Krisis budaya terjadi dalam bentuk pertentangan antara nilai-nilai ideal (ideologi) Pancasila dan kenyataan. Korupsi bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan. Krisis juga menjelma sebagai bentuk perang budaya.
Oleh
Idi Subandy Ibrahim
·4 menit baca
Pada peringatan Hari Lahir Pancasila di Ende, Nusa Tenggara Timur, Rabu (1/6/2022), Presiden Joko Widodo mengajak semua komponen bangsa mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan dan penyelenggaraan negara serta dalam kehidupan sehari-hari. Sementara jajak pendapat Kompas menunjukkan masih rendahnya penerapan nilai-nilai Pancasila di tingkat elite/pejabat dibandingkan di masyarakat umum (Kompas, 2/6/2022).
Pidato Presiden dan hasil jajak pendapat Kompas tidak hanya mencerminkan adanya krisis pembudayaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kebangsaan, tetapi lebih khusus dalam visi dan misi elite dalam penyelenggaraan kenegaraan.
Pancasila adalah tema umum kebudayaan Indonesia. Jika budaya mencakup sistem nilai dan sistem simbol, dalam kegiatan yang terlihat praktis seperti upacara kenegaraan, birokrasi, atau ekonomi tecermin nilai-nilai yang merupakan tema umum dari budaya masyarakatnya.
Secara ideal, Pancasila merupakan rujukan nilai dalam praktik bernegara dan berbangsa. Krisis budaya terjadi dalam bentuk pertentangan antara nilai-nilai ideal (ideologi) Pancasila dan kenyataan. Korupsi bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan. Krisis juga menjelma sebagai bentuk ”perang budaya”; berupa pertempuran visi untuk membentuk Indonesia seperti apa yang diangankan. Pertarungan antara orang-orang yang hendak menerapkan nilai-nilai Pancasila dan yang memandang Pancasila hanya sebagai sistem simbol.
Pertempuran itu bisa berlangsung dalam berbagai front, mulai dari gedung DPR, ruang-ruang lobi politik, wacana media dan akademis, ceramah keagamaan, media sosial, hingga seni, teater, dan demonstrasi atau parlemen jalanan. Perang budaya melibatkan unsur-unsur budaya, seperti teknologi, ekonomi, politik, masyarakat, dan komunikasi. Jika kekuatan integrasi di antara unsur-unsur budaya dan aktor-aktor budaya lemah, polarisasi dan disintegrasi sosial akan mudah terjadi.
Secara harfiah ungkapan ”perang budaya” berarti ”perjuangan untuk menguasai budaya”. Bisa berupa konflik nilai dan gagasan.Budaya bukanlah medan yang abstrak. Budaya adalah ranah perebutan pengaruh dan penaklukan. Di tingkat global, perang budaya bisa terjalin bersama perang lainnya: perang (atas nama) agama, perang saudara, perang ekonomi, atau permusuhan militer.
Di tingkat nasional, perang budaya bisa menjelma dalam berbagai bentuk, seperti pertarungan antara pengusung visi keadilan (sila ke-2 dan ke-5 Pancasila) dan penganut ekonomi pasar (liberalisme). Di Indonesia kita dapat melihat masyarakat telah lama dikuasai oleh bisnis besar dan negara dikuasai oleh segelintir politisi (dan tentara yang berdwifungsi sebagai politisi). Secara ideal, kaum politisilah yang seharusnya menjaga ideologi keadilan ketimbang hanya mengutamakan kepentingan pasar.
Selama ini, pertarungan antara visi keadilan dan liberalisme budaya dan ekonomi telah terkandung dalam kerangka demokrasi, yang melibatkan debat publik, kampanye pemilu, politik legislatif, lobi-lobi, proses hukum dan kasus pengadilan, penetapan agenda oleh kelompok kepentingan dan kelompok pemikir, gerakan keagamaan, wacana akademis, protes dan demonstrasi, peristiwa media, debat televisi, dan budaya populer.
Perang budaya berlangsung antara pencinta dan pengeksploitasi lingkungan. Pencinta lingkungan di berbagai negara memperluas gerakan dari lobi ke pembangkangan sipil hingga sabotase dan aktivitas radikal lainnya. Kecenderungan ini kian menguat karena banyak pemerhati lingkungan yang kecewa dengan proses demokrasi dan janji palsu politisi. Mereka menyimpulkan bahwa krisis lingkungan dan alih lahan sewenang-wenang tidak bisa diselamatkan melalui kompromi legislatif.
Sementara itu, para seniman kontemporer mengerahkan karya seni sebagai artileri ”simbolis” untuk memulai perang budaya melawan sensor dan memperjuangkan kebebasan berbicara. Pembingkaian ulang media seni untuk proyek-proyek emansipatoris menjadi momen fundamental bagi perang budaya untuk mewujudkan tuntutan keadilan sosial dan ekologis.
Perang budaya juga menjelma dalam bentuk anti-intelektualisme, yakni ketidakpercayaan kepada kaum intelektual atau aktivitas intelektual. Pendukung anti-intelektualisme mengatakan, mereka berperang melawan elitisme. Di dunia politik dan korporat, banyak yang menganggap pengalaman ”dunia nyata” lebih unggul ketimbang pendidikan. Mereka memandang seni dan humaniora hanya membuang-buang waktu. Berteori dianggap tidak berharga. Pendidikan yang tidak menghasilkan banyak uang merupakan pengejaran intelektual yang sia-sia. Pendidikan tinggi digambarkan sebagai ”menara gading”, dunia yang jauh dari ”kenyataan”. Pendidikan lebih pragmatis melibatkan perbuatan, bukan hanya berpikir. Demikian klaim mereka. Kelompok anti-intelektual melihat lembaga pendidikan seperti pabrik, bukan sebagai media pembudayaan.
Pada abad ke-21, perang budaya mengambil berbagai bentuk. Di era Internet, perang budaya baru muncul tumpah ruah dari ruang daring hingga ke jalan-jalan. Pertempuran seputar hak-hak sipil, keadilan sosial dan ekologis, jaminan sosial, kesetaraan kesehatan, hierarki rasial, dan identitas jender akan terus membanjiri wacana publik. Selain itu, kontroversi publik seputar aborsi, homoseksualitas, LGBT, hubungan agama dan negara, multikulturalisme, hak-hak budaya, bioetika, dan sejumlah masalah lain tidak mungkin segera menghilang karena konflik ini didasarkan pada dua pandangan dunia dan jagat moral yang berbeda secara fundamental. Saling bersaing dan sering tidak berbicara dalam bahasa yang sama.
Dalam banyak kasus, perbedaan budaya muncul sebagai pasangan kutub berlawanan, yang tak bisa didamaikan. Pertempuran itu dicirikan sebagai liberal versus konservatif, fundamentalis versus sekuler-progresif, radikal versus moderat, tradisionalis versus modernis, massa-populis versus elitis, individualis versus kolektivis.
Di tengah persaingan politik, perang budaya berpotensi menjadi kekerasan. Terutama ketika perbedaan budaya dikomodifikasi sebagai masalah hidup dan mati. Jika budaya adalah medan pertempuran, masih perlu dikaji konsepsi budaya yang bekerja dalam mengobarkan perang budaya. Apakah memang tidak ada jalan bagi ”perdamaian budaya” ketika perbedaan budaya dikerahkan sebagai kekuatan emansipasi, inklusivitas, dan toleransi?
(Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi)