebab, tak cukup teguran moralis agama!!!