”Merupakan” dan ”Adalah”
Kata adalah dan merupakan yang bermakna hampir sama berbeda dalam penggunaannya. Namun, kedua kata ini sering digunakan secara tidak tepat. Reporter, pemandu acara televisi, bahkan wartawan media cetak, sering rancu.
Kata adalah dan merupakan yang bermakna hampir sama berbeda dalam penggunaannya. Namun, kedua kata ini sering digunakan secara tidak tepat. Reporter dan pemandu acara televisi, bahkan wartawan media cetak, sering rancu menggunakannya.
Rangkaian kata yang seharusnya menggunakan adalah menggunakan merupakan atau sebaliknya. Hal ini cukup mengganggu bagi pemirsa ataupun pembaca yang mengetahui perbedaan di antara keduanya.
Contoh yang aktual, misalnya, ”Emmeril Kahn Mumtadz merupakan putra Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil”, penggunaan kata merupakan dalam kalimat itu tidak tepat karena seharusnya menggunakan adalah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan secara rinci perbedaan arti dan penggunaan di antara keduanya. Kata merupakan berarti: (1) memberi rupa; membentuk (menjadikan) supaya berupa, contoh: formasi barisan itu merupakan lambang PON; (2) adalah, contoh: kata merupakan bagian terkecil dari bahasa; (3) menjadi, contoh: minyak bumi merupakan hasil ekspor yang terpenting bagi negara kita.
Kata adalah berarti: (1) identik dengan, contoh: Pancasila adalah falsafah bangsa Indonesia; (2) sama maknanya dengan, contoh: Desember adalah bulan kedua belas; (3) termasuk dalam kelompok atau golongan, contoh: Saya adalah pengagum Ki Hadjar Dewantara.
Setelah ini diharapkan kerancuan penggunaan kata merupakan dan adalah tidak lagi terjadi.
Gunawan SuryomurcitoPondok Indah, Jakarta 12310
Ambiguitas atau Ketaksaan
Jokowi di IKN
Di harian Kompas (Jumat, 20/5/2022) terdapat judul berita ”Demokrasi Perkuat Kapasitas Geopolitik”. Dalam tulisan tersebut terdapat hal yang masuk ambiguitas atau ketaksaan (”ketaksaan” alias ”tak tunggal” atau ”tak esa”).
Menurut definisi ambiguitas dari Webster’s New World Dictionary (edisi 1972), ambiguitas dalam bahasa Indonesia atau ambiguity dalam bahasa Inggris adalah kualitas atau keadaan sesuatu (di sini tuturan) yang ambigu atau taksa atau tak tunggal (Webster’s halaman 22).
Berkaitan dengan itu, saya sertakan tulisan di Kompas berikut: ”Khusus menyangkut Ibu Kota Nusantara tahapan pembangunannya sudah disusun pemerintah di mana hingga 2045 Nusantara ditargetkan menjadi kota dunia, kota hijau dan kota digital”.
Berdasarkan kutipan itu menjadi tidak jelas apakah nama ”Nusantara” itu mengacu ke nama negara (jadi Negara Nusantara) atau mengacu ke nama ibu kota negara.
Kalau mengacu ke sebuah negara (menjadi Negara Nusantara), hal itu wajib ditolak karena bertentangan dengan teks resmi negara NKRI. Teks Proklamasi menyatakan, ”atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”.
Jadi, pada tulisan di Kompas tersebut terdapat hal yang ambigu atau bertafsir ganda, yaitu ”Nusantara” yang mengacu pada sebuah nama negara atau mengacu pada sebuah nama ibu kota sebuah negara.
Edi Subroto, Prof Dr HDMantan Ketua Prodi dan Pengajar S-2 dan S-3 Linguistik di PPS UNS dan Sekolah Pascasarjana UGM, Jalan Pandu, Larangan, RT 001 RW 003, Kelurahan Gayam, Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas kesetiaan dan kecermatan Saudara membaca Kompas. Menanggapi surat ini, pada kutipan berita di atas disebutkan, ”Nusantara ditargetkan menjadi kota dunia, kota hijau, dan kota digital”. Dengan demikian, penyebutan IKN Nusantara menunjuk pada ibu kota negara yang bernama Nusantara, bukan negara Nusantara.
Komunitas dari Negeri Poci
Guru, siswa, dan kepala sekolah SMPN 1 Banyumas melauncing 15 buku antologi cerpen dan antologi puisi, di Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (22/1/2022).
Saya bersama 12 teman penyair menggagas Komunitas dari Negeri Poci (DNP) selama 29 tahun, sejak 1993. Kami menyelenggarakan aneka kegiatan dalam bersastra, selain menerbitkan antologi puisi secara berkala. Antologi puisi itu menampung siapa saja: penyair, penulis puisi, atau penulis pemula dari seluruh Nusantara. Kini sudah antologi ke-11.
Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2000-an sastrawan kehilangan ruang untuk hadir di koran dan majalah karena tergusur iklan dan berita politik-ekonomi. Karya mereka hanya tersimpan dalam laci.
Prihatin, kami, dr Handrawan Nadesul, Prof Prijono Tjiptoherijanto, Adri Darmadji Woko, dan Kurniawan Junaedhie, menggagas Komunitas DNP. Tujuannya untuk membukakan peluang agar karya para sastrawan masih bisa hadir. Bukankah sastra baru hadir apabila karya itu dipublikasikan? Demikian pula puisi. Buku Antologi Puisi DNP sukarela menampung.
Sampai tahun 2021, lebih dari 600 penyair dan penulis puisi pemula dari sejumlah kota ditampung dalam 11 Antologi Puisi DNP. Mengisi lebih dari 2.500 halaman buku.
Sampai 2021 kami menerbitkannya secara swadaya. Demikian pula untuk acara peluncuran buku yang diikuti dengan acara lomba baca puisi, dan kegiatan bersastra lainnya, di beberapa kota.
Bukankah kehadiran karya sastra, sekurangnya gairah untuk menulis, merupakan aset bangsa? Bonus sosial yang menggembirakan di tengah upaya menggelorakan literasi nasional saat ini.
Kini kita melihat bertebaran komunitas sastra di beberapa daerah, yang juga dihidupkan secara swadaya.
Kurniawan Junaedhie, salah satu penggagas DNP, menangkap begitu banyak gairah menulis pada generasi muda. Ia lalu menggagas Aksi Swadaya Menulis dari Rumah.
DNP mengundang mereka yang suka menulis, yang masih pemula sekalipun, untuk berhimpun dalam buku antologi. Dalam setahun sudah berhasil diterbitkan 20 buku antologi dengan tujuh tema yang akrab dengan keseharian, ditulis oleh ratusan orang yang ingin tampil menulis, dengan hanya membayar ongkos cetak.
Peluang menulis ini ternyata luar biasa bersambut. Gairah besar itu tampak setelah mereka diberi kesempatan meluncurkan antologi dan saling bertemu. Kiprah ini menjadi bukti bahwa ini juga aset bangsa. Bahwa budaya literasi menulis generasi muda anak bangsa sebetulnya bergelora.
Kami penggagas Komunitas DNP kini tinggal berempat. Terus terang kami sudah terengah-engah, tetapi telanjur berkomitmen untuk terus melanjutkan penerbitan antologi DNP. Tujuannya agar tetap bisa terbit setiap tahun. Masih keluar dari kocek kami, terkadang saja ada sponsor.
Membaca Badan Bahasa punya kegiatan untuk meningkatkan literasi bagi generasi muda—selain membuat komunitas literasi seperti Komunitas DNP kami—pada kesempatan ini kami berharap ada uluran tangan Badan Bahasa untuk melanggengkan kegiatan literasi kami.
Melalui aset ini, harapannya terbentuk fondasi masyarakat pembelajar (learning society), masyarakat menulis (writing society), dan untuk menulis mereka harus gemar membaca (reading society).
Sungguh kami Komunitas DNP rindu uluran tangan Badan Bahasa.
Dr Handrawan NadesulPondok Indah, Jakarta
Akar Rumput
Presiden Joko Widodo foto bersama perempuan akar rumput dari seluruh provinsi di Tanah Air, Rabu (6/3/2019) di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Menjelang Pilpres 2024, partai politik yang akan bersuara mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bagaimana dengan suara rakyat? Sudahkah partai politik mendengar?
Sinyal-sinyal politik memang mulai bermunculan. Dari temu kangen, deklarasi sukarelawan, hingga anjangsana ketua umum parpol.
Lembaga survei pun giat mengukur elektabilitas tokoh-tokoh yang berpotensi menjadi calon presiden.
Di tengah dinamika ini, partai politik sebaiknya berhati- hati memilih, jangan mementingkan ambisi kekuasaan.
Pandangan partai politik belum tentu sama dengan rakyat akar rumput. Hal ini bisa dilihat dari hasil survei elektabilitas para tokoh.
Mumpung pilpres masih dua tahun lagi, partai politik dapat melakukan konsolidasi internal, menyamakan visi dan misi, menguji kelayakan dan konvensi bagi kader potensial, serta terbuka untuk menjaring aspirasi rakyat.
Partai politik boleh memikat suara rakyat lewat pengalaman dan pencapaian, tetapi rekam jejak, prestasi, dan kerja nyata kadernya akan lebih memikat rakyat.
Ignasius Lintang NusantaraKlaten, Jawa Tengah